Justifikasi Untuk Bunga Pinjaman

    798

    “Bunga pinjaman merupakan sesuatu yang tidak adil. Para kreditur yang mengenakan bunga kepada peminjamnya enak saja tidak melakukan apa-apa tapi meminta uang lebih ketika dananya dikembalikan!”

    Bila Anda berdiskusi dengan kawan Anda atau orang lain tentang pinjam meminjam uang, ada kemungkinan Anda akan mendengar pandangan demikian tentang bunga pinjaman. Tidak sedikit pihak yang menganggap bahwa praktik meminta uang lebih kepada orang lain yang kita beri pinjaman merupakan sesuatu yang sangat buruk, tercela, dan tidak adil.

    Tak bisa dipungkiri, bahwa selama berabad-abad, bunga pinjaman merupakan salah satu praktik yang paling dikecam di berbagai belahan dunia. Hampir semua ajaran agama, khususnya agama-agama Samawi, secara eksplisit melarang keras praktik tersebut.

    Negara-negara Eropa pada masa lalu misalnya, menerapkan hukuman yang sangat keras terhadap seseorang yang memberlakukan bunga untuk pinjaman. Di Inggris pada tahun 1275 misalnya, Raja Edward I yang berkuasa pada masa itu memberlakukan aturan anti bunga pinjaman. Siapapun yang melakukan praktik tersebut seluruh asetnya akan diambil paksa oleh negara.

    Bila dilihat secara sekilas, pandangan tersebut memang terlihat benar adanya. Bayangkan misalnya bila Anda meminjam uang kepada kawan Anda sebesar 20 juta misalnya untuk modal usaha. Dana tersebut akan dikembalikan setahun kemudian, dan kawan Anda meminta bunga 20% (menjadi 24 juta) untuk pelunasan total pinjaman tersebut.

    Tidak sedikit kalangan yang mungkin akan berpendapat bahwa hal tersebut merupakan praktik yang tidak adil. Ketika Anda melakukan usaha, seluruh pekerjaan Anda yang mengerjakan. Anda yang membuat rencana bisnis, merekrut pekerja, membuat dan menjual produk yang dibuat, sementara kawan Anda yang tidak melakukan apa-apa meminta tambahan 4 juta dari uang yang Anda pinjam. Akan tetapi, apakah pandangan demikian merupakan sesuatu yang tepat?

    *****

    Sebelum menjawab pertanyaan di atas, izinkan saya membuat analogi sederhana. Bayangkan bila Anda memiliki sebuah ruko, dan suatu ketika, ada kawan Anda yang ingin menyewa ruko Anda untuk memulai usaha rumah makan.

    Anda pun menyetujui keinginan kawan Anda tersebut, dan menetapkan tarif sewa tertentu yang akan kawan Anda bayarkan setiap bulan. Setelah mencapai kesepakatan, kawan Anda lekas langsung menyiapkan ruko tersebut menjadi rumah makan, menyiapkan menu andalan, melakukan promosi, dan merekrut karyawan untuk dipekerjakan. Usaha rumah makan kawan Anda terus berkembang, dan sesuai kesepakatan, Anda pun terus mendapat uang sewa dari kawan Anda setiap bulannya.

    Akan tetapi, dalam situasi demikian, bukankah Anda juga tidak melakukan apa-apa? Bukankah kawan Anda yang susah payah membuat rencana bisnis, menyusun menu, melakukan promosi, serta merekrut tenaga kerja? Apakah berarti uang sewa yang Anda dapatkan lantas merupakan sesuatu yang tidak adil?

    Sejalan dengan analogi tersebut, kita bisa melihat bunga sebagai bagian dari “ongkos sewa” dari uang yang seseorang pinjam. Sama seperti ilustrasi di atas dimana kawan Anda meminjam ruko Anda untuk melakukan usaha dengan biaya tertentu, sama halnya apabila Anda meminjamkan uang Anda kepada orang lain.

    Ketika Anda meminjamkan uang kepada kawan Anda misalnya, sebesar 20 juta misalnya dengan bunga 20% selama satu tahun (atau 4 juta rupiah), maka hal tersebut bisa dilihat sebagai bentuk “ongkos sewa” dari uang yang Anda pinjamkan.

    Selain itu, pandangan bahwa kreditur yang mengenakan bunga kepada peminjamnya merupakan seseorang yang mendapat keuntungan dengan tidak melakukan apa-apa juga merupakan suatu kesalahpahaman yang besar. Ketika seseorang meminjamkan uang orang lain, maka ia telah melakukan suatu usaha, yakni usaha menunda menggunakan uangnya untuk hal lain yang ia inginkan, dan bunga merupakan kompensasi atas usaha tersebut.

