Sebagian dari kita, mungkin cukup sering mendengar istilah “kapitalis”, “elit global”, dan “oligarki”. Ya, istilah-istilah tersebut memang sangat beken di kalangan aktivis dan mahasiswa. Jika ada suara yang memekik mengenai “kapitalis”, “elit global” dan “oligarki”, niscaya panggung demonstrasi pasti akan memanas dan gelora mahasiswa semakin membara, bak siap berperang melawan raksasa Goliath.
Di film Pengkhiatan G30S/PKI misalnya, ucapan “ganyang kapitalis”, “antek kapitalis”, dan “jenderal kapbir” (kapitalis birokrat), sering diulang-ulang oleh massa komunis yang tengah bersiap-siap melakukan perang suci. Di fim dokumenter tentang Flat Earth misalnya, muncul kata “elit global”, yakni sebuah kelompok orang-orang super kaya di dunia yang mengontrol dunia dibalik layar.
Istilah kapitalis nampaknya sudah teramat sumbang. Ketika kata kapitalis keluar dari mulut, maka yang terbayang di pikiran orang-orang adalah segerombolan orang kaya berperut gendut yang tidak manusiawi, malas, dan suka menipu para buruh. Tak jarang juga yang muncul di pikiran kita adalah sebagian orang berpersepsi bahwa kapitalis adalah para penyembah setan yang mengontrol dunia.
Kesimpulannya, istilah kapitalis sudah sedemikian jeleknya. Kaum kapitalis selalu dianggap sebagai orang yang super kaya yang tidak memerdulikan orang-orang miskin, di mana ia mendapatkan kekayaannya dari korupsi atau memanfaatkan orang lain.
Sewaktu penulis memasuki dunia kampus (menjadi mahasiswa), semangat saya meluap-luap untuk mengadakan gerakan perubahan. Kakak-kakak senior selalu menyajikan kami kisah-kisah tentang kejahatan kaum kapitalis yang suka merampok tanah rakyat dan juga menindas orang-orang miskin.
Bagi para mahasiswa, kapitalis dan oligarki adalah sinonim. Dalam pandangan mahasiswa, kapitalis adalah oligarki, di mana mereka mengontrol pasar dan juga menyengsarakan orang kecil untuk keuntungan mereka pribadi. Pandangan ini memiliki landasan teori dari Louis Althusser. Filsuf Marxis tersebut menganggap bahwa kapitalis bisa eksis jika bekerja sama dengan institusi negara dan mengontrol pasar untuk kepentingan dan eksistensi bisnis pribadi (Althusser, 2014).
Kata elit global juga sering disinonimkan dengan kaum kapitalis. Istilah ini untuk menyebut kelompok orang-orang super kaya yang berkonspirasi untuk membuat dunia takluk di tangan mereka. Mereka mengontrol politik, ekonomi, bahkan isu yang beredar sekarang mereka mengontrol bisnis kesehatan dengan menciptakan virus COVID-19.
Menjernihkan Kembali Kapitalisme
Dalam kamus KBBI, jika kita mencari kata “kapitalisme”, maka penjabarannya adalah, “sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas” (KBBI Online).
Sampai di sini, istilah kapitalisme cenderung netral bahkan positif. Kapitalisme dipahami sebagai sebuah sistem ekonomi yang modal usahanya dimiliki oleh swasta atau individu dalam sebuah sistem pasar yang bebas. Namun, jika kita melacak kata “Kapitalis”, maka artinya justru berlainan dengan kata “kapitalisme”.
Dalam KBBI, kata “kapitalis” bermakna, “kaum bermodal; orang yang bermodal besar; golongan atau orang yang sangat kaya; orang yang mempunyai kedudukan di dalam lembaga pemerintah atau di dalam organisasi politik yang menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri; borjuis (golongan) orang bermodal dan bangsawa.”
Pengertian kapitalis dalam kamus KBBI online atau yang terbaru, jelas sangat distorsif dari pengertian kapitalisme yang dijelaskan pertama. Jika kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang modalnya didapatkan dari swasta atau individu, lucunya di kamus yang sama, makna kapitalis justru adalah orang yang memiliki kedudukan di pemerintahan atau politik. Celakanya, kaum kapitalis disamakan dengan kelompok bangsawan yang sebenarnya lebih tepat disebut kelompok feodal.
Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, kata kapitalisme saat ini dipahami secara serampangan bahkan distorsif. Dalam KBBI, istilah kapitalisme dan kapitalis masih kacau balau dan tidak sinkron. Jika kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berporos pada usaha swasta, lalu mengapa birokrat pemerintahan dan bangsawan disebut kapitalis?
Wajar saja jika masyarakat salah paham memahami kapitalisme, dan menganggapnya sinonim dengan sistem oligarki dan juga elit global. Sebab, dari kamus acuannya saja masih terpengaruh oleh paradigma era Perang Dingin, di mana masyarakat di negara-negara dunia ketiga begitu antipati dan sensitif terhadap kapitalis dan kapitalisme.
*****
Untuk “menjernihkan” istilah kapitalis dan kapitalisme, Eamonn Butler dalam bukunya, Kapitalisme: Modal, Kepemilikan dan Pasar (2019), menjelaskan terlebih dahulu bahwa kata kapitalis dan kapitalisme berasal dari kata dasar kapital (capital) yaitu modal, sedangkan isme (dalam kapitalisme) bermakna jalan hidup yang memanfaatkan modal. Di sini, modal atau barang modal tidak hanya berupa uang ratusan juta, pabrik besar berasap tebal. Menurut Butler, barang modal ada di sekitar kita, baik di sekolah, rumah sakit, kantor, rumah, pasar, dan lain sebagainya (Butler, 2019).
