Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 14 Oktober 2020, dalam peringatan 40 tahun zona ekonomi khusus Shenzhen, Presiden China, Xi Jinping, mengatakan dalam pidatonya tentang hak kepemilikan pribadi dan perlindungan pengusaha akan diperkuat di kawasan khusus itu. Pidato itu disampaikan di tengah kebangkitan ekonomi China dari krisis pandemi Corona dan sengketa dagang dengan AS yang terus berlanjut (Detik.com, 15/10/2020).
Xi Jinping dalam pidatonya memuji Shenzhen karena berhasil “mencapai keajaiban”. Presiden China tersebut juga menambahkan, bahwa “China harus melakukan pembangunan dengan keberanian untuk merintis dan berusaha untuk menjadi yang pertama.” (Detik.com, 15/10/2020).
“Pemerintah Shenzhen akan mendapatkan lebih banyak kelonggaran untuk mendorong reformasi dan menjadi kota teladan bagi negara sosialis yang kuat,” tandas Xi Jinping. Dia menyebut Shenzhen sebagai simbol kebangkitan Cina menjadi kekuatan ekonomi global (Detik.com, 15/10/2020).
Presiden Xi Jinping juga menyinggung turbulensi dalam perekonomian global dan mengatakan, peningkatan proteksionisme dan unilateralisme telah menjadi ancaman serius. Dia menekankan bahwa China akan mendorong model “sirkulasi ganda” yang lebih bergantung pada konsumsi domestik, sambil menarik investasi asing (Detik.com, 15/10/2020).
Yang menarik di sini adalah mengenai perlindungan kepemilikan pribadi. Kebetulan saja, baru-baru ini saya melihat sebuah tweet yang menyinggung seorang seniman karena menuntut seseorang yang mencuri hasil karyanya tanpa disertakan credit. Isinya kira-kira begini, “Kalau gak mau karyanya dicolong, ya gak usah post di sosmed!”
Kapitalisme percaya bahwa satu-satunya hak kepemilikan yang harus dilindungi adalah private property rights (hak kepemilikan individu). Sedangkan, ekonomi sosialis meyakini bahwa hak kepemilikan yang benar hanyalah state property rights (hak kepemilikan negara).
Perlindungan hak kepemilikan individu adalah berkaitan dengan relasi antara properti dengan pemiliknya, relasi antara pemilik properti dengan yang bukan pemilik properti, serta relasi antara pemilik properti dengan negara sebagai otoritas kekuasaan. Pada prinsipnya, hak kepemilikan memungkinkan terjadinya tatanan dan penghindaran kekacauan.
Yang tidak kalah pentingnya, hak kepemilikan individu berpotensi akan mendorong inovasi dan pelayanan yang lebih baik. Berlawanan dengan itu, hak kepemilikan kolektif cenderung timbulnya kelalaian perawatan. Pada akhirnya, diperlukan adanya kesadaran bersama akan perbedaan dan ranah tanggung jawab dalam hak milik umum dan hak milik pribadi, untuk mencapainya maka diperlukan edukasi akan hal ini sejak dini.
Namun, ada juga yang beranggapan bahwa hak milik individu dan hak milik kolektif adalah sama pentingnya, dan harus diseimbangkan. Batasan yang jelas ini tentunya adalah sesuatu yang sangat penting. Permasalahan ini memang kompleks karena pada kenyataannya batasan yang dibentuk oleh negara atas kepemilikan kolektif maupun individu masih belum jelas. Salah satunya adalah hal-hal yang terkait dengan lingkungan.
Jika ingin melihat secara komprehensif, permasalahan mengenai lingkungan tentu akan selalu berkaitan dengan pembangunan. Berkaitan dengan ini, hal penting yang diperhatikan adalah kesejahteraan dalam program pembangunan dan hubungannya dengan menjaga lingkungan. Kesejahteraan masyarakat dapat dicapai dengan aktivitas industri sehingga aktivitas ini masih akan perlu dilangsungkan. Pelarangan industri bukanlah cara tepat dalam mengatasi masalah lingkungan.
