Demokrasi mati pada tanggal 9 Mei kemarin, ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena dinilai terbukti bersalah terkait penistaan agama dan pernyataannya soal Al Maidah ayat 51 saat kunjungannya ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Keputusan ini jelas menjadi pedang pembunuh kebebasan berpendapat yang menjadi barang langka akibat politisasi yang kental terhadap identitas, terutama di tengah-tengah kompetisi pilkada yang santer membelah masyarakat. Keputusan Hakim memang keputusan independen dalam sistem demokrasi. Tapi keputusan ini telah menodai perjuangan dan semangat reformasi yang menjunjung tinggi HAM.
Bukan hal baru bahwa pasal tentang penistaan agama dan pencemaran nama baik kerap menjadi justifikasi untuk memidanakan dan memasung kebebasan berpendapat. Setara Institute dalam Komentar Pers di hari yang sama menyebutkan bahwa vonis ini merupakan kasus penodaan agama ke-97 yang terjadi sepanjang tahun 1965-2017. Dari 97 kasus yang terjadi, 89 kasus diantaranya terjadi pasca 1998 akibat bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP.
Parahnya lagi, proses dan keputusan hukum paska reformasi, terutama terkait kebebasan, baik kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkeyakinan sangat rentan dipengaruhi oleh tekanan publik yang mengatasnamakan kelompok mayoritas agama tertentu. Hukum, proses hukum, dan aparat hukum harus berpihak pada keadilan dan kebenaran, bukan pada tekanan kelompok radikal! Kami juga pernah mengkritisi relasi agama dan negara yang kerap dicampuradukkan di republik ini dengan memposting tulisan soal kemerdekaan agama dan kemerdekaan negara terkait sekulerisme.
Tahun lalu, juga terkait kasus penistaan agama yang ditudingkan kepada Ahok, kami mengangkat tulisan yang berjudul “Menggugat Pasal Penistaan Agama” . Kami masih berkomitmen kuat untuk terus menyuarakan dan merawat kebebasan. Kami mendesak pencabutan UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengancam HAM dan memberangus kebebasan individu!
Keputusan Majelis Hakim PN Jakut juga menunjukkan betapa mendesaknya mendorong sistem peradilan yang didukung oleh para penegak hukum yang pro HAM dan paham akan prinsip-prinsip kebebasan, serta berani bersikap dan mengambil keputusan berdasarkan keadilan dan kebenaran! Jangan sampai ada korban ketidakadilan karena penegakan hukum yang tebang pilih dan perlindungan HAM yang lemah dan rentan direkayasa! Mari bersama merawat dan memperjuangkan kebebasan!

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org