Kado Akhir Tahun dari Taliban: Kaum Perempuan Afghanistan Dilarang Belajar

    197
    Sumber gambar: Sumber: https://voi.id/memori/76526/menjadi-wanita-afghanistan-di-bawah-taliban

    Perkembangan di Timur Tengah tampaknya menjadi pemberitaan yang menarik bagi masyarakat di Indonesia. Entah itu perkembangan ekonominya atau gejolak yang selalu menghantui di kawasan. World Cup 2022 di Qatar kemarin, banyak menginspirasi banyak orang tentang kerja keras Qatar dan pertumbuhan ekonominya yang sangat menakjubkan. Selain itu partisipasi perempuan di Qatar dalam politik dan pemilihan elektoral sangat tinggi, pun di dunia kerja dan bisnis partisipasi perempuan sangat tinggi bahkan di negara Timur Tengah lain yang masih memegang teguh konservatif agama.

    Namun, dibalik hingar-bingar dan kemakmuran luar biasa yang dialami Qatar, hal tersebut berkebalikan 180 derajat dari masyarakat di Afghanistan. Pembungkaman politik dan teror membuat kemiskinan akut terus meningkat dan kemerosotan ekonomi terus meluncur tajam setelah rezim Taliban berkuasa. Gejolak politik telah membuat orang lebih miskin dan lebih rentan terhadap kekurangan, kelaparan, dan penyakit. Tidak ada prospek bagi perekonomian untuk melanjutkan pertumbuhan yang tinggi apalagi pulih ke level pra-2021 di masa mendatang (United State Institute for Peace, 2022).

    Dan ketika perempuan di Qatar dapat menikmati kebebasan berpolitik serta mendapat peluang besar di dunia pendidikan, nasib perempuan di Afghanistan sangat menyedihkan. Ketika Afghanistan baru mendapat kebebasannya pasca rezim Taliban digulingkan, mereka harus menelan pil pahit ketika gerombolan Taliban sukses menguasai kembali negara tersebut.

    Pada tahun 1998, saat rezim Taliban di bawah Mullah Mohammad Omar, hak-hak perempuan Afghanistan tak sebanding dengan apa yang didapatkan oleh pria (meskipun tak bagus juga). Seorang perempuan tak boleh bekerja, tak boleh keluar rumah tanpa wali atau laki-laki dan diharuskan menggunakan hijab sesuai standar mereka. Hal serupa juga terulang kembali di tahun 2021 ketika mereka berhasil menguasai kota Kabul dan membangun rezim Imara Taliban. Awalnya Taliban berjanji akan menciptakan sebuah pemerintahan yang inklusif namun janji tinggalah janji.

    ***

    Kehidupan perempuan di Afghanistan tampaknya memasuki masa suram. Di tengah ketidakjelasan masa depan, larangan politik dan pembatasan sosial, rezim Taliban memutuskan untuk melarang kaum perempuan di Afghanistan untuk belajar di Universitas.

    Dan lebih nahasnya, larangan itu diumumkan tiga bulan setelah ribuan perempuan Afghanistan telah mengikuti ujian masuk universitas. Banyak dari kaum perempuan Afghanistan memilih jurusan guru dan kedokteran bagi karir mereka. Menteri Pendidikan Tinggi Taliban, Nida Muhammad Nadim, pada hari Selasa, (20/12/2022), menyatakan perempuan dilarang kuliah di universitas dengan alasan tak masuk akal Nadim mengatakan larangan itu dibuat karena mereka kerap tidak mengikuti aturan berpakaian yang dibolehkan.

    “Mahasiswi yang datang ke universitas tidak mengikuti petunjuk berpakaian soal pemakaian hijab. Mereka berpakaian seperti akan pergi ke undangan pernikahan,” ujar Menteri Nida Muhammad Nadim dalam wawancara dengan stasiun televisi (Merdeka.com, 22/12/2022).

    Hadiah akhir tahun yang dibuat oleh Taliban jelas menyakiti hati dan membunuh seluruh harapan perempuan di Afghanistan. Impian mengenai masa depan yang cerah dengan pendidikan dan karir akhirnya pupus dan satu-satunya masa depan bagi perempuan adalah: menikah. Semua pintu tertutup dan cita-cita kemerdekaan perempuan Afghanistan hanya menjadi fantasi yang bisa terwujud jika ada keajaiban dan mukjizat ilahi. Dan parahnya, di tengah kemiskinan besar melanda, banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga di kala kaum lelaki berputus asa.

    Hal ini direkam oleh media BBC yang berusaha mereportase kaum perempuan Afghanistan yang berjuang untuk keluarga. Perempuan Afghanistan yang bertindak sebagai pencari nafkah utama di rumah mereka mengatakan kepada BBC tentang ketakutan dan ketidakberdayaan mereka.

