Kapitalisme dan Ekonomi Kerakyatan

    664

    Pembicaraan mengenai ekonomi kerakyatan belakangan ini mulai booming kembali. Tentu penyebabnya tak lain dan tak bukan karena politik. Menjelang moment politik 2019, banyak politikus berusaha menjaring massa dan dukungan dengan mengeluarkan janji-janji yang berbunga-bunga dan sedap di telinga. Salah satunya adalah “Isu Ekonomi Kerakyatan”, mengapa saya sebut isu? Sebab hingga saat ini ekonomi kerakyatan hanya sekedar menjadi tunggangan politikus yang sebenarnya tidak mengerti ekonomi beserta mekanismenya. Mereka hanya tahu citra, sanjungan, dan suara.

    Istilah ekonomi kerakyatan masih belum diketahui siapa pencetusnya dan konsep rill-nya. Sampai saat ini ekonomi kerakyatan masih dilebelkan sebagai gagasan yang berasal dari founding fathers kita yaitu Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, jika kita teliti lebih lanjut, para pendiri bangsa tidak serta-merta menegaskan bahwa konsepsi ekonominya bernama ekonomi kerakyatan.

    Bung Karno sendiri menamakan konsep ekonominya yang tertuang dalam Deklarasi Ekonomi sebagai “ekonomi terpimpin” dengan bertumpu pada konsepsi Berdikari. Banyak orang mengira bahwa yang benar-benar mencetuskan ekonomi kerakyatan adalah Bung Hatta, lewat risalahnya “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”.  Namun dalam berbagai essai-nya, Bung Hatta cenderung menggunakan istilah ekonomi sosialis dan kooperatif, bukan ekonomi kerakyatan seperti yang diduga.

    Di era Orde Baru (Orba) hingga awal dekade tahun 2000, istilah Ekonomi Pancasila lebih akrab ditelinga ketimbang istilah ekonomi kerakyatan. Namun seiring berjalannya waktu, istilah “Ekonomi Kerakyatan” lebih enak di telinga dan lebih idealis bagi para aktivis yang menganut sosialisme, ketimbang istilah ekonomi Pancasila yang lebih formil dan diasosiasikan sebagai sistem ekonomi zaman Orba.

    Secara umum, konsep ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang menumbuhkan kemandirian rakyat  dan menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, titik sentralnya adalah pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada wirausaha rakyat atau UMKM, serta koperasi.

    Konsep ekonomi kerakyatan pada dasarnya bersifat positif dan sangat demokratis, dimana dominasi, monopoli dan oligarki yang mengganggu kinerja ekonomi rakyat dibabat habis. Namun dalam interpretasi sebagian orang, ekonomi kerakyatan dipahami bahwa negara harus memberi intervensi lebih banyak terhadap urusan ekonomi. Misalnya lewat program nasionalisasi perusahaan asing, subsidi penuh berbagai kebutuhan rakyat, sampai pemberian tarif import yang ketat terhadap produk asing.

    Ekonomi kerakyatan direduksi oleh sebagian aktivis sosialis dan ekonom yang terpengaruh paham neo-marxian, sebagai ekonomi terpimpin yang mengontrol ketat sektor produksi dan jasa, serta peran negara dalam mengintervensi pasar. Intinya, pemerintah harus mengawasi bahkan mengatur sedemikian rupa mekanisme pasar baik dari hulu hingga hilirnya.

    Ekonomi kerakyatan sebenarnya terinspirasi dari semangat nasionalisme para pendiri bangsa yang menjadikan bidang ekonomi sebagai alat perjuangan untuk memakmurkan rakyat dan melawan imperialisme dan kolonialisme. Dan pada saat yang sama, definisi imperialisme dan kolonialisme saat ini mereka sinonimkan secara ekstrim dengan kapitalisme.

    Lalu pertanyaannya, apa ekonomi kapital alias pasar bebas bukan ekonomi kerakyatan?? Ya BUKAN, jika kita bersandar pada pandangan kaum sosialis dan kawan-kawannya.

    Pasar bebas atau ekonomi modal (kapital) bagi mereka adalah sistem ekonomi yang dikuasai oleh segelintir orang, yang mengakumulasi kekayaan dengan cara memeras para buruh dan rakyat cilik.  Dan agar masyarakat  terhindar dari akumulasi kekayaan atau penghisapan kaum kapitalis, negara harus hadir sebagai penjamin moral dan material bahwa kegiatan ekonomi berjalan sesuai keinginan masyarakat banyak.

