Banyak orang menganggap bahwa Islam adalah agama yang anti terhadap nilai-nilai kebebasan. Kebebasan selalu dianggap oleh masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, sebagai sebuah produk Westernisasi. Asas kebebasan selalu dikaitkan dengan pemberontakan dan juga penghancuran pada nilai dan moral. Dengan kata lain, tak sedikit orang yang menganggap bahwa ide kebebasan adalah sebuah ide yang tidak Islami.
Islam selalu dipahami sebagai sekumpulan aturan-aturan yang lengkap bagi manusia, dari bangun tidur hingga tidur lagi. Bagi banyak individu Muslim, tidak ada satu perilaku pun yang tidak diatur dalam Islam, sehingga mereka menganggap lengkapnya aturan dalam hukum Islam ini merupakan bentuk sempurnanya Islam.
Padahal, jika kita kaji lebih mendalam, semakin banyak aturan-aturan (yang dinisbatkan sebagai hukum Islam), justru akan mempersempit ruang gerak kaum Muslim untuk menyesuaikan kondisinya dengan realitas modern atau keadaan zaman yang terus berubah. Aturan-aturan yang kaku justru akan membuat kehidupan umat beragama tidak fleksibel, dan efeknya adalah tidak ada perkembangan dalam kehidupan umat Islam.
Bagi saya, mendiskusikan mengenai kebebasan dalam Islam adalah hal yang serius. Kita akan kembali kepada sumber-sumber kalam (teologi) Islam yang memperdebatkan masalah ontologis, apakah manusia diciptakan dengan kebebasan atau tidak? Bagi sebagian kalangan, ya manusia memiliki kebebasan. Namun, bagi sebagian besar yang lain berkata tidak manusia tidak memiliki kebebasan.
Saya tidak hanya menganggap bahwa setiap manusia dilahirkan untuk bebas, namun lebih jauh lagi. Kebebasan bagi saya adalah “fitrah” dan sangat sesuai dengan ajaran Islam. Kebebasan sangat dijunjung dalam Islam, dan ini tercermin dalam sikap Al-Qur’an dalam menyikapi orang-orang yang enggan memeluk Islam, Al-Qur’an lantas menjawab, “La Ikraha Fid-din” (tidak ada paksaan dalam beragama).
Dengan dasar bahwa tidak ada pemaksaan dalam memeluk agama, dan tidak ada yang berhak untuk memaksa orang memeluk Islam (sekalipun itu seorang Rasul atau Khalifah), maka disini kita bisa yakin bahwa kebebasan untuk memilih dan juga kebebasan dalam berkeyakinan diakui oleh Islam.
Apakah Kebebasan itu Sesuai dengan Islam?
Apakah kita hidup diatur oleh kehendak bebas atau dikontrol oleh Tuhan? Sayyid Mujtaba Musawi mengutip Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah pernah ditanya apakah Allah mengatur perbuatan manusia dan juga mentakdirkan sepenuhnya nasib manusia, Imam Ali menjawab, “Seandainya segala perkara seperti itu dan setiap ketentuan sudah diputuskan (dimana manusia tidak memiliki kehendak bebasnya,) maka batallah hukum pahala dan dosa, gugurlah janji dan ancaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambanya dengan memberikan kebebasan memilih (takhyīran)” (Musawi, 2004).
Dengan berdasarkan keterangan dari Imam Ali di atas, menyiratkan bahwa sebenarnya kebebasan adalah fitrah manusia. Manusia diberikan kebebasan mutlak untuk memilih dan mengambil jalan hidupnya. Sebab, jika manusia terkurung secara ketat oleh “qadar” atau takdir Tuhan, maka secara logis manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, sehingga tidak berguna para Nabi atau ulama menerangkan kepada manusia.
Dalam pandangan Islam, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas. Ia bebas untuk berpikir, bertindak, dan untuk memilih apa yang menjadi pilihannya. Ia bebas pula dalam mencari kebahagiaannya. Sebab, hanya dengan kebebasan kita meyakini tentang tanggung jawab dan pilihan atas tindakan manusia.
