John Locke dan Toleransi Beragama

    1152

    Pelanggaran atas kebebasan beragama merupakan salah satu permasalahan besar yang masih terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 2018 lalu misalnya, lembaga pegiat hak-hak sipil Setara Institute mencatat ada lebih dari 200 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Indonesia.[1]

    Dari berbagai pelanggran tersebut, 70 diantaranya dilakukan oleh lembaga negara dan 130 lainnya dilakukan oleh aktor-aktor non negara. Berbagai pelanggaran tersebut terjadi melalui berbagai bentuk, mulai dari pelarangan pendirian atau penutupan paksa rumah ibadah, hingga tindakan kekerasan yang ditujukan kepada kelompok keagamaan tertentu.

    Banyaknya pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyaknin ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya pandangan konservatisme hingga radikalisme keagamaan di kalangan masyarakat. Tidak sedikit dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang merasa bahwa ajaran agama mereka merupakan yang terbaik dan satu-satunya yang benar. Oleh karena itu, mereka memiliki hak untuk memaksakan ajaran agama yang mereka yakini kepada masyarakat umum, dan bahkan memaksa orang yang tidak sepemahaman dengan mereka untuk mengikuti pandangan keagamaan yang mereka anut.

    Kelompok-kelompok keagamaan tersebut melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Mulai dari masuk ke kursi-kursi pemerintahan untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang diksriminatif, hingga melakukan tindakan kekerasan fisik seperti pengusiran, pengerusakan, hingga pembunuhan. Mereka merasa bahwa Tuhan ada di pihak mereka, dan selama Pencipta Alam ada di sisi mereka, semua tindakan yang mereka lakukan tidak mungkin salah.

    Pada kenyataannya, tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak hanya terjadi di negeri ini dan pada saat ini saja. Di negara-negara Eropa misalnya, hal tersebut juga merupakan sesuatu yang tidak luput terjadi, apalagi pada masa abad kegelapan sebelum era Pencerahan di abad ke-18.

    Berbagai pemuka agama, pemikir, hingga umat keagamaan yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dengan mayoritas atau penguasa dianggap sebagai orang-orang sesat. Mereka mengalami perlakuan yang luar biasa keji, mulai dari pengusiran, pemenjaraan, hingga eksekusi dengan cara-cara brutal. Salah satunya dengan dibakar hidup-hidup. Umat Yahudi dan umat denominasi Kristen minoritas, seperti kelompok Mennonites misalnya, merupakan sebagian dari kelompok yang kerap mendapat perlakuan kejam tersebut.

    Adalah filsuf era Pencerahan asal Britania Raya, John Locke, yang juga dikenal sebagai bapak Liberalisme, yang merupakan salah satu advokat kebebasan beragama dan toleransi pada masa itu. Dalam karya masyhurnya yang terbit pada tahun 1689, A Letter Concerning Toleration, Locke mengemukakan pentingnya menjaga toleransi dan keanekaragaman keyakinan.

    Locke dalam karyanya menentang konformitas satu agama di sebuah masyarakat. Ia  mengemukakan bahwa menjaga keaneragaman keyakinan merupakan salah satu hal yang paling penting untuk menjaga kedamaian dan mencegah kerusuhan massa. Locke dalam hal ini juga membedakan antara kebutuhan internal individu seperti spiritualitas dan kebutuhan eksternal individu, seperti kebutuhan fisik seseorang.

    Tugas pemerintah bagi Locke adalah memenuhi kebutuhan eksternal seseorang, seperti menjaga kehidupan, kebebasan, dan properti dari agresi individu lain dan memenuhi kesejahteraan umum. Kebutuhan internal seseorang, seperti kebutuhan spiritualitas atau kebutuhan keselamatan nanti di kehidupan yang akan datang merupakan tugas lembaga keagamaan seperti Gereja, dan bukan tugas dari pemerintah. Karena fungsi keduanya sangat berbeda, harus ada pemisahan yang jelas antara institusi pemerintah dengan institusi keagamaan.

