Selama masa pandemi, tren belanja online meningkat. Hal ini tentu saja terjadi karena adanya larangan pemerintah untuk meminimalisir kegiatan di luar dan physical distancing. Perubahan signifikan ini berlaku juga untuk dunia fashion, mulai dari istilah thrifting yang sedang merebak di instagram. Banyaknya masyarakat yang mencoba reworked baju bekas mereka, dan akhir-akhir ini tentu saja, tren ala-ala y2k style (era 2000-an) yang sedang hype.
Yang akan saya soroti bukan masalah tren perkembangan fashion, melainkan pelaku, target, dan kreativitas dalam pasar fashion yang sudah sangat berbeda dari zaman dulu. Kini, fashion tidak hanya berkutik sekitar baju panjang yang didesain khusus untuk perempuan saja. Saat ini sudah banyak kaum adam yang terjun ke dunia fashion dan justru mengeksplorasinya lebih. Kuncinya? Kreativitas dan kebebasan bereskpresi.
Namun, proses menjadi dunia fashion yang seperti saat ini (lebih baik dari sebelumnya) tidaklah mudah. Realitas kekinian kita justru menciptakan ironi yang terus-terusan memberi batasan, baik dari kreativitas, gender, dan sebagainya. Dengan adanya regulasi-regulasi khusus untuk mengatur pakaian mana yang boleh dipakai atau tidak akan menghambat kreativitas masyarakat dalam berkreasi dan berekspresi.
Pada bulan September lalu, Molika Tan, perempuan berusia 18 tahun, pertama kali mendengar informasi bahwa pemerintah sedang menyusun aturan denda bagi perempuan Kamboja yang mengenakan pakaian yang dianggap terbuka. Ia merasa prihatin dan segera menginisiasi petisi daring untuk menentangnya (BBC, 21/09/2020)
Pemerintah Kamboja berargumen bahwa aturan tersebut itu bertujuan melestarikan tradisi budaya dan martabat sosial masyarakat Kamboja, walaupun memunculkan banyak kritikan. Perempuan Kamboja itu, Molika Tan, menilai bahwa regulasi tersebut sebagai serangan terhadap kebebasan perempuan. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menekan perempuan yang mengenakan pakaian terbuka, dan melarang penyanyi dan aktor menggunakan pakaian tidak pantas (BBC, 21/09/2020).
Yang lebih memprihatinkannya lagi, pada bulan April, seorang perempuan di Kamboja dijatuhi hukuman enam bulan penjara atas tindakan pornografi karena ia mengenakan pakaian yang disebut “provokatif”, saat menjual pakaian di media sosial. Perdana Menteri Hun Sen saat itu menyebut, dalam siaran langsung, apa yang dilakukan perempuan itu sebagai “pelanggaran atas budaya dan tradisi” dan menyatakan bahwa perilaku seperti itu berkontribusi pada pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan (BBC, 21/09/2020).
Contoh lainnya mengenai polemik dalam aturan berbusana, di Universitas Cornell di Amerika Serikat. Seorang mahasiswa menyerahkan tesisnya dengan berbungkuskan celana dalam guna memprotes atas keluhan bahwa dirinya hanya mengenakan celana pendek. “Mahasiswa perempuan biasanya disasarkan karena di Amerika. Kita hanya memiliki perspektif sangat terbatas atas apa yang bisa diterima untuk perempuan. Jadi kita punya kebiasaan untuk mengatur pakaian mereka, perilaku mereka“, ujar seorang mahasiswa dari Universitas Illinois, Adrienne Dixson (VOA Indonesia, 01/09/2019).
Sementara, Letitia Chai dari Universitas Cornell, juga merasa tidak nyaman dengan adanya aturan berbusana seperti ini. Chai adalah seorang mahasiswa internasional dari Korea. Menurutnya, perempuan diminta untuk menyesuaikan cara mereka berpakaian untuk memenuhi tuntutan laki-laki. Ia pun pernah memicu perdebatan ketika dia mempertontonkan protesnya di Facebook lewat live-streaming pada tahun 2018 (VOA Indonesia, 01/09/2019).
Di Indonesia sendiri, memang tidak ada aturan khusus terkait aturan busana. Namun, tampaknya stigma kalau perempuan wajib memakai pakaian tertutup, pria dianggap aneh apabila berdandan atau berpakaian modis, dan sebagainya sudah tidak asing lagi.
Sejak kapan pakaian terbuka dicap buruk? Apa karena kebanyakan korban kekerasan seksual disebabkan pakaiannya yang mengundang kejahatan? Bila demikian, lalu apa kasus kekerasan seksual berkurang ketika pakaian perempuan sudah rapih tertutup? Jawabannya tidak juga.
Standar baik atau buruk untuk menilai suatu regulasi berdasarkan moral adalah sebuah tindakan yang percuma. Selain itu, yang harus dihitung juga akibat dari regulasi tersebut, khususnya terhadap industri pakaian. Perusahaan atau pemilik usaha yang memang memiliki kelebihan atau keunikan pada desain pakaian tertentu, tentunya tidak dapat menjual produk-produknya, dan tidak mustahil hal tersebut akan berdampak pada pekerja yang bekerja di perusahaan tersebut.
Sama halnya dengan stigma kaum adam yang berdandan atau berpakaian modis, yang kerap dianggap aneh, cowok jadi-jadian, dan cemoohan lainnya. Para perancang busana dan pegiat mode berusaha untuk mengubah prasangka tersebut karena laki-laki juga punya banyak sekali ragam ekspresi. Dengan demikian, diharapkan masyarakat bisa mengubah asumsi tentang laki-laki yang tidak harus kasar, jorok, atau kekar. Hal ini membuktikan bahwa busana dan fashion bisa menjadi medium pembebasan.
Referensi
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-54181802 Diakses pada 18 November 2020, pukul 10.00 WIB.
https://www.voaindonesia.com/a/polemik-aturan-berbusana-/5065007.html Diakses pada 18 November 2020, pukul 21.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.