Allah berfirman dalam Al-Quran “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36). Karena pertanggungjawaban hanya lahir dari kebebasan untuk memilih dan bertindak, maka Islam secara jelas menekankan bahwa tiap individu pada hakikatnya adalah makhluk yang bebas. Ia bisa bebas melakukan tindakan baik dan ia bebas pula melakukan tindakan yang buruk dan semua dalam koridor tanggung jawabnya (Harmouzi dan Whitestone, 2017).
Imam Muhammad Abduh, salah seorang ulama pembaharu yang hidup di abad ke-19, menerangkan bahwa iman yang sejati lahir dari rasionalitas manusia bukan taklid (mengekor), Akal menuntun manusia untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Independensi manusia dalam berpikir inilah yang kemudian memaksa manusia untuk menggunakan akalnya, untuk mempertimbangkan konsep moralitas. Al-Qur’an sebagai wahyu, mengkonfirmasi (membantu) manusia untuk menunjukkan kebaikan dan keburukan (Abduh, 1979).
Harun Nasution menjelaskan pandangan sekte Islam seperti Mu’tazilah (dipelopori oleh Syaikh Wasil bin Atha), berpendapat bahwa fungsi akal adalah pelengkap kebebasan manusia. Sebagai manusia yang bebas, tentunya manusia bisa saja berbuat baik atau buruk. Ia bisa melakukan perbuatan terpuji dan juga tercela. Ia bisa juga mengambil hak milik orang lain. Karena itu, akal dijadikan oleh Tuhan sebagai pedoman (Nasution, 1987).
Akal merenungkan mana yang bermanfaat mana yang tercela, mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuatan akal itu diperkuat dengan turunnya wahyu, dimana wahyu Islam mengajarkan tentang moralitas dan landasan hukum agar manusia bisa mengatur perilaku bebasnya, dan bukan menghilangkan.
Tentu saja, konsep Syaikh Wasil bin Atha dan Imam Muhammad Abduh sedikit banyak koheren, bahkan dekat, dengan konsep kebebasan yang dijelaskan oleh bapak liberalisme seperti John Locke dan Immanuel Kant, yang meyakini bahwa manusia yang bebas harus berpegang pada rasionalitas atau akal budi. Kaum liberal percaya bahwa akal budi manusia itulah yang menjadi tumpuan dalam masyarakat yang bebas.
Karena Islam mengakui adanya otoritas dalam kehendak manusia, maka dalam ranah keimanan, Allah tidak memaksakan apakah orang itu harus beriman padanya ataukah tidak. Allah juga melarang orang-orang beriman (Islam) untuk memaksa suku-suku pagan Arab lainnya agar masuk Islam, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang mengkonfirmasi hal ini. Salah satunya adalah Surah Al-Kahfi, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafif” (QS. Al-Kahfi: 29).
Salah Kaprah Memahami Kebebasan
Di luar sana, banyak orang yang membenci kebebasan dan ide-ide mengenai kebebasan dan liberalisme karena mereka berasumsi bahwa kebebasan itu adalah keliaran. Kebebasan akan menciptakan chaos dan keburukan. Padahal, ide dasar kebebasan dalam liberalisme bukan seperti itu.
Kebebasan dalam liberalisme adalah penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Kebebasan dalam liberalisme bukanlah kebebasan tanpa aturan, sebab akal budi yang membimbing manusia akan menciptakan moralitas yang mana ia akan melindungi hak-hak individu lainnya.
Contohnya, ketika Anda menemukan dompet yang jatuh, Anda bisa saja mengambilnya untuk keuntungan diri sendiri. Tetapi, hati nurani dan moralitas kita melarangnya, karena uang dalam dompet tersebut bukan milik kita dan diluar dari wewenang diri kita untuk memanfaatkannya. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya” (HR. Abu Dawud).
Moralitas liberalisme adalah yang menjunjung akal budi dan hati nurani. Kita memiliki kehendak bebas, tapi bukan berarti semena-mena mengambil hak milik orang. korupsi, membunuh, dan melakukan tindakan tercela lainnya. Liberalisme mengedepankan rasa tanggung jawab kita terhadap diri sendiri.