    Locke mengemukakan tiga poin utama mengapa menjaga toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang sangat penting dan pemaksaan keagamaan merupakan hal yang harus dilarang.

    Poin pertama adalah hanya Tuhan yang dapat memutuskan jiwa mana yang akan Ia selamatkan setelah seseorang meninggal. Dan untuk itu, tidak ada individu siapapun, termasuk mereka yang duduk di kursi pemerintahan, yang dapat menentukan mengenai jiwa mana yang selamat dan mana yang tidak, karena Tuhan tidak pernah menunjuk seseorang sebagai hakim untuk memutuskan hal tersebut di dunia.

    Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dicatat. Hal tersebut dikarenakan bahwa hampir semua (atau semua) kelompok-kelompok keagamaan radikal yang gemar melakukan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda, baik di Indonesia maupun wilayah lain, selalu memiliki klaim bahwa kelompok merekalah satu-satunya yang akan mendapat keselamatan.

    Mereka menyatakan bahwa kelompok lain yang berbeda pasti akan mendapatkan penghukuman oleh Tuhan. Maka dari itu, mereka dapat memaksa siapapun yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda agar jiwa mereka dapat terselamatkan dan mencegah orang-orang lain jatuh kepada hukuman Tuhan.

    Poin kedua yang ditulis oleh Locke adalah, apabila ada seseorang atau lembaga keagamaan yang ingin mengajak orang lain yang berbeda agama atau aliran untuk berpindah keyakinan, maka ia tidak bisa melakukan hal tersebut melalui pemaksaan. Bila ada seseorang yang dipaksa berpindah keyakinan dibawah ancaman atau tindakan kekerasan seperti penyiksaan, maka kemungkinan besar ia akan menyatakan pindah keyakinan, namun hanya agar ancaman atau tindakan kekerasan tersebut dihentikan.

    Ancaman atau tindakan kekerasan terhadap kelompok keagamaan tertentu merupakan hal yang tak jarang terjadi di Indonesia, sebagaimana yang ditulis dalam laporan Setara Institute. Kelompok-kelompok yang melakukan tindakan tersebut merasa bahwa, apabila mereka melakukan hal tersebut, maka akan terjadi keajaiban bahwa orang yang mereka ancam atau sakiti akan berpindah kepercayaan menjadi keyakinan yang sama dengan mereka.

    Satu-satunya cara yang dapat dilakukan bila ada seseorang atau lembaga keagamaan yang menginginkan orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda agar berpindah kepercayaan adalah melalui persuasi. Agar persuasi dapat berjalan dengan baik, tentu kita harus dapat mentoleransi eksistensi dan hak-hak dasar mereka yang memiliki pandangan keagamaan berbeda dengan diri kita.

    Sementara itu, poin terakhir dari Locke adalah, kalaupun seandainya seseorang dapat merubah keyakinan seseorang melalui ancaman dan tindakan kekerasan, maka tidak ada jaminan bahwa orang yang dipaksa tersebut akan mendapatkan keselamatan di kehidupan yang akan datang. Terkait poin ketiga, kita dapat melihat kembali ke poin pertama bahwa untuk menentukan jiwa siapa yang akan selamat dan yang tidak merupakan hal prerogatif Tuhan dan tidak ada individupun yang dapat memberi jaminan atas hal tersebut.

    A Letter Concerning Toleration merupakan salah satu karya paling masyhur dan berpengaruh tentang advokasi toleransi dan kebebasan beragama dari tradisi liberalisme. Karya ini merupakan sesuatu yang sangat patut untuk dibaca oleh siapapun, termasuk kita masyarakat Indonesia saat ini, mengingat masih banyaknya perilaku arogansi keagamaan yang dilakukan oleh kelompok tertentu dan juga institusi pemerintah terhadap pihak lain yang berbeda.

    Toleransi dan kebebasan beragama merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dijunjung tinggi untuk terciptanya masyarakat bebas. Tanpa adanya hal tersebut, mustahil masyarakat bebas dapat tercipta dan kita semua akan terjatuh ke lubang tirani absolutisme atas ajaran agama tertentu yang dipaksakan kepada orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda.