Keadilan Restoratif: Peralihan Pidana ke Arah yang Lebih Humanis

    149
    Sumber gambar: https://mises.org/library/classical-natural-law-and-libertarian-theory

    Keputusan untuk rewatch beberapa episode dari Game Of Thrones” membuat saya menyayangkan beberapa hal (yang sebelumnya tidak dinotis oleh diri saya sebelumnya). Pada masa lalu, proses hukuman di Barat yang tergambar secara gamblang, menghidupkan istilah ‘mata dibalas mata’, ‘nyawa dibalas nyawa’, menginisiasi saya untuk menyelam lebih dalam lagi mengenai konsep ini dan sejarahnya. Di Indonesia sendiri, juga demikian. Ingat ketika buku cetak IPS yang tebal karena kisah Keris Mpu Gandring yang dipesan oleh Ken Arok? Sesuai dengan sebutannya sebagai pusaka pencabut nyawa penguasa kerajaan, keris tersebut telah membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok, Anusapati dan Tohjaya dengan motif balas dendam.

    Cukup dengan pelajaran sejarahnya, kembali lagi ke situasi hukuman yang diterapkan dan ‘normal’ pada masa itu membawa saya pada konsep retributive justice. Konsep ini merupakan salah satu dari konsep keadilan yang telah lama diperkenalkan dan menjadi metode hukuman tertua di dunia. Keadilan retributif dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kriminal yang berfokus pada penghukuman pelanggar hukum dan kompensasi korban (britannica.com).

    Secara umum, beratnya hukuman sebanding dengan beratnya kejahatan. Seperti yang sudah saya singgung di atas, penerapan hukumnya yang sebanding sama dengan artian mata dibalas mata. Mereka yang merencanakan pembunuhan tetapi hanya berhasil melukai korban, misalnya, tidak boleh dihukum sekeras mereka yang benar-benar melakukan pembunuhan. Maka dari itu, di bawah skema keadilan retributif, penting juga bahwa pelaku benar-benar bersalah atas kejahatan yang telah dijatuhi hukuman.

    Lebih lanjut, dalam konsep retributive justice, terdapat lima unsur pemidanaan yang sangat penting untuk memahami retributivisme. Pertama, hukuman harus membebankan semacam biaya atau kesulitan atau paling tidak, menarik manfaat yang seharusnya dinikmati oleh orang yang dihukum. Kedua, penghukum harus memberikan perlakuan keras dengan sengaja, bukan sebagai kecelakaan, dan bukan sebagai efek samping dari mengejar tujuan lain. Ketiga, kesulitan atau kerugian dianggap normal dikenakan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang dibuat. Keempat, tindakan yang dilakukan oleh tersangka harus terbukti salah. Kelima, hukuman keras sebagai pesan ancaman bagi semua orang yang hendak melakukan kesalahan yang sama (Walen, 2021).

    Apabila hukuman mati menjadi representatif dari retributive justice pada masa lalu, kini pidana penjara menjadi potret dari konsep retributif tersebut. Di Indonesia, pidana penjara sebagai salah satu pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP masih menjadi prioritas dalam menghukum pelaku kejahatan di Indonesia. Ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di Indonesia tersebut merupakan warisan dari pemikiran aliran klasik yang menetapkan pidana dengan definite sentence atau mengandung perintah tertulis dalam UU (Aryana, 2015).

    Adapun, data yang dihimpun dari sistem database pemasyarakatan mencatat, jumlah penghuni lapas per 31 Desember 2011 se- banyak 136.145 orang. Setahun kemudian, 31 Desember 2012, angka itu bertambah menjadi 150.592 orang. Akhir 2013, peningkatannya menjadi 160.061 orang. Terakhir, data per per 17 Juli 2014 ada 167.163 napi yang menghuni rutan di seluruh Indonesia (Aryana, 2015). Hal ini membuktikan bahwa dominasi pemilihan pidana penjara sebagai jenis sanksi yang utama. Perubahan paradigma terhadap penghukuman masih didominasi dengan pemikiran akan pembalasan. Oleh sebab itu, penjara menjadi pilihan utama untuk membalas tindakan pelaku kejahatan.

    Pada perkembangannya, beberapa kajian mengenai efektivitas jerat hukuman berpendapat bahwa hukuman penjara bukan pilihan yang tepat karena hukum sejatinya diciptakan untuk membuat masyarakat menjadi sadar, taat, patuh, sehingga menjadikan manusia tidak melanggar hukum yang keduakalinya. Hukum juga seharusnya dapat memulihkan keadaan masyarakat, sedangkan mengurung orang di penjara belum tentu memulihkan keadaan seperti sediakala (Capera, 2021). Lantas, efektivitas hukum penjara dievaluasi lebih lanjut dan ditemui beberapa fakta-fakta dimana kelebihan kapasitas lapas bertendensi pada konflik internal, banyaknya hak-hak narapidana yang dilanggar, tidak efektif dalam memberikan pembinaan dan menyiapkan mental mantan warga binaan (Aryana, 2015).

