Kapitalisme dan Ketakutan

    376

    Benarlah apa yang diajarkan oleh paham Stoisisme bahwa apa yang kita pikirkan tidak selalu sama dengan apa yang ada dalam kenyataan. Kita cenderung lebih banyak diselimuti oleh emosi-omosi ketika diperhadapkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Sehingga keyakinan yang terbangun dalam diri kita kebanyakan adalah ilusi, bukan realitas yang sesungguhnya. Kecenderungan ini memeberi justifikasi atas pernyataan popular yang muncul di era post-truth: “Kita lebih percaya pada apa yang ingin kita percayai”. Dengan demikian, terdapat sebuah pengandaian akan probelem filosofis bahwa pikiran tidak sama dengan realitas. Namun, benarkah demikian? Dalam spirit objektivitas, bias-bias emosi adalah musuh yang harus diatasi, dan dalam perjalanan panjang tradisi ilmu pengetahuan, bias-bias tersebut hampir selalu berhasil dihindari.

    Dalam tulisan ini, saya akan berusaha menunjukkan dua cara pandang terhadap kapitalisme—yang menurut saya selalu hadir dalam wacana kapitalisme dari dulu hingga kini: yakni pemahaman kapitalisme atas dasar bias ketakutan (bias of fearness) dan konsep kapitalisme sebagai sebuah “faktisitas”.

    Yang pertama sering bersumber dari mereka yang anti terhadap kapitalisme. Mereka membayangkan kapitalisme murni sebagai sebuah kejahatan yang harus diatasi; sebuah paham dan sistem yang tak mengenal sisi kemanusiaan (meskipun secara ironis mereka membenci sambil menikmatinya). Pandangan demikian bisa dikatakan lebih banyak didorong oleh bias ketakutan, bias of fearness ketimbang memahami kapitalime dengan benar. Mereka yang menolak kapitalisme selalu mendahulukan keyakinan idelogis ketimbang mempelajarinya dengan benar.

    Selain itu, kepentingan pribadi yang terdapat pada jantung kapitalisme sering mereka asosiasikan dengan sifat rakus. Namun, “Kapitalisme adalah sistem dengan motivasi kepentingan pribadi, dan menghukum sifat rakus.” kata Eamonn Butler, dalam bukunya Kapitalisme: Modal, Kepemilikan, dan Pasar (2018), “Sifat rakus bertindak atas dasar kepentingan pribadi, tanpa mempedulikan kepentingan atau perasaan orang lain, sedangkan kapitalisme hanya bisa berjalan apabila semua orang mengikuti aturan, berurusan secara adil dengan orang lain, dan menghormati janji.” Inilah kemudian yang sebut moral kapitalisme.

    Sedangkan yang kedua berkaitan dengan penerimaan akan sebuah realitas yang terberi, yang sulit disangkal dengan keyakinan apapun, sebuah “faktisitas”. Kita sekarang hidup dan dihidupi dengan sistem itu, sistem faktisitas kapitalisme. Menyangkalnya seperti seorang yang tidak dapat berlari lebih cepat daripada kecepatan suara, atau mahluk hidup yang tidak bisa hidup kekal abadi sebab pasti akan mati. “Lebih mudah membayangkan akhir dunia ketimbang akhir dari kapitalisme,” demikian ungkapan Slavoj Zizek, filsuf komunis besar asal Slovenia.

    Dalam sejarah umat manusia, sistem-sistem alternatif yang ditawarkan terbukti gagal dengan sendirinya dan memuncak pada kerugian banyak orang. Seperti yang dicatat oleh Butler mengenai sosialisme di Uni Soviet atau China pada zaman Mao—sistem di mana kepemilikan privat dihapus demi memenuhi tujuan organisasi besar yang menyebut diri kepemilikan bersama. Apa yang terjadi? Pertanian kolektif di Uni Soviet atau China di zaman Mao menghasilkan lebih sedikit makanan dan menyebabkan kelaparan besar.

    Jika dikaitkan dengan dua pembedaan di atas, yakni konsep kapitalisme degan bias ketakutan dan kapitalisme sebagai sebuah faktisitas, maka terlihatlah dua pengandaian filosofis tentang problem pikiran dan realitas objektif (di sini, pikiran bukan berarti tidak punya nilai apapun di hadapan realitas. Yang saya maksud pikiran di sini adalah pikiran dalam pengertiannya yang bercampur unsur-unsur irasional bahkan lebih berat pada idealisme metafisis).

    Jika mengacu pada definsi pikiran dalam filsafat Yunani kuno, maka apa yang kita sebut pikiran mencakup juga jiwa, hati dan roh—yang berarti mencakup emosi-emosi dalam diri manusia. Emosi-emosi inilah yang dalam kasus pemahaman atas kapitalisme menjadi kabut penghalang dalam melihat realitas kapitalisme secara objektif. Sehingga, misalnya, menganggap kapitalisme negara sebagai kapitalisme yang sesungguhnya, atau perampasan lahan masyarakat dengan dengan izin pemerintah setempat sebagai tabiat murni kapitalisme. Dan lebih menyedihkan lagi—seperti ungkapan popular era post-truth—dengan bahasa yang berbeda: “mereka lebih suka percaya bahwa kapitalisme jahat supaya relevan dengan kebenciaan mereka, dengan ketakutan mereka.”

    Kegagapan memahami kapitalisme seperti ini kemudian menciptakan asumsi yang naif mengenai kejahatan kapitalisme, sehingga ide yang ditawarkan cenderung bersifat moralis dan emosional. Karena kapitalisme jahat, maka layak ditolak, layak ditakuti. Pengetahuan ini pada kahirnya disebar oleh kalangan aktivis anti-kapitalisme kepada khalayak umum dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijkan-kebijakan anti pasar. Bahkan kemajuan teknologi yang massif menciptakan imajinasi apokalipstik di kepala mereka dan secara tidak langsung meremehkan kemampuan adaptif manusia yang sudah terbukti mampu melewati ribuan tahun proses evolusi.

    Bagaimanapun kita mendefinisikannya, kata Butler, pada tahun 1940an, rata-rata penduduk dunia berpenghasilan hanya $1-$5 sehari. Berkat kapitalisme, hari ini rata-rata pendapatan penduduk mencapai $50 sehari. Dan bahkan angka tersebut masih rendah dibandingkan penghasilan orang yang bekerja di negara-negara kapitalis. Ini adalah kenyataan yang sedang berjalan.

    Lebih dari itu, kemajuan yang diciptakan oleh kapitalisme hari bukan hanya karena ia bermanfaat untuk kemajuan umat manusia dalam skala yang besar, tapi juga karena kapitalisme sesuai dengan watak alamiah manusia—mengejar kepentingan pribadi, kepemilikan, dan kebebasan. Dan pemahaman yang baik atas dasar watak alamiah tersebut sesungguhnya akan membuahkan pemahaman yang objektif ketimbang pemahaman yang mengandung bias kebencian karena ketakutan yang tidak berdasar. Untuk itu, adalah lebih bijak jika kita memahami dengan benar suatu fenomena, sebelum kita menghakiminya dengan dasar keyakinan idelogis.

    Tentang Penulis: Hendra Mangopa adalah anggota yang aktif di lingkaran Mises Club Indonesia dan penggiat di Amagi Indonesia, Organisasi Non Pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme, ingin membawa tradisi pemikiran Mazhab Austria ke dalam perbincangan ekonomi kita saat ini. Upaya Amagi diawali dengan pembukaan lingkaran studi bernama Mises Club Indonesia yang berpusat di Manado, Sulawesi Utara.