Kebebasan Perempuan Afghanistan: Menanti Janji Taliban

    355

    Minggu siang suasana terik mencekam, terlihat wajah orang-orang ketakutan. Perempuan berlarian, mobil dan motor pergi tak tentu arah, ingin kabur namun entah kemana. Begitulah suasana Ibu Kota Kabul.

    Diberitakan oleh berbagai media massa baik nasional dan internasional bahwa, milisi Taliban telah memasuki ibu kota Kabul dengan persenjataan lengkap. Rentetan tembakan terdengar dari pinggiran Kabul, ratusan orang panik, yang ada di pikiran mereka adalah melarikan diri dan menyelamatkan keluarga mereka dari milisi Taliban.

    Mengapa mereka kabur? Mengapa mereka melarikan diri? Bukankah Taliban juga orang Afghanistan?  Lantas mengapa orang-orang melarikan diri?

    Untuk menjawabnya, kita perlu membuka lembaran sejarah. Taliban menjadi terkenal pada tahun 1994 selama Perang Saudara Afghanistan. Banyak dari mereka telah menjadi pejuang perlawanan mujahidin yang telah berjuang melawan pendudukan Uni Soviet pada 1980-an (Pedoman Tangerang, 20/8/2021).

    Pasca hengkangnya Soviet dari Afghanistan, terjadi perang saudara dan juga perang antar milisi yang ingin menguasai Afghanistan. Ekonomi mandek, rakyat ketakutan, raja-raja perang (warlord) bermunculan di setiap daerah.

    Afghanistan yang pada dekade 60-an digambarkan sebagai sebuah negara modern kini berubah menjadi negara terbelakang karena pertikaian antar suku. Hingga pada tahun 1996, suku Pasthun yang menjadi suku Taliban berhasil menguasai Afghanistan dan mendirikan rezim di sana.

    Di masa perang saudara hingga berdirinya rezim Taliban tahun 1996, perekonomian Afghanistan masih sangat tradisional. Bahkan, saat Taliban berkuasa, mereka memanfaatkan pajak petani tradisional, menarik uang dari para pengusaha, memonopoli perdagangan dalam dan luar negeri, serta menarik tarif impor 6% pada setiap barang yang masuk (Cooper, 2004).

    Bisa dikatakan bahwa pada masa itu Taliban lebih fokus pada penguatan ideologi dan hukum agama pada rakyatnya ketimbang secara serius membangun ekonomi negara mereka. Di tengah kesengsaraan ekonomi dan hancurnya negara pasca perang, yang paling dirugikan ketika Taliban berkuasa di Afghanistan adalah perempuan.

    Perempuan saat Taliban berkuasa  benar-benar dikontrol secara ketat. Mereka  tidak mendapatkan akses pendidikan, tidak diizinkan untuk berkerja, dilarang keluar rumah tanpa suami atau kerabat pria, dan mereka dilarang menggunakan make up dan menunjukkan wajah di muka umum (BBC, 21/8/2021).

    Tentu saja ini benar-benar menyiksa perempuan, seolah perempuan sebagai pajangan laki-laki yang diizinkan untuk bekerja hanya pada ranah domestik. Tentu kita masih ingat ketika Islamic State Iraq and Syria (ISIS) berkuasa pada tahun 2011, mereka menjadikan perempuan baik muslim, Kristen, Yazidi sebagai ghanimah rampasan perang yang diperbudak dan bebas diperdagangkan (Detik.com, 4/8/2021).

    *****

    Sebelum Taliban menguasai kota Kabul, Taliban sudah mulai masuk ke daerah Kandahar, salah satu daerah penting di Afghanistan. Ketika milisi menguasai kota, mereka segera melakukan inspeksi dan pembersihan di sana.

    Menurut informasi, milisi Afghanistan menemukan beberapa perempuan yang bekerja di sebuah bank swasta di daerah tersebut. Sontak para milisi marah dan memarahi mereka. Milisi segera menyuruh mereka pulang dan meminta agar saudara laki-laki mereka menggantikan posisi mereka di bank.

    Adegan serupa terjadi di bank lainnya, Bank Milli, di sebelah barat Provinsi Herat. Menurut dua kasir perempuan yang menyaksikannya, tiga pejuang Taliban  membawa senjata memasuki kantor. Mereka menegur karyawan perempuan karena menunjukkan wajah mereka di depan umum. Perempuan di sana ketakutan dan akhirnya mengirim kerabat laki-laki mereka untuk menggantikan pekerjaan perempuan tersebut (Pedoman Tangerang, 16/8/2021).

    Selama rezim demokratis berkuasa di Afghanistan, partisipasi perempuan di ruang publik perlahan mulai ditingkatkan. Mereka menikmati kebebasan, dapat bekerja, bebas berpakaian, bebas berpendapat, dan memiliki pengaruh penting dalam dunia politik di Afghanistan.

    Namun, setelah pasukan Amerika dan NATO mulai menarik diri pada bulan Mei lalu, keadaan mulai berubah. Semua orang ketakutan bahwa Taliban akan kembali berkuasa. Banyak perempuan khawatir kebebasan mereka akan kembali direnggut oleh kelompok ekstrimis tersebut.

    Aktivis hak-hak perempuan di Amerika Serikat telah memperingatkan bahwa perempuan dan anak gadis akan menghadapi kembalinya masa lalu yang suram di negara itu.

    Marry Akrami, seorang aktivis perempuan di Afghanistan juga meminta agar AS tak terlalu cepat menarik pasukan mereka. Bagi Marry, menyerahkan kaum perempuan kepada kelompok yang terkenal dengan perlakuan kasarnya, merupakan ancaman bagi kemerdekaan perempuan di Afghanistan (Pedoman Tangerang, 14/7/2021).