    Dan karena negara adalah representasi dari keinginan masyarakat, maka yang dilakukan oleh negara adalah melakukan proteksi, sentralisasi ekonomi, memperketat usaha swasta, mencurigai produk asing atau aseng (impor), memperbesar pajak, serta memberi subsidi pada rakyat agar hidup rakyat tambah murah. Selain itu, negara juga mengizinkan monopoli untuk produk perusahaan milik negara atau melindungi kroni-kroninya.

    Ya benar, kapitalisme memang bukan ekonomi kerakyatan bagi kaum sosialis yang menginginkan sistem terpimpin-kolektivis. Namun pada kenyataannya, kapitalisme atau sistem pasar bebas justru mencerminkan ekonomi kerakyatan sejati, sebab didalamnya terdapat kontribusi semua pihak baik si Karto maupun si Jony. Si pedagang kecil, si buruh, si juragan, sampai si menteri semua saling terikat dan berkaitan.

    Basis dasar kapitalisme beranjak pada status ontologis bahwa kebebasan dan kesetaraan manusia itu real dan bersifat “fitrah“, secara praksis kebebasan berekonomi dipraktikkan dalam sistem pasar yg bebas, dimana tiap orang memilih kebutuhannya dan mendapat keuntungan dari hasil kegiatannya. Jika anda adalah anak saudagar minyak yang ingin membeli telur dipasar, maka anda dengan si pedagang itu statusnya SETARA dilandasi oleh saling butuh dan masing-masing ingin mendapat keuntungan. Dalam transaksi pasar yang bebas, hampir semua titel tidak ada, yang ada adalah konsumen-penjual-produsen dan ini setara.

    Ketika anda bekerja dan berbelanja, maka tidak ada paksaan dari pihak manapun KECUALI KEBUTUHAN DAN KEINGINAN anda sendiri. Orang lain bahkan pemerintah TIDAK PERNAH TAHU apa yang menjadi kebutuhan anda, sehingga rakyat bebas untuk berusaha dan mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Ekonomi kapitalis yang demokratis inilah yang menjamin suatu prinsip: setiap manusia dijamin untuk mencari kebahagiaannya sendiri TANPA ada paksaan.

    Kapitalisme yang sejati juga MENOLAK sistem monopoli barang dan pasar oligarki, dimanap enguasa turut bermain dan melindungi “segelintir oknum” yang ingin untung sendiri tanpa mau mengukur diri dan kualitas produknya.

    Hal tersebut jelas berbeda dengan tuduhan kaum sosialis yang mengatakan bahwa ekonomi akan kolaps jika negara tidak mengontrol mekanisme pasar secara ketat. Jika kita berkaca pada sejarah, terjadinya krisis dan inflasi yang menyentuh angka lebih dari 600% di Indonesia pada tahun 1960an diakibatkan oleh kebijakan Orde Lama yang dipimpin Sukarno menerapkan “ekonomi terpimpin” dan menjadikan ekonomi sebagai boneka politik.

    Kebijakan sentralisasi ala Orde Baru pada akhirnya juga malah  mengarahkan pola ekonomi kita menjadi oligarki, dimana segelintir konglomerat dan kelurga-sejawat Suharto menjadi juru kunci utama dalam dunia bisnis. Akhirnya sistem kroni ini hancur oleh krisis moneter tahun 1998 yang menimpa Asia Tenggara.

    Melihat contoh di atas, saya mengutip analisa yang sangat tepat dari ekonom kontemporer, William Easterly, bahwa kemiskinan dan kacaunya ekonomi di suatu negara terjadi karena adanya kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Bukan negara yang membuat ekonomi rakyat menjadi stabil dan mantap, tetapi independensi negara dan kepercayaan pada mekanisme pasar yang bebas justru akan mengarah pada ekuilibrium (keharmonisan) ekonomi.

    Ekonomi terpimpin juga berpotensi pada maraknya korupsi dan kolusi. Sebab program-program seperti ekspor-impor, subsidi, Badan Usaha yang dimiliki negara, izin usaha, dan yang lain sebagainya, sangat seksi untuk “dimanfaatkan” oleh segelintir oknum elit pejabat dan pengusaha. Lain halnya jika pemerintah membuka pintu demokrasi ekonomi dan memangkas segala aturan dan birokrasi agar bisnis dan usaha rakyat bisa berjalan secara sehat.

    Kapitalisme adalah ekonomi rakyat luas, sebab rakyat bermain dan menjadi penentu utama dalam mensejahterakan dirinya. Sedangkan pemerintah tidak memiliki hak untuk mengintervensi dan mengatur konsumsi atau produksi rakyat, kecuali memberi regulasi dan jaminan bisnis yang sehat. Kapitalisme TIDAK selalu identik dengan “si Jony berdasi” tapi juga “si Karto pedagang batu”….

    Jadi, silahkan bedakan mana sistem yang merakyat dan mengelite?