“Greed, for lack of a better word, is good. Greed is right, greed works.” Ujar Gordon Gekko yang diperankan oleh Michael Douglas dalam film klasik “Wall Street”.
Hingga saat ini, Gekko kerap menjadi simbol dari sifat rakus. Ia menjadi personifikasi dari seseorang yang gemar menimbun harta dengan cara apapun. Perilaku rakus sendiri tentu saja bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul di era moderen. Sejarah manusia tidak hanya diisi oleh para inovator, ilmuwan, serta sosok-sosok yang rela mengorbankan dirinya untuk orang lain, namun juga para perampas, penjajah, serta para penguasa yang gemar mengorbarkan perang untuk meningkatkan kejayaan mereka.
Sejarah berbagai imperium merupakan perwujudan nyata atas kecenderungan manusia untuk berperilaku rakus. Rakus untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan, serta kejayaan sebesar-besarnya dengan cara apapun, meski hingga memperbudak dan mengorbankan jiwa ribuan manusia lain.
Para conquistador Spanyol pada abad ke 15 dan 16 yang melakukan berbagai penaklukan di kawasan Amerika Latin misalnya, seperti Francisco Pizarro dan Hernan Cortes, merupakan sedikit contoh tokoh-tokoh yang didorong oleh kerakusan akan kekayaan dan kejayaan. Demi mendapat harta serta kuasa, mereka berlayar ribuan kilometer dari pantai paling barat Eropa menuju Dunia Baru, melakukan penyerangan dan penjarahan kekayaan, serta memperbudak bangsa asli benua Amerika yang sudah menetap selama ribuan tahun.
Dalam sejarah Indonesia, kita mengenal perusahaan Hindia Timur Belanda atau VOC, yang beroperasi dengan melakukan pemaksaan monopoli perdagangan hasil bumi nusantara. Demi mendapatkan keuntungan, VOC, dengan hak yang didapatkan dari kerajaan Belanda, melakukan berbagai tindakan kekerasan seperti mengobarkan perang terhadap kerajaan lokal di nusantara seperti kerajaan Mataram.
Abad 20 juga menjadi saksi tindakan rakus yang dilakukan oleh para despot dan diktator, salah satunya adalah Adolf Hitler yang menjadi penguasa Jerman dari tahun 1933 hingga 1945. Hitler, yang menyeret dunia masuk dalam Perang Dunia II, merupakan salah satu perwujudan kerakusan akan kekuasaan dan kejayaan. Kerakusannya untuk menjadikan bangsa Jerman menjadi bangsa adidaya dan penguasa dunia dilakukan dengan cara menyerang dan merampas negara lain, membunuhi jutaan manusia, dan meninggalkan penderitaan yang luar biasa bagi individu yang bukan main banyaknya
Lantas, bila perlaku rakus merupakan sesuatu yang hadir dalam sejarah manusia, bagaimanakah kita dapat mengatasi hal tersebut? Apakah mungkin kita membuat suatu tatanan yang, kalau mustahil dapat dihilangkan, dapat meminimalisir dampak negatif dari kerakusan manusia?
*****
Bagi sebagian kalangan, satu-satunya cara untuk menghilangkan kerakusan adalah dengan menghapuskan kepemilikan pribadi dan menjadikan seluruh kekayaan menjadi milik bersama. Mereka melihat bahwa, pengakuan terhadap kekayaan pribadi merupakan sumber ketamakan dan kerakusan. Masyarakat yang mengakui hak terhadap kekayaan pribadi, akan berujung pada ketimpangan yang sangat tinggi, dimana ada sangat sedikit manusia rakus yang menguasai hampir semua kekayaan dan mengeksploitasi sebagian besar masyarakat lainnya.
Mereka menjanjikan, bahwa apabila kita menghapuskan kekayaan pribadi dan menjadikan semua kekayaan menjadi milik bersama, maka hal tersebut akan melahirkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Semua anggota masyarakat akan dapat memenuhi kebutuhannya, dan para individu rakus tidak lagi dapat mewujudkan kerakusannya karena tidak ada lagi kekayaan yang dapat ia miliki secara personal.
Ide seperti ini nyatanya bukanlah hanya hadir di atas angan-angan saja. Di abad 20, kita bisa dengan mudah melihat bagaimana ide-ide mengenai penghapusan kekayaan pribadi diwujudkan oleh negara-negara sosialis-komunis, seperti Uni Soviet dan China.
