Kenapa Ratusan Orang Rela Antri Demi BTS Meal?

    497

    Belum lama ini, Perusahaan makanan cepat saji ternama McDonald’s bekerja sama dengan boyband BTS meluncurkan sebuah menu paket makanan bernama “BTS Meal”. Pada hari pertama produk tersebut diluncurkan, tanpa dikoordinir siapapun, para penggemar boyband terkenal asal Korea Selatan itu serentak menyerbu gerai makanan cepat saji tersebut.

    Beberapa gerai McDonald’s atau McD mulai diserbu oleh para pembeli. Yang menarik, minat para fans BTS untuk mendapatkan makanan favoritnya membuat gerai McD di Jabodetabek dan di beberapa wilayah Indonesia menimbulkan antrian panjang.

    Fenomena “BTS Meal” tersebut cukup membuat masyarakat heboh dan bingung. Bagaimana tidak, ratusan orang berbondong-bondong mengantri hanya untuk mendapatkan sebuah paket makanan. Para driver ojek online pun ikut berjubel membeli “BTS Meal” untuk para pembelinya.

    Salah satu contohnya gerai McDonald’s di Graha Raya, Serpong Utara, Tangerang Selatan. Puluhan orang (yang diantaranya adalah driver ojek online) mengantri hingga berjam-jam. Antrian pembeli memanjang hingga tumpah ke jalan raya (Pedoman Tangerang, 9/6/2021).

    Pemandangan seperti ini tidak hanya ada di Tangerang. Hampir di seluruh gerai McDonald’s di Indonesia mengalami kejadian serupa. Dan yang lebih aneh, di salah satu toko online, bahkan menjual bungkus BTS Meal (tanpa isi) dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah (Pedoman Tangerang, 9/6/2021).

    Mengapa Ini Bisa Terjadi?

    Fenomena “BTS Meal” mungkin serupa dengan “Oreo Supreme” yang beberapa waktu lalu juga menghebohkan jagat dunia maya, di mana perusahaan Nabisco menyajikan wafer Oreo edisi khusus yang harganya menyentuh harga ratusan ribu rupiah.

    Rasionalkah? Dalam pandangan beberapa orang, hal ini sangat tidak rasional. Bagaimana orang rela membuang waktu dan uang mereka untuk membeli makanan mahal yang mungkin cita rasanya tidak seberapa?

    Beberapa warganet di media sosial bahkan mengkritik kecenderungan para penggemar BTS yang dianggap terlampau fanatik hingga mengabaikan protokol kesehatan hanya untuk mendapatkan satu paket “junk food”.

    Lalu, apa yang mendasari dan memotivasi orang-orang hingga rela antri berjam-jam dan bersedia berkorban menghabiskan waktu dan energi hanya untuk mendapatkan satu paket makanan yang mungkin habis hanya dalam waktu kurang dari 20 menit?

    *****

    Mungkin beberapa orang mengkritik fenomena “BTS Meal” yang lalu sebagai fenomena gila. Bahkan, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa kaula muda telah teracuni “jebakan kapitalisme”, “hegemoni budaya asing” dan seterusnya, sehingga rela membeli sesuatu yang sia-sia.

    Ya, mereka boleh memiliki pandangan kritis dengan mengeluarkan kecaman atau cemoohan. Mereka boleh saja menganggap para konsumen yang ingin mendapatkan “BTS Meal” adalah sekelompok orang irasional. Tetapi, dalam membaca fenomena ini, ekonomi pasarlah yang mampu menguraikan dan menjawab, mengapa mereka rela mengantri dan merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mendapatkan makan itu.

    Dalam ekonomi pasar, suatu produk tidak dilihat dari segi baik atau buruk, juga tidak memandang apakah produk itu bermanfaat atau tidak. Yang menjadi kata kunci adalah, selama ada orang yang menginginkan dan membutuhkan, maka suatu produk dapat dijual (bahkan bisa laku keras).