Dalam artikelnya yang berjudul “The Oceans of The World Continue to Suffer” (1968), Garrett Hardin menyatakan bahwa sebagian besar perikanan di seluruh dunia telah dieksploitasi penuh dan beberapanya telah mengalami kehancuran. Lusinan stok ikan di Amerika Serikat diambil besar-besaran, meskipun upaya pemerintah untuk mengatur kuota total tangkapan hingga pembatasan alat tangkap input lainnya. Tindakan tersebut mencoba untuk membatasi akses, tetapi tidak mengubah insentif manusia bahwa bila suatu properti tidak ada yang memiliki, maka setiap orang akan berusaha mengambil keuntungan dari properti tersebut sebanyak-banyaknya (The Atlantic, 24/05/2012).
Garrett Hardin secara khusus menekankan akan pengakuan hak milik dalam persentase hasil tangkapan untuk spesies tertentu (dalam beberapa kasus mengakui hak di wilayah penangkapan ikan), “perlombaan tidak sehat” ini dapat diminimalisir dan kru-kru dapat diberi insentif sepadan. Penciptaan hak milik atas sumber daya yang mendasarinya menyelaraskan insentif mereka yang bekerja di perikanan dengan kompetisi sehat di dunia perikanan. (theatlantic.com/24/05/2012)
Manfaat sistem semacam itu tidak hanya bersifat teoritis. Mereka sekarang telah dikonfirmasi melalui penelitian empiris yang ekstensif. Sebuah studi baru-baru ini di Science yang mengamati lebih dari 11.000 perikanan selama periode lima puluh tahun menemukan bukti yang jelas bahwa penerapan rezim manajemen berbasis properti, yang sering disebut “bagian tangkapan” atau ITQ, mencegah keruntuhan perikanan. Ini hanyalah bukti terbaru yang mendukung penggunaan lembaga properti untuk konservasi perikanan. Seperti yang diprediksi Hardin, institusi hak milik mencegah tragedi milik bersama. (theatlantic.com/24/05/2012)
Pengakuan hak milik atas sumber daya laut juga dapat mempermudah untuk mengadopsi tindakan konservasi tambahan. Misalnya, adopsi bagi hasil dapat mengurangi beban tambahan dari penerapan batas tangkapan sampingan atau penciptaan suaka laut (meskipun ada cara berbasis properti untuk mengejar tujuan ini juga). Pergeseran ke saham tangkap akan memiliki manfaat fiskal juga.
Kunci penting lainnya yang terkait dengan pembangunan dan perlindungan lingkungan terletak pada aspek rule of law. Rule of law, atau supremasi hukum, harus ditegakkan. Aspek egaliter di hadapan hukum adalah kemutlakan. Regulasi sangat penting dalam mencapai tujuan, sehingga kesadaran individu dan kelompok perlu didukung dengan adanya regulasi yang tepat dengan rule of law yang tegas.
Sebagai penutup, ada sebuah kutipan dari Publius Cornelius Tacitus, seorang senator dan sejarawan pada era Kekaisaran Romawi. “Corruptissima re publica plurimae leges”, artinya, semakin korup suatu pemerintahan, semakin tidak terlindunginya hak kepemilikan pribadi. Negara yang korup kerap menciptakan berbagai aturan untuk yang melanggar hak kepemilikan pribadi, dan mengabaikan pemisahan antara barang yang dimiliki secara kolektif dan barang yang dimiliki secara pribadi untuk mempermudah tindakan korupsi yang dilakukannya.
Sebaliknya, bila negara menerapkan perlindungan pada hak kepemilikan, individu bisa meningkatkan produktivitasnya karena karyanya dihargai, serta anak muda juga tentunya semakin semangat untuk berkreasi karena jaminan akan haknya dilindungi negara.
Selain itu, pasar menyediakan kompetisi sehat dan menciptakan batasan yang lebih longgar untuk memasukkan suatu industri, serta pendapatan nasional negara turut naik karena hal ini.
Dari penjabaran di atas, hak kepemilikan mampu menyediakan beragam insentif, baik dari sisi masyarakatnya maupun negara dan pengusaha. Hak kepemilikan memberikan hak kepada setiap individu untuk menggunakan sumber daya yang mereka miliki sesuai dengan kehendak mereka. Proses tersebut akan membuat alokasi sumber daya dan aset yang dimiliki menjadi lebih efisien.
Referensi
https://news.detik.com/dw/d-5214287/china-perkuat-hak-kepemilikan-pribadi-dan-perlindungan-pengusaha Diakses pada 27 November 2020, pukul 00.45 WIB.
https://www.theatlantic.com/business/archive/2012/05/property-rights-and-fishery-conservation/257604/ Diakses pada 29 Desember 2020, pukul 13.40 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.