Kapitalisme dan ketimpangan ekonomi mungkin merupakan dua hal yang memiliki konotasi sangat buruk bagi banyak orang di Indonesia. Kapitalisme kerap digambarkan sebagai sistem ekonomi yang sangat eksploitatif yang hanya menguntungkan kelas atas. Akibat dari sistem tersebut, ketimpangan ekonomi menjadi semakin melebar.
Pandangan ini merupakan sesuatu yang sangat umum, tidak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara Barat. Untuk itu, pada hari Selasa, 10 Maret 2020, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), yang juga merupakan bagian dari jaringan Suara Kebebasan, menyelenggarakan diskusi terbatas jaringan pendukung kebebasan di Indonesia, dengan mengundang Tom Palmer, Wakil Presiden untuk Jaringan Internasional Atlas Network, untuk membahas topik tersebut.
Diskusi diadakan di kantor TII di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Perwakilan dari Suara Kebebasan, Friedrich Naumann Stiftung (FNF) Indonesia, dan Student for Liberty (SFL) Indonesia, ikut hadir dan berpartisipasi dalam forum tersebut. Pertemuan ini juga menjadi pertemuan pertama jaringan pendukung kebebasan di Indonesia di tahun 2020, setelah dua pertemuan sebelumnya di kantor FNF Indonesia dan CIPS tahun 2019 lalu.
Tom Palmer mengawali presentasinya dengan membahas mengenai ekonomi pasar dalam kapitalisme. Kapitalisme kerap dituduh sebagai sistem yang mendorong kerakusan dan tidak memperdulikan orang lain. Akan tetapi, pandangan ini jelas merupakan sesuatu yang sangat keliru.
Justru sistem ekonomi yang bertentangan dengan kapitalisme, yakni sistem ekonomi komando yang diterapkan di negara-negara komunis, yang sarat akan kerakusan dan ketidakpedulian terhadap orang lain. Dalam negara-negara yang sistem ekonominya dikontrol oleh negara, para pejabat partai yang menentukan apa yang bisa dipilih oleh warganya, terlepas dari apakah hal tersebut sesuai dengan kehendak dan keinginan masyarakatnya.
Di negara-negara komunis, pemerintah yang secara mutlak menentukan pekerjaan apa yang bisa dilakukan, makanan apa yang dapat dikonsumsi dan kemana didistribusikan, serta di mana seseorang dapat tinggal. Semua media, sarana hiburan, dan pendidikan dikontrol ketat oleh para petinggi partai. Seluruh lapisan masyarakat harus tunduk pada ketetapan pemerintah. Bila mereka menolak, maka hukuman kejam akan menanti.
Sebaliknya, justru sistem kapitalisme memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada semua orang untuk mengambil pilihan yang mereka kehendaki dan menentukan jalan hidup mereka. Setiap orang bisa bebas untuk memilih pakaian apa yang mereka ingin pakai, makanan yang mereka sukai, sarana hiburan yang dapat dinikmati, pekerjaan apa yang bisa dilakukan, atau di mana mereka akan tinggal. Mereka tidak harus tunduk dan patuh pada setiap keputusan yang dibuat oleh para petinggi partai.
Selain itu, justru di negara-negara kapitalis kesejahteraan, terutama bagi kalangan menengah ke bawah, dapat meningkat. Negara-negara seperti Jerman Barat, Korea Selatan, dan Chile memiliki pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi daripada Jerman Timur, Korea Utara, atau Kuba. Di negara-negara komunis, justru kekayaan berkumpul pada segelintir pejabat tinggi yang berada di tampuk kekuasaan.
Selain itu, Tom Palmer juga menjelaskan bahwa, fokus kepada ketimpangan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak tepat. Kita sudah seharusnya berfokus pada pengentasan kemiskinan dan bukan pada ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi bukanlah masalah, selama mereka yang berpenghasilan rendah meningkat. Ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat bukan berarti mereka yang kaya semakin bergelimang harta dan mereka yang miskin semakin menderita.
Ketimpangan ekonomi yang meningkat juga bisa, atau seringkali, disebabkan karena yang kaya semakin kaya dan mereka yang miskin juga semakin sejahtera, akan tetapi kekayaan mereka yang berpenghasilan tinggi mengalami peningkatan yang lebih cepat. Palmer mengambil contoh dari kasus yang dikutip oleh ekonom India, Arvind Panagariya, dalam bukunya, Free Trade & Prosperity.
Dalam buku tersebut, Panagariya memberi contoh kasus yang terjadi di India, antara negara bagian Bihar di bagian utara, dan Kerala di selatan. Bihar merupakan salah satu negara bagian di India dengan pendapatan yang rendah, namun ketimpangan ekonominya juga rendah.
Sebaliknya, Kerala merupakan negara bagian yang memiliki ketimpangan yang tinggi, namun penghasilannya juga tinggi. Akan tetapi, yang terjadi bukan justru penduduk Kerala berbondong-bondong pindah ke Bihar yang memiliki ketimpangan lebih rendah, namun banyak penduduk Bihar yang berpindah dan mencari pekerjaan di Kerala, yang memiliki tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi.
Ketimpangan yang harus menjadi perhatian kita adalah ketimpangan di bidang politik dan akses terhadap keadilan, ketimpangan akses terhadap pasar karena regulasi dan kronisme, dan ketimpangan antar ras, gender, dan orientasi seksual yang disebabkan oleh kebijakan diskriminatif, seperti yang terjadi di Afrika Selatan pada masa Apartheid. Tidak ada seseorang yang meninggal karena ketimpangan ekonomi, namun jutaan manusia kehilangan nyawa di seluruh dunia karena kemiskinan.
Pada sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan menarik. Salah satunya adalah mengenai dana kegiatan kampanye yang banyak diberikan oleh berbagai pihak kepada kandidat politisi. Bukankah hal tersebut dapat mendorong berbagai praktik kronisme dan ketimpangan di bidang politik dan aksesnya hanya dimiliki oleh mereka yang berasal dari kalangan atas?
Palmer mengatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kekeliruan berpikir dan tidak didukung oleh bukti yang kuat. Mereka yang memilik sumber daya ekonomi yang tinggi tidak selalu menjadi pemenang pemilu.
Contohnya adalah mantan walikota New York, Michael Bloomberg, yang mengeluarkan lebih dari USD500 juta untuk kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Ia akhirnya kalah dengan kandidat lain yang mengeluarkan uang lebih sedikit. Selain itu, pada pemilu presiden periode sebelumnya, tahun 2016, Trump berhasil memenangkan pemilihan presiden melawan Hillary Clinton, dimana Clinton mengeluarkan biaya kampanye yang lebih besar.
Kapitalisme sudah terbukti merupakan sistem ekonomi terbaik, yang telah berhasil mengangkat miliaran jiwa manusia di seluruh dunia dari kemiskinan ekstrim. Fokus kita haruslah pada pengentasan kemiskinan, karena kemiskinan telah menyebabkan kematian dan penderitaan terhadap jutaan penduduk dunia.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.