Di media sosial, nampaknya isu PKI selalu menjadi “gorengan politik” selama 5 tahun terakhir. Walaupun PKI sudah dibubarkan dan secara resmi telah dilarang oleh pemerintah melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966, namun PKI seolah-olah masih eksis dan siap memecah belah bangsa.
Ustadz Alfian Tanjung misalnya, merupakan salah satu tokoh yang viral belakangan ini karena pernyataannya tentang simpatisan-simpatisan PKI yang berada dalam tubuh PDIP. Begitu juga Jenderal (Purn) Kivlan Zein yang meyakini bahwa PKI masih eksis dan terus menggerogoti bangsa ini (Okezone.com, 21/08/2015).
Berita-berita tentang kebangkitan PKI dewasa ini telah membuat ketakutan di masyarakat. Ketakutan masyarakat terhadap PKI memang memiliki alasan yang kuat. Bangsa Indonesia memiliki rasa traumatik sejarah terhadap komunisme, khususnya pada Peristiwa ’65.
Dalam pandangan masyarakat, komunisme bukanlah sebuah ideologi sebagaimana lazimnya ideologi-ideologi lain. Komunisme adalah ajaran sesat yang membahayakan, bengis, keji dan menghalalkan segala cara. Dalam relief-relief Monumen Pancasila Sakti, orang-orang komunis digambarkan sebagai orang yang tidak berprikemanusiaan dan haus darah.
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer, secara apik dan mengesankan telah menggambarkan tentang intrik-intrik partai komunis untuk meraih kekuasaan dengan jalan kekerasan. Arifin C. Noer menggambarkan Aidit yang merokok dengan segala konspirasi di otaknya, Sjam Kamaruzzaman yang menyuruh membunuh jenderal-jenderal, dan wanita-wanita yang menari ketika pembantaian di Lubang Buaya.
*****
Isu kebangkitan PKI yang belakangan ini viral sebenarnya bukan isu lama. Jauh sebelum Pilpres 2014 dan Pemilu 2019 diadakan, isu mengenai kebangkitan partai terlarang ini sudah dilakukan oleh rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Suharto sendiri dapat naik ke kursi kepresidenan dan membangun sebuah rezim yang kokoh (Orde Baru) salah satunya karena adanya ketakutan masyarakat terhadap komunisme. Pada tahun 1965, komunisme digambarkan sebagai hantu yang berbahaya dan menakutkan, seperti genderuwo yang siap menculik anak perawan di kegelapan malam.
Rasa ketakutan yang diciptakan oleh rezim Orde Baru, membuat Suharto dapat berbuat apapun. Bahkan, MPRS memberikan mandat khusus kepada Suharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi memulihkan stabilitas negara dari ancaman komunisme (dan mandat yang bernama Supersemar hingga saat ini belum dicabut).
Ketika memasuki dekade 90-an, negara-negara sosialis ambruk dan membubarkan diri. Uni Soviet, raksasa komunisme yang selalu ditakuti, akhirnya jatuh ke dalam krisis politik dan ekonomi yang kemudian membuatnya jatuh ke jurang kematian. Tumbangnya negara-negara komunis di dunia menandakan bahwa komunisme tidak perlu ditakuti lagi. Sang “genderuwo” sudah lenyap dan demokrasi berhasil mengalahkan komunisme.
Alih-alih senang atas bubarnya negara komunis, pemerintah Orde Baru justru merasa “kalang kabut”. Ketika arus komunisme berubah menjadi arus demokratisasi, euforia kebebasan ikut masuk ke Indonesia. Rakyat menuntut keterbukaan, kebebasan, dan transparansi. Euforia kebebasan ini akhirnya menuntut rezim militer tersebut menciptakan istilah baru, yaitu “keterbukaan”. Keterbukaan di sini dimaksudkan bahwa setiap orang secara bebas dapat berpendapat dan berpikir mengenai Pancasila sebagai ideologi negara, ekonomi, politik, dan lain sebagainya (Suara Pembaruan, 1990).
Istilah “keterbukaan” digunakan oleh Orde Baru ketimbang “kebebasan”, sebenarnya adalah pemberian kebebasan dengan setengah hati. Namun, golongan politik muda tetap memanfaatkan celah yang sedikit itu sehingga secara blak–blakan kelompok mahasiswa dan politisi berani menyatakan dirinya sebagai oposisi. Kebencian rakyat yang ditujukan pada komunis kini diarahkan ke pemerintah. Dengan kata lain, matinya komunisme sebenarnya telah menjadi ancaman besar bagi rezim Orde Baru, karena tak ada lagi “lawan bersama” dan sasaran kebencian yang dikambinghitamkan oleh pemerintah.
Walau Orde Baru tidak ingin komunisme muncul di Indonesia, namun sebenarnya, Orde baru “membutuhkan” PKI untuk “menyegarkan” kekuasaannya. Masyarakat harus selalu diyakinkan bahwa pemerintah Orde Baru adalah pahlawan yang menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman cengkeraman komunisme. Ketakutan pada komunisme ini akan membuat Orde Baru mendapat mandat dari rakyat untuk melakukan segalanya, termasuk menjegal lawan politik.
Karena itu, Orde Baru perlu “menghidupkan” kembali PKI dan isu-isu kebangkitannya lewat Peristiwa Kudatuli (Peristiwa 27 Juli 1996) yang mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang dibalik kerusuhan. Pemerintah Orba juga menghembuskan isu OTB (organisasi tanpa bentuk) untuk menjaga ingatan kolektif masyarakat tentang bahaya PKI.