    Nilai suatu produk itu “berharga” atau “tidak berharga” adalah persepsi subjektif manusia, kebab nilai yang melekat pada barang itu sendiri sifatnya adalah subjektif. Contohnya, jika Anda menjual segelas air di padang pasir yang tandus, walaupun Anda jual Rp15 ribu bahkan Rp50 ribu satu gelas, tentu saja dagangan Anda tetap laku sebab orang-orang yang kehausan di padang pasir melihat nilai segelas air jauh lebih tinggi ketimbang uang sebesar Rp50 ribu.

    Sebaliknya, jika Anda menjual segelas air di Bogor dengan harga Rp10 ribu per gelas, hingga kiamat menjelang pun, dagangan Anda tidak akan laku terjual, karena orang-orang di Bogor menganggap uang senilai Rp10 ribu jauh lebih bernilai dibanding segelas air.

    Contoh lainnya adalah sepeda ontel. Bagi seorang kolektor cincin akik, batu safir atau akik yamani jelas lebih berharga dari sepeda tua berkarat tersebut. Namun bagi pecinta sepeda, walaupun harga sepeda tua itu mencapai Rp10 juta, pasti akan dibeli juga.

    Ini menunjukkan bahwa nilai suatu produk (termasuk menentukan berharga atau tidak berharga) sifatnya sangat subjektif dan relatif. Seperti kata Nicholas Barbon dalam Discourse of Trade, yang mengatakan bahwa barang-barang tidak mempunyai nilai pada dirinya, opini dan kebiasaan lah yang membuatnya berguna dan bernilai (Barbon, 2015).

    Dengan demikian, selama produk “BTS Meal” mengundang hasrat dan rasa ingin seseorang untuk memilikinya, maka sah dan wajar saja jika mereka mengantri demi mendapatkan makanan tersebut. Barangkali bagi penggemar boyband BTS, bungkus “BTS Meal” yang terbatas itu mungkin lebih berharga ketimbang waktu dan uang di kantongnya.

    Filsuf Inggris, Jeremy Bentham, mengatakan bahwa, setiap tindakan manusia didasari untuk mencari kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Terlepas apakah para pengunjung “BTS Meal” tersebut terpengaruh oleh hegemoni Korea Selatan atau budaya asing, tetapi jika berangkat dari kacamata utilitarian Bentham, sah-sah saja jika orang ingin mendapatkan sesuatu yang membuat dirinya puas dan nikmat (Bertens, 1993).

    Menganggap “hegemoni” dan “budaya asing” sebagai hal negatif justru sangat bias dan irasional. Kebudayaan itu sendiri tidak bersifat stagnan, tetapi senantiasa berubah dan mengelaborasi kebudayaan dari bangsa manapun. Celana jeans, jas, sepatu tali, serta kendaraan yang digunakan kita sehari-hari pun bukan produk “kebudayaan nasional”.

    Menganggap para pembeli “BTS Meal” adalah kelompok irasional atau teracuni oleh budaya asing, justru tidak masuk akal. Setiap orang punya preferensi dalam membeli suatu produk, kenikmatan dan hasrat untuk memiliki produk tersebut adalah kebebasan mutlak diri manusia yang tak bisa diintervensi oleh siapapun.

     

    Referensi

    Buku

    Barbon, Nicholas. 2015. A Discourse of Trade, 1690. Inggris: Leopold Classic Library.

    Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

     

    Internet

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/tangerang-raya/pr-072029351/luncurkan-bts-meal-para-fans-bts-di-tangerang-serbu-gerai-mcdonalds Diakses pada 14 Juni 2021, pukul 01.24 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/selebritas/pr-072028979/tak-masuk-akal-harga-bungkus-mcdonalds-bts-meal-capai-ratusan-juta-rupiah Diakses pada 14 Juni 2021 pukul 02.06 WIB.