Kebebasan Komodifikasi dan Moral Pasar

    600

    Lahir di keluarga asli keturunan Belitung membuat saya akrab dengan perihal-perihal bisnis timah kakek dan nenek saya. Sejak kecil, saya kerap disuguhkan pengalaman bagaimana transaksi bisnis timah itu berjalan, hubungan bisnis timah kakek dengan bisnis lainnya, usaha lobi-melobi yang dulu saya anggap begitu kejam, dan lain-lain.

    Kemudian ada kakak dari nenek saya yang memiliki bisnis konveksi. Begitu melihat rumahnya yang besar, saya langsung memotivasi diri untuk memiliki bisnis serupa.

    Lain cerita, ada sepupu saya yang sering menjual kembali barang miliknya sendiri, seperti boneka, krayon yang sudah dipakai, bantal, guling, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa ini menjadi pertama kalinya kepala saya dikunjungi pemikiran tentang, “Apa semuanya boleh dijual? Atau ada yang tidak boleh dijual?”

    *****

    Sampai beberapa tahun lalu, orang-orang di lingkungan saya masih banyak yang menganggap prostitusi sebagai sesuatu yang tak bermoral dan seharusnya tidak menjadi komoditas pasar. Dalam artian lain, prostitusi tidak layak diperjualbelikan.

    Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya mengenai moral, mayoritas orang yang menganggap prostitusi masih tabu untuk dijadikan komoditas pasar hanya terkena cultural shock akibat transisi budaya ekstrem. Ini tentu menjadi keadaan sulit bagi mereka yang tidak bisa beradaptasi secara cepat dengan moral saat ini.

    Tampaknya basis moral berubah lumayan cepat dengan banyaknya pertarungan ide di media sosial. Di dunia maya, generasi muda yang melek isu-isu sosial dan budaya tak segan-segan menghadapi siapapun yang dianggap melakukan slut-shaming.

    Banyak sekali komoditas yang dimaklumi atau dianggap tak bermoral untuk dijajakan di pasar dalam rentang sejarah manusia. Pasar tidak mempunyai batas. Tidak ada hal yang secara inheren dilarang untuk diperjualbelikan. Karena itu kembali lagi pada konsep basis ekonomi, supply and demand. Jika tidak ada konsumen, produsen tidak akan memproduksi sesuatu dan pasar tidak ada. Begitupun sebaliknya.

    Sebagai contoh, kita lihat pada sistem penjualan organ manusia. Penjualan organ manusia ini dianggap sebagai sesuatu yang tak bermoral karena diangap hanya menguntungkan satu pihak. Padahal kenyataannya, persediaan organ merupakan sesuatu yang langka, sehingga beberapa pasien yang membutuhkan organ terpaksa membelinya secara ilegal.

    Pada tahun 1980-an, Iran mengalami kekurangan ginjal yang disumbangkan secara legal. Hal ini diperparah dengan peralatan dialisis untuk pengobatan masyarakat yang sedang menderita penyakit ginjal stadium akhir berada di bawah standar. Akibatnya, pada tahun 1988, Iran memutuskan strategi yang bisa dibilang kontroversial, yaitu melegalisasi penjualan ginjal dari orang yang masih hidup dengan konsen mereka.

    Namun, saya percaya ada beberapa hal yang memang tidak boleh diperjualbelikan dalam kondisi apa pun karena melanggar batas hak asasi seseorang. Mengenai masalah komodifikasi di pasar, kita tidak cukup hanya melihat dari kacamata ekonomi dan sosial, tapi yang terpenting juga kita tidak melupakan hak asasi manusia (HAM).

    Contohnya adalah organ harvesting dan human trafficking. Kedua ide ini salah dari ide awalnya (mendapatkannya dengan gratis juga salah). Korban tidak memiliki konsen terhadap tindakan ini. Dan, yang paling utama yakni soal hak asasi dalam konteks hak properti dan pelanggarannya.

    Kita juga perlu melihat perihal komoditas pasar lewat etika bisnis. Tentang cara yang benar dan salah untuk terlibat dalam pasar, pembatasan waktu, tempat, dan cara yang sah pada pasar individu.

    Contohnya, ketika ada seseorang yang menjual stik drum kepada pembunuh. Menjual stik drum adalah hal yang lazim dilakukan dan tidak ada batasan moral. Toh, stik drum untuk main drum. Namun, menjualnya saat ada pembunuh di hadapan korban itu salah. Ini lah yang dinamakan batas kontingensi dari pasar.

    Selain itu, kita juga harus membedakan antara legality dan moral permissibility. Sesuatu yang menurut standar moral kita tidak diperbolehkan, bukan berarti harus dilarang secara hukum. Karena kritik selalu datang dari para anti-komodifikasi. Argumen paling umum berkaitan dengan nilai yang dikandung dalam suatu komoditas dapat mengalami degradasi apabila dijadikan komoditas jual-beli.

    Pertanyaan menarik tentang pasar bukanlah apa yang bisa kita beli dan jual, melainkan bagaimana kita harus membeli dan mengelolanya. Cara-cara tertentu untuk membeli dan menjual barang-barang mungkin salah, namun itu tidak berarti bahwa barang tersebut tidak boleh dibeli atau dijual.