    Kembali kepada ilustrasi ruko dan rumah makan, mengenakan biaya sewa kepada seseorang yang ingin menggunakan ruko Anda untuk melakukan usaha juga merupakan salah satu bentuk kompensasi atas usaha menunda tersebut. Pemilik ruko dalam hal ini memiliki kesempatan untuk menggunakan rukonya untuk hal lain yang ia inginkan.

    Ia misalnya bisa membuka tokonya sendiri di ruko tersebut. Atau, ia bisa menjadikan ruko tersebut sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang ia miliki. Bisa jadi juga bahwa pemilik ruko tersebut memiliki kegemaran terhadap olahraga atau kesenian tertentu dan bisa menjadikan ruko yang dimilikinya sebagai sarana pelatihan.

    Akan tetapi, karena ruko yang dimilikinya dijadikan rumah makan oleh orang lain, maka ia tidak bisa melakukan berbagai hal tersebut. Ongkos sewa yang dibayarkan oleh pengelola rumah makan itulah yang menjadi kompensasi atas hilangnya kesempatan lain yang dapat dilakukan oleh pemilik ruko tersebut terhadap properti yang dimilikinya.

    Sama halnya ketika ada seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain. Orang yang meminjamkan uangnya tersebut, pada saat yang sama dia telah menunda kesempatan kesempatan yang dimilikinya untuk menggunakan uangnya terhadap hal-hal lain.

    Seseorang misalnya, mungkin saja ingin membeli motor baru dengan uang hasil kerja kerasnya. Ia juga bisa saja menggunakan uangnya untuk pergi jalan-jalan bersama keluarga, mendirikan usaha baru, membelikan hadiah untuk ulang tahun pasangannya, atau hal-hal lainnya yang tidak terbatas jumlahnya.

    Akan tetapi, kesempatan orang tersebut untuk melakukan berbagai hal di atas menjadi hilang karena uang yang ia miliki dipinjamkan kepada orang lain. Ia harus menunda keinginannya, sampai uang yang dipinjamkannya dikembalikan oleh peminjamnya. Maka dari itu, bunga pinjaman merupakan bentuk kompensasi atas usaha menunggu dan hilangnya kesempatan yang dimiliki oleh pemilik uang tersebut untuk menggunakan uangnya pada saat ini.

    Apalagi bila uang pinjaman tersebut digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi dan bukan untuk kegiatan produktif. Misalnya Anda memiliki uang 20 juta untuk liburan ke luar negeri, akan tetapi kawan Anda ingin meminjam uang Anda untuk membeli motor. Anda pun akhirnya harus menunda liburan Anda karena uang yang Anda siapkan tersbut dipinjam kawan Anda. Tentu sangat tidak adil bila lantas Anda tidak mendapat kompensasi apapun atas uang yang Anda pinjamkan.

    Meskipun demikian, bukankah ada mekanisme pinjaman lain selain yang dengan menggunakan bunga? Bagaimana bila menggunakan sistem bagi hasil keuntungan dari usaha yang dijalankan apabila uang pinjaman tersebut digunakan untuk kegiatan produktif?

    Hal tersebut tentu ada benarnya. Bila pemilik uang tersebut sepakat dengan mekanisme bagi hasil keuntungan, tentu hal tersebut merupakan hal yang sah sah saja. Namun bukan berarti lantas bila pemilik dana tersebut menolak mekanisme bagi hasil keuntungan dan lebih memilih meminta bunga merupakan sesuatu yang salah dan dilarang untuk dilakukan.

    Sama dengan analogi ruko yang saya ilustrasikan sebelumnya. Bila misalnya pemilik ruko tersebut sepakat dengan mekanisme bagi hasil keuntungan dari rumah makan yang dijalankan di ruko miliknya dan bukan dengan mekanisme sewa, makan hal tesebut ya boleh boleh saja. Akan tetapi bukan berarti lantas bila pemilik ruko tersebut lebih memilih mekanisme pembayaran sewa dan menolak bagi hasil keuntungan, hal tersebut bukan berarti dapat disalahkan.

    Karena waktu dan kesempatan merupakan sesuatu yang sangat berharga, dan dalam hal ini, bunga pinjaman merupakan salah satu bentuk kompensasi terhadap hal tersebut.