Jokowi, Netralitas, dan Semangat Anti Perang

243

Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi mengunjungi Amerika Serikat. Tidak ada yang spesial memang, kecuali Beliau mengadakan kunjungan kerja dalam rangka mempererat hubungan kerja sama dan persahabatan antara Amerika Serikat dengan negara-negara di ASEAN.

Dalam kunjungan kerja tersebut, yang saya puji dari Jokowi adalah konsistensinya untuk netral dan mengecam terjadinya peperangan antara Ukraina dan Rusia. Kunjungan yang sebenarnya sebagai ajang silaturahmi ini menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk menasihati teman besarnya, agar mengupayakan perdamaian ketimbang mendukung salah satu pihak, yang pada akhirnya berdampak bagi kerugian besar berbagai negara.

Sebagaimana kita tahu, Amerika Serikat adalah sekutu utama Ukraina yang selama ini selalu bersitegang dengan Rusia yang dianggap sebagai pengacau negara-negara bebas. Rusia sendiri bersikap protektif terhadap segala bentuk kebijakan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa. Di bawah bayangan Putin. Rusia kembali menggunakan paradigma lama, yaitu konfrontasi antara Timur dan Barat.

Rusia berusaha untuk menciptakan apa yang dinamakan “kestabilan kawasan”. Di mana kestabilan disini adalah hegemoni Rusia di negara-negara tetangganya. Rusia merasa perlu untuk membuat negara tetangganya dan negara-negara Eropa Timur memiliki perasaan bergantung pada Rusia, sebagaimana negara anggota Blok Timur yang bergantung pada Uni Soviet dahulu. Namun, pendekatan Putin pada negara tetangganya, bukan melalui jalur ekonomi seperti Amerika yang loyal memberikan apapun yang dibutuhkan sekutunya. Rusia tahu bahwa kemampuan ekonomi mereka terbatas, karena itu mereka menggunakan salah satu keunggulan negeri mereka, yaitu kekuatan militer.

Amerika sebelumnya juga terkenal sebagai negara yang “tak pelit” dalam mengeluarkan bantuan militer ke berbagai negara asing. Lihat saja Irak, Afghanistan, Libya, atau Panama dan Vietnam. Penyerbuan ini dianggap Putin sebagai bentuk hegemoni AS dan NATO terhadap negara-negara yang terkenal kritis dengan politik Barat. Karena itu, Putin juga tidak segan menduduki Georgia dan wilayah Krimea.

Demi kepentingan politik Rusia, Putin tidak segan untuk menghabiskan anggaran negara untuk militer. Hingga puncaknya adalah invasi Rusia ke Ukraina yang merupakan ujung Timur Eropa.

Pengamat Hubungan Internasional ternama, Robert Kagan dalam essaynya di Foreign Affairs (majalah ternama mengenai politik luar negeri) mengatakan bahwa perang di Ukraina adalah perang hegemoni antara AS dan Rusia.Tepat jika kita mengatakan bahwa Ukraina adalah korban dari perang hegemoni ini. Putin beralasan apa yang mereka lakukan sama seperti Amerika yang turut campur dalam perang di Eropa karena tragedi Pearl Harbor. (Kagan, Foreign Affairs, 2022)

Ya, tentu saja kita tidak menutup mata bahwa Amerika dalam menjalani misinya menjalankan cita-cita “negara bebas” masih taat pada Doktrin Monroe dan Doktrin Reagan yang pada intinya mengizinkan campur tangan AS di negara lain. Upaya pengagalan hegemoni Rusia, justru membawa AS menjadi salah satu negara yang paling sibuk menghegemoni negara lain.

Kita ingat ketika Bush mendeklarasikan perang terhadap terorisme. Ia berkata, “Jika tidak mendukung kami (di Irak), maka lawan kami!”. Kebijakan yang cenderung arogan ini membuat banyak negara terpaksa menyetujui aksi AS yang tidak masuk akal dan menguras miliaran dollar membuat Rusia makin paranoid.

Dan, tentu saja Rusia memanfaatkan momentum tersebut dengan menginvasi Georgia, yang saat itu menjadi negara demokratis, menjunjung pasar bebas, dan paling maju di kawasan. Hal ini membuat Bush tercengang, meski Putin tentu bisa berkilah, “Anda bisa merebut Iraq, maka Anda jangan marah jika saya merebut Georgia”. Dan benar saja, Bush hanya bisa mengutuk tanpa bisa berbuat apapun. Mereka hanya bisa memberi bantuan logistik tanpa menerjunkan militer di Georgia. Bahkan, ketika kapal selam AS mendekati negara tersebut dan dipergoki oleh Rusia, mereka berteriak “Kami hanya konvoi kemanusiaan!” (Washington Post, 8/08/2018)

Ya, inilah perebutan hegemoni dua negara yang menurut Jon Masli Amerika adalah negara penuh kontradiksi. Di satu pihak mendukung demokrasi, tapi di pihak lain membungkam dengan bedil negara luar (Jon Masli, RMOL, 10/04/2022). Pun begitu dengan Rusia, di mana harian The Guardian menyebut Putin sebagai “brutal”, “ilegal” dan “mencemari kebesaran nenek moyangnya”, karena mengintervensi urusan negara lain dengan tangan besi. (The Guardian, 09/05/2022).
***

Tak Ada Pembenaran Atas Penjajahan

Dalam pandangan seorang demokrat dan liberal sejati, intervensi, invasi, dan penjajahan yang berujung kematian orang banyak sama sekali tidak dibenarkan.