    Seseorang bertanya: “Jika saya tidak dapat bekerja, siapa yang dapat menghidupi keluarga saya?” Pencari nafkah lain menyebut berita itu “mengejutkan” dan bersikeras bahwa dia telah mematuhi aturan berpakaian ketat Taliban, namun itu tak membuatnya boleh bekerja (BBC, 26/12/2022).

    ***

    Beberapa waktu, bahkan hingga sekarang, ribuan perempuan Iran berdemonstrasi menuntut keadilan atas kematian Mahsa Amini. Kematian remaja wanita di negeri Mullah itu membuat kaum perempuan di seluruh negeri memberi reaksi keras. Demonstrasi besar-besaran memicu keonaran sehingga muncul seruan-seruan anti rezim Syiah, tuntutan untuk mengoreksi konstitusi Islam, dan slogan anti Revolusi Islam. Hal ini dipahami betul oleh Taliban. Taliban telah belajar dari rekannya, Iran, betapa mengerikannya potensi kekuatan perempuan hingga dapat membuat runtuh kekuasaan. Ini yang membuat Taliban berpikir, jika perempuan pintar, maka hal itu berpotensi menganggu stabilitas kekuasaan mereka di kemudian hari. Karena itulah, mereka pada akhirnya melarang seluruh aktivitas pendidikan untuk perempuan.

    Mencederai Islam dan HAM

    Kejadian yang menimpa kaum perempuan di Afghanistan benar-benar sangat memprihatinkan dan disesalkan. Ini menunjukkan bahwa gambaran pemerintah Afghanistan begitu primitif dan terbelakang. Harapan akan Afghanistan yang lebih baik dan modern nampaknya pupus. Rezim Taliban lebih mementingkan bagaimana mereka tetap berkuasa dengan cara mempertahankan kekerasan ketimbang memikirkan solusi terbaik untuk negara. Upaya Taliban agar perempuan tak berpendidikan, sangat bertentangan dengan agama Islam.

    Dalam Islam, menuntut ilmu adalah fardhu (kewajiban) yang berlaku bagi tiap individu. Hal ini sesuai dalam sabda rasul: “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”.  Dalam hadits ini sangat ditonjolkan betapa pentingnya menuntut ilmu dan belajar, bahkan Nabi Suci SAW menyebut Muslimah alias Muslim dari kaum perempuan.

    Gerombolan Taliban barangkali tak melihat hadits ini, atau mereka tahu, namun menutupi kebenarannya. Perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu ditegaskan oleh para menteri luar negeri negara G7 beberapa waktu lalu saat mendengar kebijakan Taliban tersebut.

    “Penganiayaan gender dapat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Statuta Roma, di mana Afghanistan menjadi negara pelakunya,” kata para menteri luar negeri (menlu) negara anggota G7 setelah melakukan pertemuan virtual (Republika, 26/12/2022).

    Namun, apa yang bisa kita lakukan kecuali dengan kecaman? Berbagai upaya telah dilakukan, namun Taliban tetap saja pelak dan tak merespon. Yang dapat kita ambil dari fenomena ini adalah pembelajaran. Kita belajar bahwa ideologi yang dibawa oleh Taliban kelas salah dan sesat.

    Ideologi Taliban telah membuat rakyat Afghanistan sangat menderita sehingga ini menjadi pembelajaran bagi pemerintah kita untuk mewaspadai jaringan teroris yang hingga detik ini masih ingin mengubah Indonesia menjadi Afghanistan kedua.

    Di samping itu, patut kita lihat perubahan negara-negara di timur tengah yang sangat mencolok. Negara-negara Arab yang memelihara pasar bebas dan berusaha menerapkan pelonggaran bagi rakyatnya terbukti mendapatkan kejayaan. Sebaliknya, negara-negara yang mengekang rakyat dan ekonomi, justru malah terjerembab dalam kehancuran. Kita hanya bisa berharap moga Taliban belajar seperti Vietnam komunis. Mereka melihat perkembangan dunia dan mulai peka pada rakyatnya. Akhirnya, Taliban sadar dan mengoreksi ajarannya demi dapat membuka diri agar mereka bisa membangun bangsanya jauh lebih baik. Semoga…

    Referensi

    https://www.bbc.com/news/world-asia-64086682.amp Diakses pada 26 Desember 2022, pukul 11.00 WIB.

    https://m.merdeka.com/dunia/menteri-taliban-beberkan-alasan-mengapa-perempuan-afghanistan-dilarang-kuliah.html Diakses pada 26 Desember 2022, pukul 02.00 WIB.

    https://m.republika.co.id/berita/rncce4335/g7-perlakuan-taliban-ke-perempuan-afghanistan-berpotensi-kejahatan-kemanusiaan Diakses pada 26 Desember 2022, pukul 12.20 WIB.

    https://www.usip.org/publications/2022/08/one-year-later-taliban-unable-reverse-afghanistans-economic-decline Diakses pada 26 Desember 2022, pukul 01.40 WIB.