Dalam majalah Tiras edisi 7 November 1996, Kasad Jenderal R. Hartono yang saat itu adalah petinggi ABRI, berkata bahwa PKI tidak akan pernah habis dan tidak selalu harus mengibarkan bendera PKI dalam merongrong pemerintah. Bisa juga PKI berkamuflase dengan cara halus, entah dengan jubah pembela Hak Asasi Manusia atau pendukung demokrasi (Tiras, November 1996).
Tentu saja, isu kebangkitan PKI dan adanya Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang dihembuskan oleh Pemerintah Orde Baru terlampau hiperbolik. Isu OTB dan kebangkitan PKI diciptakan agar militer dan rezim Orde Baru tetap dominan dalam pentas politik. Apalagi, gelombang demokratisasi jelas mengancam kultur militerisme yang memaksa rakyat agar hidup disiplin dan patuh kepada pemerintah.
Demonisasi Politik
Ketakutan tehadap paham komunisme memang sah-sah saja, sebab dari ketakutan akan mendatangkan kewaspadaan. Namun, jika isu PKI dihembuskan hanya untuk mengadu domba masyarakat demi kepentingan kelompok tertentu, jelas ini sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Dalam buku Beginilah Kondisi Manusia (1995), Paleontolog ternama Indonesia, Tengku Jacob, menulis tentang demonisasi dalam poitik. Demonisasi atau “mensetanisasi” lawan dalam dunia politik adalah hal yang lumrah. Misalnya, dahulu Amerika sangat menyanjung Iran sebagai sekutu terbaiknya ketika Shah Reza Pahlevi menjabat sebagai raja. Namun, ketika Imam Khomeini melalui Revolusi Islam berhasil menguasai Iran, maka Iran digambarkan sebagai sosok iblis yang ingin menghancurkan peradaban modern (Jacob, 1995).
Demonisasi adalah salah satu senjata politik yang biasa digunakan ketika terjadi kontestasi politik. Demonisasi digunakan oleh beberapa politisi untuk menjegal lawannya agar citra lawan politiknya menjadi rusak di mata rakyat, sehingga politisi tersebut bisa mendongkel suara rival politiknya.
Lebih jauh lagi, Tengku Jacob mengatakan bahwa demonisasi adalah salah satu strategi politik yang bisa dilakukan untuk mendongkel pemerintah. Melalui demonisasi politik, rakyat dihasut untuk membenci pemimpin yang berkuasa dalam suatu negara. Dengan demikian, jika sang pemimpin ditentang atau diperangi, nurani rakyat bebas dari rasa bersalah bahkan menganggapnya sebagai kewajiban moral (Jacob, 1995).
Isu PKI yang dihembuskan saat ini, adalah bagian dari demonisasi politik semata, hanya sebuah isu untuk kepentingan suatu kelompok untuk meraup simpati dan suara. Lebih jauh lagi, isu kebangkitan PKI dihembuskan agar sebagian kelompok tertentu bisa bertindak semaunya, dengan alasan untuk “memberangus komunisme”.
Sensitifitas dan rasa traumatik masyarakat terhadap komunisme akhirnya dimanfaatkan untuk mendapat kekuasaan politik. Sebagaimana Orde Baru yang menggunakan isu PKI untuk melanggengkan kekuasaannya, saat ini, isu kebangkitan PKI digunakan untuk mencari kedudukan politik sekaligus untuk menghajar lawan politik.
Isu kebangkitan PKI bisa dikatakan sebagai isu yang sudah basi. Alih-alih melawan ideologi komunisme, para politisi dan petinggi ormas yang anti PKI justru memiliki pandangan politik dan ekonomi yang tak jauh beda dengan ideologi tersebut, yakni menganggap bahwa kesejahteraan bisa dicapai lewat campur tangan negara, mengekang pasar, dan menolak kapitalisme.
Menolak komunisme tidak bisa dengan deklarasi atau demonstrasi. Menolak paham komunis tidak bisa dengan pemaksaan politik atau tindakan represif, tetapi harus dilakukan dengan mendukung dan mengembangkan gagasan-gagasan yang kontra komunisme, seperti pro pasar bebas, perlindungan properti milik individu, penegasan supremasi sipil, serta ide-ide kebebasan lainnya.
Ketika ada orang yang mengatakan dirinya anti PKI tapi masih mengharapkan nasionalisasi perusahaan asing, pembatasan investasi, serta pembatasan terhadap kebebasan rakyat, itu sama saja dengan omong kosong. Apa bedanya ia dengan PKI?
Referensi
Buku
Jacob, Tengku. 1995. Beginilah Kondisi Manusia. Jakarta: Balai Pustaka.
Suara Pembaruan. 1991. Rekaman Peristiwa 1990. Jakarta: Sinar Harapan.
Majalah & Internet
Majalah Tiras, No. 41/ Th. 2/ 7 November 1996. Dalam tajuk wawancara “Kasad Jenderal (TNI) R. Hartono: ‘Pakai Jaket Kuning, Itu Hak Saya’.
https://nasional.okezone.com/read/2015/08/21/337/1200324/pki-masih-gerogoti-indonesia Diakses pada 29 September 2020, pukul 17.35 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com