Di negara-negara komunis, aset-aset kepemilikan pribadi seperti tanah, lahan pertanian, tempat tinggal, serta unit usaha diambil alih oleh negara dengan dalih agar tercapainya keadilan. Namun yang terjadi bukannya kerakusan menjadi hilang atau menurun, sistem yang tidak mengakui kekayaan pribadi justru memunculkan perilaku rakus yang jauh lebih dahsyat, yang dilakukan oleh para commissar serta petinggi partai komunis yang diatas kertas berperan untuk mengelola kekayaan kolektif tersebut.
Wilayah Ukraina pada tahun 1932-1933 misalnya, yang pada masa itu merupakan bagian dari wilayah Uni Soviet, mengalami kelaparan besar yang menyebabkan 3-7 juta warga meninggal. Kelaparan tersebut disebabkan oleh upaya kolektivisasi lahan pertanian di Ukraina oleh pemerintah Soviet. Seluruh hasil panen diambil alih oleh negara, dan karena populasi Ukraina pada masa itu dianggap Stalin banyak yang berusaha melawan, warga Ukraina dilarang untuk mengkonsumsi hasil panen dari tanah mereka sendiri, dan hasil panen tersebut akhirnya diekspor oleh pemerintah Soviet.
Penderitaan kelaparan yang dialami oleh warga Ukraina dikarenakan perilaku rakus Stalin akan kekuasaan berbeda jauh dari kehidupan penguasa Soviet tersebut. Kehidupan Stalin jauh dari kelaparan, dan bahkan ia memiliki banyak kemewahan dan kegelimangan harta. Salah satunya adalah Stalin memiliki villa mewah di terletak di kota Sochi di wilayah barat daya Rusia yang berbatasan dengan Laut Hitam.
Demikian pula yang terjadi di China dibawah kekuasaan Mao Zedong. Mao, yang melancarkan kebijakan untuk merubah China dari negara agraris menjadi raksasa industri atau yang dikenal dengan great leap forward pada tahun 1958 – 1962. Kebijakan tersebut menyebabkan bencana kelaparan terbesar di abad ke-20 yang menewaskan lebih dari 40 juta warga China karena kolektivikasi lahan secara paksa dan kesalahan manajemen pertanian.
Namun, kehidupan Mao jauh berbeda dari jutaan rakyat China yang mati kelaparan. Mantan dokter pribadi Mao, Li Zhisui, dalam memoirnya yang berjudul ‘The Private Life of Chairman Mao”, menulis Mao hidup dengan bergelimang harta dan memiliki istana mewah yang aksesnya tertutup oleh publik, dan bila bepergian, Mao juga selalu menggunakan kereta mewah.
Tidak perlu jauh-jauh melihat ke belakang hingga 5 sampai 6 dekade, kita pun juga dapat menyaksikan fenomena perlaku rakus akan kekuasaan dan kekayaan oleh penguasa negara-negara sosialis yang kerap mengkampanyekan egalitarianisme hari ini. Di Venezuela tahun lalu misalnya, ketika rakyat Venezuela mengalami kelaparan akibat kegagalan kebijakan ekonomi sosialis yang diterapkan oleh Hugo Chavez dan penerusnya, Nicolas Maduro, tersebar video Maduro tangah asyik menikmati hidangan steak mahal di kediamannya yang dimasak oleh chef selebriti asal Turki.
Sejarah sudah membuktikan bahwa penghapusan kekayaan pribadi untuk dikelola oleh negara merupakan kebijakan yang gagal total untuk mengurangi atau menghapuskan perilaku rakus. Hal tersebut justru memunculkan perlaku rakus yang lebih besar dan lebih dahsyat dari penguasa negara tersebut, karena ia memiliki akses untuk mengontrol seluruh kekayaan yang berada di negaranya.
Kerakusan manusia merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Ia akan terus hadir selama homo sapiens masih berjalan di muka bumi ini. Oleh karena itu, solusi dari hal tersebut adalah dengan membuat sistem yang semakin memperkecil dampak negatif dari perilaku rakus itu sendiri. Hal tersebut hanya dapat dicapai oleh sistem ekonomi kapitalisme pasar bebas yang menjunjung tinggi kepemilikan kekayaan pribadi dan mekanisme pasar.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme pasar bebas, dimana pemerintah secara total lepas tangan untuk mengintervensi perekonomian, maka satu-satunya cara seseorang untuk mendapatkan kekayaan sebesar-besarnya adalah apabila ia mampu menciptakan atau membuat sesuatu yang dapat membawa manfaat bagi banyak orang.