Apa yang diharapkan pada sebuah peristiwa yang menghabiskan uang miliaran dollar, kerusakan parah dan kemiskinan yang masif? Tentu saja perang adalah momok buruk, apalagi jika hanya berlandaskan ‘kepentingan nasional Rusia’ atau ‘kepentingan demokrasi Amerika.’

Misi peperangan untuk menanamkan Demokrasi di negara lain dengan peperangan, malah bertolak belakang dengan semangat kebebasan dan demokrasi yang cenderung pada perdamaian.

Karena itu ketika Presiden Jokowi kembali mengulang kampanye perdamaian di Amerika Serikat saat KTT ASEAN-Amerika, saya merasa takjub. Beberapa waktu lalu, Indonesia dianggap bukan sahabat setia Amerika dan Sekutunya, karena Jokowi tetap tegas mengundang Rusia dan menolak peperangan berlangsung. Namun, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia berdiri di sudut netral dan tetap teguh menginginkan perdamaian sebagai opsi terbaik.

Sebagai bukti bahwa Indonesia tidak condong pada satu pihak, Presiden Jokowi secara langsung menelepon Presiden Ukraina, Volodymr Zelensky dan menyatakan simpatinya atas korban yang berjatuhan di negeri tersebut (Pedoman Tangerang, 29/05/ 2022)

Presiden Jokowi secara terbuka mengundang Presiden Ukraina, Zelensky untuk menghadiri KTT G-20 di Bali. Ketika Zelensky meminta bantuan senjata pada Indonesia, Presiden Jokowi menolak dan berjanji akan memberikan bantuan logistik, makanan dan apapun yang dibutuhkan rakyat Ukraina. Sikap Jokowi yang tak ingin menjual senjata adalah bentuk keteguhannya agar perang segera dihentikan.

“Perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Dunia tidak memiliki pilihan lain kecuali menghentikan perang sekarang juga. Setiap negara, setiap pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menciptakan enabling environment agar perang dapat dihentikan, perdamaian dapat terwujud,” kata Jokowi (Pedoman Tangerang, 16/05/2022)

Hal ini yang kemudian membuat Indonesia disambut oleh beberapa pihak. Namun bagi Indonesia atau Jokowi sendiri, ini adalah satu-satunya cara untuk meredam polarisasi dan krisis ekonomi dunia akibat pandemi dan perang di kawasan.

Kita tidak menyangkal bahwa Indonesia membutuhkan minyak dari Rusia dan gandum dari Ukraina untuk kebutuhan pangan rakyat. Dalam hal ini, Presiden Jokowi menunjukkan sisi realistis bahwa yang terpenting saat ini adalah pemulihan ekonomi dan bukan memihak pada dua kutub hegemoni.

Perdamaian, kemakmuran, pasar bebas adalah diskursus yang sering dibicarakan oleh pegiat kebebasan di seluruh dunia, dan Presiden Jokowi memilih itu. Perang takkan menghasilkan apapun kecuali kebencian dan kerusakan. Sedangkan untuk memulihkan ekonomi dunia yang lesu akibat pandemi, dibutuhkan kerjasama internasional yang erat.

Tak ada gunanya bagi Indonesia untuk memihak siapa dan memusuhi siapa. Jika kita berdiri pada dua kutub hegemoni, maka kita akan kehilangan potensi pasar yang strategis dan merugikan diri sendiri.

Tanpa repot-repot menjustifikasi siapa yang salah dan siapa yang benar, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa yang terpenting adalah menjaga perdamaian, demokrasi, dan menstabilkan kondisi pasar dunia yang telah lesu akibat pandemi.

***

Referensi

https://www.foreignaffairs.com/articles/ukraine/2022-04-06/russia-ukraine-war-price-hegemony?check_logged_in=1&utm_medium=promo_email&utm_source=lo_flows&utm_campaign=registered_user_welcome&utm_term=email_1&utm_content=20220519diakses pada 19 Mei 2022, pukul 20.00 WIB.

https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-074376989/presiden-jokowi-undang-presiden-ukraina-ke-pertemuan-g20-di-bali diakses pada 19 Mei 2022, pukul 22.41 WIB

https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-074490737/tegas-presiden-jokowi-kembali-meminta-rusia-dan-ukraina-berdamai?page=2 diakses pada 19 Mei 2022,  pukul 23.21 WIB

https://publika.rmol.id/read/2022/04/10/529899/the-collapse-of-american-hegemony-country-of-contradictions diakses pada 19 Mei 2022, pukul 21.35 WIB.

https://www.washingtonpost.com/opinions/russia-invaded-georgia-10-years-ago-dont-say-america-didnt-respond/2018/08/08/ba4279d4-9b3e-11e8-8d5e-c6c594024954_story.html diakses pada 19 Mei 2022, pukul 21.32 WIB.