Indeks kebebasan sipil Indonesia terus mengalami penurunan. Itulah salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga think tank pegiat kebebasan asal Amerika Serikat, Freedom House. Indonesia mendapatkan skor 62 dari Freedom House dengan skor tertinggi 100, dan berada di posisi partly free atau setengah bebas.
Indonesia pernah berada di peringkat free atau bebas pada masa pemerintahan Presiden SBY dari tahun 2006 – 2013. Freedom House pada tahun 2006 memberi apresiasi yang tinggi atas suksesnya peralihan kekuasaan yang terjadi di Indonesia secara demokratis. Selain itu, Indonesia juga baru saja menandatangani kesepakatan perjanjian perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah konflik selama berdekade-dekade.
Kebebasan sipil di Indonesia kembali menurun menjadi posisi partly free di tahun 2014. Salah satu hal paling krusial yang menyebabkan turunnya peringkat kebebasan di Indonesia adalah disahkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yang dianggap mencederai kebebasan berkumpul dan kebebasan berekspresi.
Dalam Undang-Undang tersebut, di Pasal 59 Ayat (4) dinyatakan secara tegas bahwa masyarakat dilarang untuk mendirikan organisasi yang menganut atau menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Adapun paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila adalah ateisme, marxisme, leninisme, dan komunisme.
Pada periode 2018 hingga 2019, kondisi kebebasan di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo juga tak kunjung membaik. Freedom House mencatat setidaknya ada dua domain kebebasan yang terus mengalami penurunan di Indonesia, yakni kebebasan sipil untuk beragama dan berasosiasi.
Freedom House mencatat kelompok-kelompok keagamaan minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah masih kerap mendapatkan diskriminasi. Selain itu, organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada isu-isu seksualitas dan lingkungan hidup merupakan dua bidang organisasi yang kerap mendapatkan intimidasi dan ancaman.
Rapor merah kebebasan di Indonesia bukan hanya datang dari organisasi internasional seperti Freedom House. Lembaga-lembaga pegiat Hak Asasi Manusia, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Kontras, dikutip dari Detik.com (10/12/2019), menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019, penegakan HAM di Indonesia berjalan mundur. Kontras mencatat ada beberapa peristiwa besar yang dapat dijadikan sebagai acuan atas mundurnya penegakan HAM di Indonesia.
Peristiwa tersebut diantaranya adalah kerusuhan pasca Pemilihan Presiden 2019 dan berbagai kasus rasisme terhadap masyarakat Papua yang berujung dengan kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Selain itu, adanya demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menuntut dibatalkannya produk hukum yang mengancam kebebasan seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga merupakan salah satu peristiwa besar yang menjadi catatan Kontras.
Komnas HAM, dikutip dari Okezone.com (09/10/2019), menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019 ada setidaknya 51 pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Indonesia. Tindakan pelanggaran HAM ini terjadi dalam berbagai bentuk seperti penggusuran paksa, pembubaran acara keagamaan, perampasan lahan, serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat di berbagai wilayah, seperti di Papua dan daerah-daerah lainnya.
Perlindungan kebebasan sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia tentu bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan semudah membalikan telapak tangan. Kita menyadari bahwa ada banyak tarik ulur kepentingan politik di Indonesia yang menyebabkan persoalan tersebut sangat sulit untuk diselesaikan.
Presiden Joko Widodo sendiri sepertinya memang selalu menaruh fokus kebijakan pada aspek-aspek ekonomi dan pembangunan. Akan tetapi, bukan berarti lantas kebebasan sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia dapat dilupakan begitu saja.
Seperti kata dosen filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, bahwa “kalau hanya membangun infrastruktur, Daendels juga membangun!” Membangun infrastruktur dan sarana ekonomi memang penting. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah membangun perlindungan kebebasan sipil dan hak-hak dasar masyarakat, karena itulah tujuan utama dari didirikannya suatu negara.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.