Kebebasan Sipil dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang Semakin Berjalan Mundur

877

Indeks kebebasan sipil Indonesia terus mengalami penurunan. Itulah salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga think tank pegiat kebebasan asal Amerika Serikat, Freedom House. Indonesia mendapatkan skor 62 dari Freedom House dengan skor tertinggi 100, dan berada di posisi partly free atau setengah bebas.

Indonesia pernah berada di peringkat free atau bebas pada masa pemerintahan Presiden SBY dari tahun 2006 – 2013. Freedom House pada tahun 2006 memberi apresiasi yang tinggi atas suksesnya peralihan kekuasaan yang terjadi di Indonesia secara demokratis. Selain itu, Indonesia juga baru saja menandatangani kesepakatan perjanjian perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah konflik selama berdekade-dekade.

Kebebasan sipil di Indonesia kembali menurun menjadi posisi partly free di tahun 2014. Salah satu hal paling krusial yang menyebabkan turunnya peringkat kebebasan di Indonesia adalah disahkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yang dianggap mencederai kebebasan berkumpul dan kebebasan berekspresi.

Dalam Undang-Undang tersebut, di Pasal 59 Ayat (4) dinyatakan secara tegas bahwa masyarakat dilarang untuk mendirikan organisasi yang menganut atau menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Adapun paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila adalah ateisme, marxisme, leninisme, dan komunisme.

Pada periode 2018 hingga 2019, kondisi kebebasan di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo juga tak kunjung membaik. Freedom House mencatat setidaknya ada dua domain kebebasan yang terus mengalami penurunan di Indonesia, yakni kebebasan sipil untuk beragama dan berasosiasi.

Freedom House mencatat kelompok-kelompok keagamaan minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah masih kerap mendapatkan diskriminasi. Selain itu, organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada isu-isu seksualitas dan lingkungan hidup merupakan dua bidang organisasi yang kerap mendapatkan intimidasi dan ancaman.

Rapor merah kebebasan di Indonesia bukan hanya datang dari organisasi internasional seperti Freedom House. Lembaga-lembaga pegiat Hak Asasi Manusia, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Kontras, dikutip dari Detik.com (10/12/2019), menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019, penegakan HAM di Indonesia berjalan mundur. Kontras mencatat ada beberapa peristiwa besar yang dapat dijadikan sebagai acuan atas mundurnya penegakan HAM di Indonesia.

Peristiwa tersebut diantaranya adalah kerusuhan pasca Pemilihan Presiden 2019 dan berbagai kasus rasisme terhadap masyarakat Papua yang berujung dengan kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Selain itu, adanya demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menuntut dibatalkannya produk hukum yang mengancam kebebasan seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga merupakan salah satu peristiwa besar yang menjadi catatan Kontras.

Komnas HAM, dikutip dari Okezone.com (09/10/2019), menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019 ada setidaknya 51 pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Indonesia. Tindakan pelanggaran HAM ini terjadi dalam berbagai bentuk seperti penggusuran paksa, pembubaran acara keagamaan, perampasan lahan, serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat di berbagai wilayah, seperti di Papua dan daerah-daerah lainnya.

Perlindungan kebebasan sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia tentu bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan semudah membalikan telapak tangan. Kita menyadari bahwa ada banyak tarik ulur kepentingan politik di Indonesia yang menyebabkan persoalan tersebut sangat sulit untuk diselesaikan.

Presiden Joko Widodo sendiri sepertinya memang selalu menaruh fokus kebijakan pada aspek-aspek ekonomi dan pembangunan. Akan tetapi, bukan berarti lantas kebebasan sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia dapat dilupakan begitu saja.

Seperti kata dosen filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, bahwa “kalau hanya membangun infrastruktur, Daendels juga membangun!” Membangun infrastruktur dan sarana ekonomi memang penting. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah membangun perlindungan kebebasan sipil dan hak-hak dasar masyarakat, karena itulah tujuan utama dari didirikannya suatu negara.