Beberapa waktu lalu, sebuah cuitan viral datang dari seorang mahasiswi Universitas Riau (UNRI) angkatan 2018 diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga seorang dekan. Peristiwa terjadi ketika korban ingin melakukan bimbingan skripsi kepada pelaku, Rabu (27/10) sekitar pukul 12.30 WIB. Mulanya, kata korban, pelaku menanyakan beberapa pertanyaan yang personal, seperti pekerjaan dan kehidupan korban.
Lalu, korban mengadu ke salah satu dosen jurusannya dan meminta untuk menemaninya bertemu ketua jurusan. Tetapi, bukannya mendapat pertolongan, korban justru mendapat intimidasi. Bahkan, kata korban, dosen tersebut mengancam agar dia tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun. Dosen itu juga menyampaikan perbuatan pelaku merupakan kekhilafan (instagram.com).
Di sisi lain, sepanjang tahun 2015-2020, Komnas Perempuan menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan. Data ini diperkuat dengan temuan survei Mendikbud Ristek (2019), bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%), dan transportasi umum (19%) (komnasperempuan.go.id, 29/10/2021).
Penelitian lain menyebutkan bahwa, 40 persen dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual (Ardi dan Muis, 2014), 92% dari 162 responden mengalami kekerasan di dunia siber (BEM FISIP Universitas Mulawarman, 2021), 77% dosen menyatakan “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus (Survei Ditjen Diktiristek, 2020). Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan (komnasperempuan.go.id, 29/10/2021).
Menjelang pengangkatan dekan baru di fakultas tempat kuliah saya, isu kekerasan seksual di kampus ini pun kembali menjadi topik hangat. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang sebelumnya terjadi belum selesai dituntaskan atau kasus-kasus sebelumnya yang belum berpihak ke korban menjadi konsen bersama. Bagaimana seharusnya kita adil dan memihak korban tanpa adanya ancaman hukum yang menyudutkan korban?
Baru-baru ini, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi tengah menjadi sorotan berbagai kalangan. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengapresiasi terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini. KOMPAKS pun mencatat setidaknya terdapat tujuh poin penting dari penerbitan Permendikbud PPKS itu, yakni mengisi kekosongan hukum perihal pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban kekerasan seksual yang memprioritaskan kebutuhan dan keadilan bagi korban (tirto.id, 8/11/2021).
Kemudian, lahir dari pengalaman korban; mendefinisikan kekerasan seksual yang akomodatif yang belum dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang ada; memposisikan perguruan tinggi sebagai salah satu aktor kunci; mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual dengan melibatkan pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Selanjutnya, mengatur upaya penanganan melalui pendampingan dan perlindungan bagi korban dan saksi serta sanksi administratif bagi pelaku yang terbukti; dan membentuk Satgas untuk menindaklanjuti kekerasan seksual yang dilaporkan.
Dalam kasus kekerasan seksual, ada dua kata kunci yang patut menjadi fokus bersama sebelum menganalisis kasus kekerasan seksual, yaitu relasi kuasa dan konsensual. Kegagalan memahami dua kata kunci itu merupakan kesalahan fatal, karena justru dua istilah tersebut merupakan fakta fundamental dalam membongkar kasus kekerasan seksual. Dua elemen tersebut membantu para pihak memahami kondisi korban dalam kasus kekerasan seksual, di mana pada umumnya yang terdampak tak bisa memberi persetujuan karena relasi kuasa yang timpang. Artinya, korban tidak dalam keadaan bisa memberikan persetujuan secara penuh atau menolak permintaan seksual.
Aktivis perempuan, Damaira Pakpahan, mengatakan bahwa kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia selama berpuluh tahun telah “bersembunyi di bawah karpet” karena kuatnya relasi kuasa para pelaku dan tak ada payung hukum. Sepanjang pengamatannya, mayoritas kampus di Indonesia masih memiliki tingkat kesadaran yang lemah terhadap kasus-kasus kekerasan seksual dan tidak memahami bahwa dosen kerap memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan pelecehan seksual (bbc.com, 8/11/2021).
Jika berbicara dalam lingkup kampus, ada dosen. Jika dalam lingkup tempat kerja, ada atasan (bos). Kesalahpahaman kedua konsep subjek tersebut sama, dosen sering dianggap mempunyai kuasa penuh terhadap mahasiswa yang notabenenya berada di bawah subordinasi dosen. Begitu juga dengan relasi kuasa antara atasan dan bawahan dalam tempat kerja. Hal ini yang kemudian membuat korban cenderung bungkam karena takut akan nasibnya ke depan di tempat tersebut.
Selain itu, dua kata kunci elemen tersebut juga merupakan upaya untuk melindungi korban dari percobaan victim blaming yang kerap terjadi. Salah satu cara seseorang menghadapi sebuah peristiwa atau masalah adalah dengan mengambil peran sebagai korban, baik secara sadar maupun tidak. Victim blaming biasanya terjadi dalam kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan, di mana korban sering dituduh mengundang nafsu hanya karena pakaian atau perilakunya. Kekhawatiran pelaku akan mendapat tekanan atau perlawanan dari orang lain membuat pelaku kerap melakukan playing victim lebih dulu mengambil peran korban. Ini diambil sebelum dia dicap sebagai pihak negatif oleh sekitar.
Minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi, menunjukkan bahwa tidak semua perguruan tinggi mempunyai aturan yang jelas, implementatif dan efektif terkait dengan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) termasuk pemulihan korban. Penanganan kasus kekerasan seksual masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lainnya,. Padahal, kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis. Dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban.
Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban kepadanya. Selain itu, belum semua pimpinan punya perspektif korban, sehingga terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan mengkhawatirkan reputasi nama baik kampus. Budaya misoginis, seksis dan tidak ramah terhadap perempuan juga masih terjadi di lembaga pendidikan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang menyebabkan berkurang atau terlanggarnya hak asasinya sebagai perempuan maupun peserta didik.
Referensi
Kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Riau: Permendikbudristek soal pencegahan kekerasan seksual ‘rawan digembosi’ https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59198733 Diakses pada, 10 November 2021 pukul 21.30 WIB
https://www.instagram.com/tv/CV2Jn0zlAln/?utm_medium=copy_link Diakses pada, 9 November 2021, pukul 13.00 WIB.
https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peraturan-menteri-pendidikan-kebudayaan-riset-dan-teknologi-ri-no-30-tahun-2021-tentang-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-ppks-di-lingkungan-perguruan-tinggi-29-oktober-2021 Diakses pada, 10 November 2021, pukul 13.00 WIB.
https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-kampus-masif-permendikbud-ppks-jadi-solusi-gk6z Diakses pada, 10 November 2021 pukul 18.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.