Jika seseorang mampu memanfaatkan 1 lembar daun pisang yang ditanam sehingga bisa mendapat keuntungan, maka itulah modal yang dimiliki oleh orang tersebut. Atau, jika seseorang membeli tungkai kayu 5000 rupiah, lalu digunakan sebagai modal usaha pijat refleksi yang menghasilkan 4 juta rupiah per bulan, maka tungkai kayu dan keahlian orang tersebut adalah modal yang ia miliki dalam mencari keuntungan.
Definisi secara spesifik, Butler menjelaskan bahwa kapitalisme adalah kegiatan ekonomi yang digunakan manusia untuk menciptakan atau memanfaatkan modal yang dimiliki untuk memproduksi barang atau jasa seproduktif mungkin yang dibutuhkan orang lain, sehingga terjadi pertukaran keuntungan melalui transaksi ekonomi (Butler, 2019). Secara filosofis, Tom G. Palmer menjelaskan bahwa kapitalisme adalah sistem hukum, sosial, ekonomi, dan budaya yang mendorong kesetaraan hak, menghargai kepemilikan pribadi, menolak monopoli, menjunjung inovasi, serta mendorong sistem pasar yang didasarkan kesukarelaan (Palmer, 2017).
Jadi, jika ada pengusaha melakukan monopoli harga, berkolusi dengan birokrat, menyerobot tanah milik orang lain Itu bukan kapitalisme. Kapitalisme bahkan mendorong agar hukum begitu memuliakan kepemilikan pribadi, sehingga tidak ada lagi penggusuran paksa hanya demi jalan tol atau pabrik semen.
Siapakah Kapitalis?
Jika kita mengacu pada pengertian dalam pandangan Butler dan Palmer, maka saya jawab, para pedagang kaki lima, bakul jamu, pedagang makanan, pedagang kios, tukang kayu, pemilik warung, pedagang baju, pengrajin kain batik atau suvernir seni, peternak, pedagang sayur, tukang ojek atau sewa mobil/motor, serta usahawan di bidang jasa dan sebagainya, adalah kapitalis.
Jangan langsung berpikir bahwa kapitalis itu elit penghisap cerutu sembari ongkah-ongkah kaki dan merencanakan konspirasi tertentu. Para wirausahawan, baik pengusaha UKM atau perusahaan besar, adalah kapitalis. Mereka adalah kunci bergeraknya ekonomi suatu bangsa. Golongan wirausahawan ini golongan vital yang harusnya diberi kemudahan akses bisnis dan juga jaminan keamanan dalam berusaha.
Ya, mereka yang bangun pagi untuk berdagang ke pasar adalah kapitalis, mereka yang membersihkan mobil taksi yang dimilikinya lalu pergi bekerja mencari penumpang adalah kapitalis. Begtu pula mereka yang mempertaruhkan modal besar untuk membuat perternakan atau usaha pertanian.
Kapitalis adalah seseorang yang memanfaatkan modal dan tenaga yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan. Banyak orang menganggap bahwa pengusaha chips komputer adalah kapitalis, sedangkan pengusaha chips keripik bukan. Padahal, dalam kacamata ekonomi pasar, mereka sama-sama mencari nilai tambah dari silikon di pabrik elektronik atau kentang di perkebunan.
Lalu, mengapa saat ini kapitalis disamakan dengan kaum birokrat dan bangsawan? Kesalahpahaman ini justru muncul dari kaum Marxis yang seenak jidat menyelewengkan istilah kapitalis. Padahal, dalam Das Kapital, Marx tidak menyebut kapitalis adalah seorang birokrat, bangsawan, politisi atau terbatas pada konglomerasi besar (Marx, 2004).
Marx dalam karyanya menjelaskan bahwa, kapitalisme adalah sebuah sirkulasi modal, di mana ekonomi berjalan karena adanya perputaran dan akumulasi nilai tambah dalam sistem pasar. Dan yang dikritik oleh Marx adalah masalah tenaga buruh yang menurutnya, tidak diupah sesuai nilai tambah tersebut (Marx, 2004).
Kesimpulannya, jika orang menganggap kapitalis adalah orang kaya atau pengusaha besar, apalagi menganggap kapitalis adalah bangsawan atau politisi, itu sudah menyimpang sama sekali. Kapitalis adalah mereka yang memiliki modal dan memutarkan modalnya lewat transaksi perdagangan baik pedagang kecil atau besar.
Kapitalisme menolak hegemoni kaum oligarkis dan juga monopoli negara. Kapitalisme juga tidak ada hubungan dengan kaum “elit global” yang merupakan imajinasi dari para penggemar teori konspirasi. Jika Anda menyetujui perdagangan bebas yang jauh dari unsur monopoli dan oligarki, perlindungan aktivitas usaha oleh hukum, serta juga penghargaan yang tinggi terhadap kepemilikan pribadi, maka sesungguhnya Anda menyetujui sistem kapitalisme.
Referensi
Buku
Althusser, Louis. 2014. On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State Apparatuses. New York: Verso.
Palmer, Tom G. 2017. Moral Kapitalisme: Apa yang Profesor Tak Pernah Ajarkan. Terj. Rofi Uddarojat. Jakarta: Friedrich Naumann Foundation.
Butler, Eamonn. 2018. Kapitalisme: Modal, Kepemilikan, dan Pasar yang Menciptakan Kesejahteraan Dunia, terj. Rofi Uddarojat. Jakarta: Suara Kebebasan.
Marx, Karl. 2004. Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik, jilid 1, terj. Oey Hay Joan. Jakarta: Hasta Mitra.
Internet
https://kbbi.web.id/kapitalisme diakses 1 Oktober 2020, pukul 05.28 WIB.
https://kbbi.web.id/kapitalis diakses 1 Oktober, pukul 05.30 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com