    “Kami sangat prihatin bahwa hak-hak perempuan tidak menjadi harga yang harus dibayar untuk perdamaian,” kata Mary Akrami seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka di Kabul, pada sesi Dewan Keamanan PBB pada 14 Juli 2021. “Kami menginginkan perdamaian yang bermartabat dan adil, bukan penyerahan diri kepada Taliban atau kelompok ekstremis kekerasan lainnya.” sambungnya (Pedoman Tangerang, 14/7/2021).

    *****

    Sebenarnya, aktivis perempuan telah menjadi bagian dari delegasi nasional Afghanistan untuk berdialog dengan milisi Taliban. Mereka telah bertemu berulang kali dengan Taliban dalam negosiasi damai sejak bulan September 2020 lalu, dan pembicaraan tersebut selalu menemui jalan buntu.

    Jadi, bukan hal aneh jika warga Afghanistan berbondong-bondong meninggalkan negerinya. Sebab, mereka sudah merasakan betapa tidak enaknya hidup di negara yang dikuasai oleh kelompok ekstrim yang menjadikan kekerasan sebagai hal lumrah bahkan mencari pembenaran agama untuk  tindakan mereka.

    Hingga saat ini, tercatat 12.000 warga Kabul telah keluar melalui bandara Kabul. Ini belum dihitung dengan warga lainnya yang pergi melalui jalan darat dan keluar secara ilegal untuk mencari suaka ke negara lain (Kompas.com, 23/8/2021).

    Di antara mereka yang melarikan diri adalah Tim Robotika Perempuan Afghanistan. Tim “Afghan Dreamers”, adalah sekelompok perempuan yang menguasai ilmu teknik dan robotika. Tim ini terdiri dari 20 anggota berusia antara 12 dan 18 tahun, mereka berasal dari ibu kota Provinsi Herat.

    Prestasi Tim Afghan Dreamers sudah tidak perlu ditanya lagi. Namun, mereka nampaknya sudah dapat meramalkan, jika mereka tetap di Afghanistan, pasti mimpi dan cita-cita mereka akan lenyap.

    Akhirnya, berkat usaha Roya Mahboob seorang pengusaha teknologi asal Afghanistan sekaligus sponsor Tim. Mereka mendapat suaka untuk tinggal di Qatar untuk melanjutkan studi dan mimpi mereka (Pedoman Tangerang, 20/8/2021).

     

    Janji Taliban

    Melihat ketakutan masyarakat begitu besar dan kekhawatiran perempuan terhadap mereka, nampaknya Taliban mulai sadar untuk bersikap ‘politis’ agar mendapatkan dukungan dari segenap kalangan di Afghanistan. Belajar dari kekalahan yang singkat ketika mereka diinvasi oleh NATO, banyak rakyat Afghanistan justru pasif, bahkan mendukung datangnya tentara asing ke negara mereka.

    Akhirnya, membuat Taliban berjanji akan berubah dan menerapkan pemerintahan yang lebih fleksibel. Pada konferensi pers mereka yang pertama pada tanggal 17 Agustus lalu, menjanjikan bahwa mereka akan menghormati hak-hak perempuan dan memberi amnesti tanpa syarat kepada oposisi Taliban.

    Taliban berusaha meyakinkan bahwa perang sudah usai dan memastikan kepada seluruh rakyat bahwa Afghanistan tetap aman di bawah pimpinan pemerintahan transisi. “Perempuan akan sangat aktif di masyarakat tetapi dalam kerangka Islam. Perempuan adalah bagian penting dari masyarakat dan kami menjamin semua hak mereka dalam batas-batas Islam,” kata Zabihullah Mujahid selaku juru bicara Taliban (Pedoman Tangerang, 19/8/2021).

    Meskipun Taliban berjanji untuk berubah, tetapi tak sedikit masyarakat yang skeptis terhadap janji tersebut. Apakah mungkin kelompok yang sangat fanatik dan keras pemahaman keagamaannya dapat merubah kebijakannya yang berlaku 20 tahun lalu? Apakah tindakan Taliban menangkap politisi perempuan, menghapus gambar perempuan di berbagai salon kecantikan adalah bentuk realisasi dari janji tersebut?

    Tentu kita tidak tahu jawabannya. Mari kita lihat bagaimana Taliban memimpin suatu negara di tengah laju pasar bebas yang tak terbendung  dan arus modernitas yang tak dapat ditolak oleh negara manapun. Biar waktu yang akan menjawabnya.

     

    Referensi

    Buku

    Cooper, Neil & Michael Pugh. 2004. War Economies in a Regional Context: The Challenges of Transformation. Boulder: Lynne Rienner Publisher.

     

    Internet

    https://www.bbc.com/indonesia/majalah-58277369 Diakses pada 23 Agustus 2021, pukul 20.32 WIB.

    https://www.kompas.com/tren/read/2021/08/23/190500865/gelombang-pengungsi-dari-afghanistan-dan-respons-internasional?page=all Diakses pada 23 Agustus 2021, pukul 21.13 WIB.

    https://news.detik.com/internasional/d-4150014/kekejaman-isis-jadikan-ribuan-wanita-yazidi-budak-seks Diakses pada 23/8/2021, pukul 20.46 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-072405194/rezim-taliban-ancam-kemerdekaan-perempuan-di-afghanistan?page=2 Diakses pada 23 Agustus 2021, pada 20.57 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/tangerang-raya/pr-072434191/hindari-taliban-tim-robotika-wanita-asal-afghanistan-melarikan-diri-ke-qatar?page=2 Diakses pada 23 Agustus 2021, pukul 20.45 WIB.