Pada 20 Juli 2020 lalu, kebebasan beragama di Indonesia kembali tercoreng. Di tanggal tersebut, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memberlakukan penyegelan terhadap proyek pembangunan makam penghayat Sunda Wiwitan di, yang terjadi di Kuningan, Jawa Barat.
Kejadian tersebut berawal dari ketika penghayat Sunda Wiwitan ingin membangun makam untuk Pangeran Djatikusumah, yang merupakan salah satu tokoh agama Sunda Wiwitan. Namun, pembangunan makam tersebut dihentikan oleh Satpol PP dan tidak bisa dilanjutkan.
BBC Indonesia melaporkan, penyegelan tersebut juga didorong oleh kelompok-kelompok keagamaan tertentu, karena dianggap akan menyebarkan kemusyrikan. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan sendiri menjustifikasi penyegelan tersebut karena proyek pembangunan tersebut tidak memiliki Izin Medirikan Bangunan (IMB) (BBC Indonesia, 23/07/2020).
Namun, klaim tersebut dibantah oleh perwakilan dari Sunda Wiwitan. Mereka menyatakan bahwa mereka sudah mengirim surat untuk membuat IMB kepada pemerintah daerah, namun tidak diterima. Pemerintah daerah juga mengklaim bahwa pembangunan tersebut mendapatkan penolakan dari ormas-ormas keagamaan tertentu (Kompas, 25/07/2020).
Hal tersebut bukanlah kali pertama kelompok Sunda Wiwitan mendapatkan perlakukan yang diskriminatif dari negara. Tidak jarang misalnya, anak-anak penganut Sunda Wiwitan mendapat kesulitan ketika ingin mengurus berbagai hal seperti mengurus akta kelahiran dan administrasi kependudukan (Kompas, 06/12/2017).
Sunda Wiwitan sendiri merupakan salah satu aliran kepercayaan tradisional yang berkembang di dalam masyarakat Sunda, sebelum agama-agama besar, seperti Hindu dan Islam masuk ke Indonesia. Saat ini, penganut Sunda Wiwitan dapat kita jumpai di berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Sukabumi, Kuningan, dan Cirebon (CNN Indonesia, 24/08/2017).
Sunda Wiwitan tentu bukan satu-satunya aliran kepercayaan di Indonesia. Di Nusantara, terdapat banyak aliran-aliran kepercayaan lokal yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum agama-agama besar yang diakui negara masuk ke Indonesia, diantaranya, seperti Kejawen dan Kaharingan. Salah satu bentuk ketidakadilan yang kerap ditemui oleh penganut aliran kepercayaan lokal diantaranya adalah perihal pencatatan dan pembangunan rumah ibadah.
Pada bulan November 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengabulkan permohonan untuk mencantumkan aliran kepercayaan ke dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal tersebut tentu merupakan perkembangan yang sangat positif agar untuk memberikan keadilan bagi saudara-saudara kita yang menganut berbagai aliran kepercayaan lokal di Indonesia (Tirto.Id, 28/02/2019).
Namun, bukan berarti diskriminasi terhadap berbagai penganut aliran kepercayaan lokal di Indonesia dapat hilang begitu saja, seperti yang dialami oleh saudara-saudara kita penghayat Sunda Wiwitan di Kuningan pada bulan Juli lalu. Berbagai organisasi keagamaan juga menunjukkan sikap keberatan atas putusan MK tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, mengusulkan untuk membuat KTP khusus untuk penganut aliran kepercayaan, untuk menghindari masalah dan penolakan (Tirto.Id, 28/02/2019).
Hak atas kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang sangat fundamental yang harus diindungi oleh negara terhadap seluruh warganya tanpa kecuali. Setiap Warga Negara Indonesia sudah seharusnya mendapat perlindungan dari negara untuk beribadah dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya.
Indonesia sendiri juga sudah memiliki jaminan konstitusional untuk melindungi hak tersebut. Dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dinyatakan dengan jelas bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Selain itu, Indonesia sendiri pada tahun 2005 juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR), di mana salah satu pasalnya secara eksplisit menyatakan bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu kebebasan paling fundamental yang harus dilindungi. Dalam Pasal 18 ICCPR, dinayatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak untuk menikmati kebebasan beragama, dan tidak ada satu orang pun yang dapat dipaksa untuk menganut agama tertentu.
Memang, harus diakui bahwa Indonesia saat ini masih menganut penerapan 6 agama resmi, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat problematis, karena penganut agama di negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dan keanekaragaman budaya yang sangat tinggi seperti Indonesia tentu tidak bisa disederhanakan hanya menjadi 6 kelompok saja, seakan melupakan penganut aliran keagamaan dan kepercayaan lainnya.
Ada sangat banyak aliran keperayaan dan keagamaan yang berkembang di Indonesia selain dari keenam agama-agama besar tersebut. Sudah menjadi amanat konstitusi bagi pemerintah untuk melindungi setiap warga negara untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya, dan adanya 6 agama resmi tidak bisa dijadikan justifikasi untuk mendiskriminasi umat agama dan kepercayaan lain.
Negara dalam hal ini, juga harus kuat untuk tidak tunduk dan melawan berbagai tuntutan dari kelompok-kelompok intoleran tertentu yang ingin menyeragamkan masyarakat, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan semboyan nasional bangsa, “Bhinneka Tunggal Ika”.
Jika negara akhirnya jatuh dan tunduk pada tuntutan-tuntutan berbagai kelompok intoleran tersebut, maka semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak akan lebih dari jargon simbolik dan pajangan di depan ruang-ruang kelas dan gedung perkantoran semata. Jangan sampai kita biarkan hal tersebut terjadi.
Referensi
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53505078 Diakses pada 15 Agustus 2020, pukul 13.20 WIB.
https://regional.kompas.com/read/2020/07/25/15394001/respons-sunda-wiwitan-soal-belum-adanya-imb-untuk-makam-sesepuh?page=all Diakses pada 15 Agustus 2020, pukul 21.50 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170823191041-20-236802/sunda-wiwitan-tersingkir-dari-tanah-sendiri Diakses pada 16 Agustus 2020, pukul 00.40 WIB.
https://tirto.id/sejarah-diskriminasi-penganut-agama-lokal-di-indonesia-dhTX Diakses pada 16 Agustus 2020, pukul 04.15 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.