Masih ingat di benak saya ketika pertama kali saya menonton “3 Srikandi.” Tara Basro, salah satu pemain utama di film itu, dengan kelembutan dan kedewasaannya membuat saya langsung jatuh hati pada caranya memainkan peran tersebut.
Sejak itu, saya mulai mengikuti Tara Basro, baik media sosial maupun film yang dibintanginya. Beberapa hari lalu, Tara Basro mengunggah fotonya di Instagram dan Twitter, foto tersebut menuai beberapa pro dan kontra, yang juga direspon oleh Kementerian Telekomunikasi dan Informatika (Kominfo).
Melalui foto tersebut, Tara Basro mengampanyekan body positivity dengan mencintai tubuh kita sendiri. Foto tersebut memperlihatkan tubuhnya yang berisi, bahkan memiliki lipatan perut. Dalam salah satu foto yang diunggah itu, Tara berpose tanpa busana dan menuliskan caption mengenai self-love bagi pengikutnya.
Mulanya, foto itu menuai banyak pujian dan respon positif dari para penggemarnya, termasuk kalangan selebritas. Namun, keesokan harinya, Kominfo bertindak menghapus unggahan tersebut karena dianggap telah melanggar muatan kesusilaan yang diatur dalam UU ITE. Sebenarnya, apa yang salah dari foto Tara Basro hingga membuatnya harus berhadapan dengan hukum?
Kasus Tara Basro ini bukan kali pertamanya ancaman jerat pasal kesusilaan dalam UU ITE terjadi. Sebelumnya ada konten video milik Kimi Hime yang dianggap menyebarkan hal vulgar. Masih ingat dengan kasus Bu Nuril? Ia dihukum penjara karena merekam perbincangan mesum kepala sekolahnya.
Bagi saya, hal-hal ini menjadikan UU ITE seperti pasal karet dan bias gender. Tidak ada definisi yang jelas terkait kesusilaan dalam UU ITE. Susila yang dimaksud seharusnya dijelaskan seperti apa, dan apakah hal tersebut selalu diarahkan pada tubuh perempuan?
Bukan hanya masalah dari hukum yang masih “abu-abu” saja. Kaburnya dan bahkan persepsi keliru dalam memahami kebebasan berekspresi di media sosial juga sering menimbulkan persoalan baru.
Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi yang telah dijamin dan sangat esensial dalam demokrasi. Pada masa kini, kebebasan berekspresi dapat dilakukan di berbagai medium, salah satunya di media sosial.
Ekspresi sendiri dimulai dari adanya komunikasi antar sesama manusia yang saling bertukar berbagai informasi. Salah satu dari tujuan proses saling mentukar informasi ini adalah, untuk mempengaruhi dan mengubah ide, gagasan, sudut pandang, atau cara pandang orang lain.
Dalam berekspresi, khususnya di Indonesia, tidak banyak pihak-pihak yang berani untuk mengangkat isu-isu sensitif . Kalau memperhatikan interaksi di media sosial, selalu ada pesan yang tidak tersampai sesuai yang diinginkan oleh yang menyampaikan pesan, karena kesenjangan bahasa. Salah satunya adalah terkait dengan kampanye body positivity yang saya sampaikan di atas.
Kesenjangan bahasa terjadi umumnya disebabkan karena banyak aktivis atau pemerhati isu menyuarakan pendapatnya lewat Bahasa Inggris, sementara target yang menjadi tujuan mereka belum tentu fasih atau memahami Bahasa Inggris. Akhirnya, diskusi pun tidak dapat dilakukan dengan baik. Meskipun, dalam hal ini, saya juga melihat ada sisi positif dari penggunaan Bahasa Inggris untuk kegiatan aktivisme, yakni dapat semakin mendorong orang lain untuk belajar bahasa asing.
Kembali pada kasus Tara Basro, bisa dilihat bahwa esensi dari unggahan pemeran film “3 Srikandi” tersebut sangat rentan tertutup oleh sensasi yang muncul. Karena itu, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang ITE yang tidak memiliki kejelasan substansi. Belum lagi, implementasi dari undang-undang tersebut yang cenderung bias gender dan dapat merugikan banyak pihak, khususnya perempuan.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.