Kapitalisme pasar bebas tidak mengizinkan siapapun memaksa negara untuk mengambil uang masyarakat yang untuk diberikan kepada orang tersebut demi memudahkan usahanya mendapat kekayaan. Siapapun juga tidak boleh memaksa seseorang untuk membeli barang dan jasa dari pihak tertentu, atau merongrong negara untuk melarang pihak lain untuk bersaing dengan dirinya. Satu-satunya cara seseorang untuk mendapatkan kekayaan sebesar-besarnya adalah melalui persaingan bebas untuk mendapatkan konsumen.
Apabila ada pengusaha pemilik restoran yang sangat rakus misalnya, yang menginginkan kekayaan sebanyak banyaknya serta mengalahkan seluruh rumah makan lain yang ada di negeri tersebut, maka satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar dipilih oleh konsumen.
Pengusaha tersebut harus mampu untuk menjual makanan dengan harga terjangkau dan dengan rasa yang paling lezat sesuai dengan selera masyarakat di tempat tersebut dibandingkan dengan restoran-restoran lainnya. Ia harus bisa untuk menyenangkan pelanggan melalui tempat yang nyaman dan bersih, serta pelayanan yang bermutu. Apabila ia berhasil melakukan hal tersebut, niscaya ia dapat menguasai bisnis restoran di negara tersebut. Bila nanti ada orang lain yang mampu melakukan hal tersebut dengan lebih baik, niscaya masyarakat akan mengganti pilihan dengan makan di restoran yang lain.
Seseorang yang memiliki usaha produk elektronik misalnya, yang ingin mendapatkan kekayaan sebesar-besarnya dan menghancurkan kompetitor lain, harus mampu untuk membuat produk dengan kualitas terbaik dan harga yang murah kepada masyarakat. Ia tidak bisa mendapatkan kekayaan dengan cara meminta negara untuk menutup paksa pesaing bisnisnya, atau dengan menyuap pemerintah untuk menerapkan regulasi yang berbeda terhadap kompetitornya.
Selain itu, seseorang yang rakus akan kejayaan misalnya, taruhlah musisi yang menginginkan dirinya dikagumi serta dipuja puji oleh jutaan orang, juga tidak bisa mewujudkan hal tersebut dengan cara memaksa orang lain untuk mengelu-elukan dirinya dibawah ancaman senjata sebagaimana yang dilakukan oleh para kaisar imperialis Eropa dan para penguasa negara komunis. Musisi tersebut harus bisa untuk membuat musik indah yang menyentuh hati dan menyenangkan perasaan jutaan orang lainnya. Apabila ia tidak bisa melakukan hal tersebut, maka ia memang tidak pantas untuk mendapatkan pujian yang ia inginkan.
Satu-satunya tugas yang dimiliki oleh pemerintah dalam sistem kapitalisme pasar bebas adalah menjaga hak individu dan kepemilikan pribadi dari agresi pihak lain. Pemerintah tidak boleh sedikitpun untuk masuk dan terlibat dalam kegiatan ekonomi, karena hal tersebut niscaya akan membuka pintu lebar bagi para petinggi politik untuk mewujudkan kerakusan mereka yang tentunya sangat membahayakan, karena pemerintah merupakan satu-satunya pihak yang memonopoli wewenang untuk menggunakan kekerasan terhadap warga negara.
Ketika kita memberikan membuka pintu kepada pemerintah untuk ikut terlibat dalam mengatur perekonomian, maka sama saja kita memberi kesempatan bagi para pejabat tinggi negara dan politisi untuk mewujudkan kerakusan mereka, bukan dengan membuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, namun dengan memaksa warga negara untuk mengambil keputusan ekonomi sesuai yang mereka kehendaki, meskipun pemaksaan tersebut niscaya akan menghambat inovasi dan merampas kebebasan individu untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri.
Sebagaimana yang diujarkan oleh Milton Friedman dalam serial televisi yang dibawakannya, “Free to Choose”, bahwa: “Argumen terbaik untuk sistem kapitalisme pasar bebas adalah hal tersebut mencegah siapapun untuk memiliki kekuasaan terlalu besar, apakah orang tersebut pejabat negara, pemimpin serikat buruh, ataupun petinggi perusahaan. Sistem tersebut memaksa mereka untuk memperbaiki diri atau keluar. Mereka harus mampu untuk membuat memproduksi sesuatu yang orang lain mampu membayarnya, dan ingin membelinya, atau mereka harus pindah ke usaha lain.”

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.