Islam sebenarnya tidak seperti yang dipahami oleh kalangan konservatif dan fundamentalis yang menganggap bahwa Islam memiliki aturan yang ketat, sehingga mengatur setiap nafas dan gerak manusia. Kalau kita melihat esensi ajaran Islam, semua berlandaskan kesukarelaan dan komitmen keagamaan bukan atas paksaan.
Shalat dan puasa itu salah satu rukun dalam Islam. Orang yang hatinya memang berkomitmen, maka secara sadar dan berpikiran terbuka, ia akan melaksankan shalat dan puasa. Tetapi faktanya, banyak orang yang malas atau karena ada hal-hal tertentu, sehingga tidak mendirikan shalat atau puasa. Dalam Islam, mereka yang tidak shalat dan puasa tetap dianggap beriman, hanya saja keimanannya kurang dan tidak konsisten terhadap ikrar mereka kepada Tuhan. Dalam hal ini, mereka hanya dicap sebagai “pendosa”, bukan kafir atau murtad dan tidak dikenakan hukuman apapun.
Ada suatu kisah, seorang Khawarij (sekte fundamentalis yang ekstrim) datang kepada Imam Abu Hanifah. Orang itu bertanya pada Imam, “ada seorang Muslim, ia pemabuk dan berzinah lalu mati tanpa bertaubat, apakah dia masih disebut sebagai seorang Muslim?” Imam lantas bertanya balik, ”apakah dia mengaku dirinya Islam?” khawarij itu berkata “iya.”
Kemudian Imam Abu Hanifah bertanya lagi, “lalu apakah ketika ia mabuk dan berzinah ia dalam keadaan muslim atau bukan?” Orang itu berkata, “Dalam keadaan sebagai Muslim.” Imam kembali bertanya, “ketika dia mati dan dikubur apakah dengan cara Islam atau bukan?” Orang itu menjawab, “iya, ia dikubur dengan cara Islam”, lantas Imam menjawab, “yasudah kalau begitu..(orang itu tetap sebagai seorang Muslim)” lalu Imam membaca ayat, “Barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai Aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ibrahim: 36).
Dari sini sangat jelas bahwa dasar dari fondasi Islam adalah Iman. Syarat menjadi seorang muslim yang kaffah adalah Iman, bukan mendirikan negara Islam atau menegakkan hukum fiqh. Islam bukan agama hukum yang merampas kebebasan. Ia datang sebagai pembimbing moralitas dan juga menuntun kehidupan manusia.
Islam tidak memaksa kita menggunakan sorban, memelihara jenggot, memakai gamis, atau mengarab-arabkan aksen. Islam adalah ketundukan secara sukarela. Sebagai seorang Muslim, pada fitrahnya Allah memberi kebebasan pada kita. Kita bebas untuk berkehendak, bebas memilih, bebas untuk bekerja, sebagaimana dalam hukum Islam terdapat kaidah yang berbunyi, “Al-Ashlu Fil Asy-Yaai Al-Ibahah” segala sesuatu pada dasarnya adalah boleh (mubah).
Islam datang bukan membatasi kebebasan yang menjadi fitrah tersebut atau mengatur secara ekstrim seperti anggapan ulama konvensional, wahyu Ilahi datang untuk memberi aturan dan rambu agar manusia terkelola dengan baik. Kelompok ekstrim dan konservatif merubah wajah Islam yang luwes menjadi kaku dan sempit, inilah yang (dalam pandangan penulis) keliru.
Referensi
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press.
Abduh, Muhammad. 1979. Risalah Tauhid. Jakarta: Pustaka Bulan-Bintang.
Musawi, Sayyid Mujtaba. 2004. Teologi Islam Syi’ah. Jakarta: Al-Huda.
Harmouzi, Nouh El; Linda Whetstone. 2017. Islam dan Kebebasan: Argumen untuk Masyarakat Bebas. Jakarta: Suara Kebebasan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com