    Data-data di atas menujukkan bahwa pidana penjara yang menyebabkan lembaga pemasayarakatan penuh sesak ternyata tidak membuat narapidana jera dan korban tidak mendapatkan pemulihan apa-apa dari si pelaku. Kepentingan korban diwakili oleh negara dengan memidanakan pelaku, sedangkan korban hanya bisa menunggu dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh negara. Terkadang putusan hakim dapat memuaskan bagi korban, namun tidak jarang justru membuat korban kecewa, karena putusannya jauh dari rasa keadilan yang diidam-idamkan korban dan masyarakat.  Selain tidak bermanfaat bagi korban, pidana penjara berdampak destruktif bagi narapidana yaitu terdapat kecenderungan bahwa orang-orang yang telah menjalani hukuman penjara ternyata lebih sulit untuk menyesuaikan diri di masyarakat dan sekaligus memiliki kerentanan untuk mengulangi tindak pidana (Napitupulu, 2019).

    Paradigma restorative justice kemudian hadir sebagai antitesis. Proses penyelesaian perkara pidana tersebut dilakukan dengan mekanisme yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu pelaku, korban, bahkan masyarakat. Upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat merupakan kata kunci dari implementasi paradigma restorative justice. Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan para pihak lebih banyak berperan untuk mengatasi persoalannya sendiri (Satria, 2018). Sedangkan pengadilan berperan sebagai fasilitator dan mediator terhadap perkara pidana yang mengandung konflik  dengan tujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Putusan pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi kepada korban, dan penghukuman kepada pelaku berupa kerja sosial dan lainnya.

    Apabila mengacu pada definisi keadilan restoratif, terkandung prinsip-prinsip yang di dalamnya yang terwujud dengan adanya pergeseran paradigma pemidanaan yang semula menitikberatkan pada pembalasan (retributif) menjadi pemulihan (restoratif). Karenanya, seperti yang diungkapkan oleh Bazemore dan Walgrave, keadilan restoratif berangkat pada beberapa nilai mendasar, seperti keadilan restoratif jauh lebih peduli terhadap pemulihan korban, keadilan restoratif mengangkat pentingnya perspektif korban dalam peradilan, keadilan restoratif mensyaratkan bahwa pelaku dimintai pertanggungjawaban langsung kepada orang dan/atau masyarakat yang menjadi korbannya, keadilan restoratif mendorong seluruh masyarakat untuk terlibat dalam meminta pertanggungjawaban pelaku dan mempromosikan respons penyembuhan terhadap kebutuhan korban dan pelaku, hingga restorative justice mengakui adanya tanggung jawab komunitas terhadap kondisi sosial yang berkontribusi terhadap perilaku pelaku (Dressler, 2002:1334).

    Selain dari sisi pemfokusan pada sisi korban, salah satu keuntungan  lainnya yang didapat dari penerapan model ini adalah mengurangi beban lembaga pemasyarakatan dalam menampung narapidana. Kasus kerusuhan di LP Tanjung Gusta Medan, misalnya, merupakan dampak dari overcapacity penghuni dibandingkan ruang penjara. Selain itu, efisiensipun dapat dilakukan di lembaga pengadilan, dengan tidak menyidangkan kasus-kasus “kecil” (pencurian kakao, semangka, kapas, sandal jepit dan lain-lain) yang tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan biaya operasional persidangan.

    Pada akhirnya, pemikiran tentang aspek humanis dalam perspektif pidana yang ditekankan oleh konsep  keadilan restoratif menjadi pertimbangan yang layak diperhatikan lebih jauh lagi karena beberapa hal, yakni penyelesaian proses hukum yang baik lebih diletakkan pada aspek kualitas dan bukan memberi target kuantitas pada tingkatan operasional, mencari solusi atas perlambatan dalam menyelesaikan proses, dan lebih memberikan penekanan kepada pencegahan daripada penanganan kasus dalam rangka fungsi penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat.

    Referensi

    Artikel

    https://www.britannica.com/topic/retributive-justice Diakses pada 16 November 2022, pukul 22.42 WIB.

    Walen, A. “Retributive Justice”. (2021). The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), Edward N. Zalta (ed.). Diakses pada 16 November 2022, pukul 22. 56 WIB melalui <https://plato.stanford.edu/archives/sum2021/entries/justice-retributive/>.

    Jurnal

    Aryana, I. (2015). “Efektivitas Pidana Penjara Dalam Membina Narapidana.” Jurnal Ilmu Hukum, Vol.11 No. 21, hlm. 41. Diakses pada 16 November 2022, pukul 23.42 WIB, melalui https://media.neliti.com/media/publications/240022-efektivitas-pidana-penjara-dalam-membina-7c6b9faa.pdf. 

    Capera, B. (2021). “Keadilan Restoratif Sebagai Paradigma Pemidanaan Di Indonesia.” Jurnal Lex Renaissan, Vol. 6 (2). Diakses pada 16 November 2022, pukul 23.45 WIB, melalui https://journal.uii.ac.id/Lex-Renaissance/article/download/19247/pdf/57374.

    Napitupulu, E., et al. (2019). “Hukuman Tanpa Penjara: Pengaturan, Pelaksanaan, dan Proyeksi Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan di Indonesia”. Jakarta: ICJR.

    Satria, H. (2018). “Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana”. Jurnal Media Hukum, Vol. 25 (1). Diakses pada 17 November 2022, pukul 01.10 WIB, melalui https://media.neliti.com/media/publications/267453-none-97a73a66.pdf.

    Buku

    Dressler, J. (2002). “Encyclopedia of Crime and Justice: Abortion-Cruel & Unusual Punishment,” New York: Gale Group Thomson Learning.