Jalan Terjal Mengakhiri Diskriminasi Terhadap Para Penghayat Kepercayaan

    379
    Sumber gambar: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/10/22/penghayat-kepercayaan-bagian-dari-masyarakat-yang-harus-kita-jaga-dan-hormati

    Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila di mana salah satu nilainya adalah kebebasan dan penghormatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memilih dan menjalankan agamanya masing-masing. Hal ini juga diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, masih banyak diskriminasi yang mengarah pada kekerasan terhadap kelompok minoritas.

    Mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa hanya ada enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal ini timbul dari salah tafsir terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama, Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tentang GBHN, dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dan diperparah dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/1978 yang mengatur tentang agama-agama yang diizinkan masuk pada kolom agama administrasi kependudukan (Sukirno, 2018). Akibatnya, kesalahan-kesalahan ini memunculkan efek berantai berupa diksriminasi terhadap para penganut di luar enam agama “yang diakui”, seperti Bahai, Judaisme, hingga penghayat kepercayaan.

    ***

    Para penghayat kepercayaan adalah kelompok minoritas yang kerap kali mendapatkan diskriminasi dan tindakan intoleransi. Negara juga kerap kali menjadi aktor dari berbagai tindakan intoleransi terhadap para penghayat kepercayaan. Misalnya, pada tahun 2012, sekelompok penghayat kepercayaan Sapto Dharmo harus dirintangi oleh negara dalam memperoleh haknya untuk mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP). Bahkan, anak-anak penghayat kepercayaan dipersulit dalam kegiatan belajar di sekolah. Mereka dipaksa harus memilih satu dari enam agama yang “diakui” di Indonesia (Wardah, 2012). Saat sudah meninggal pun para penghayat kepercayaan masih harus menghadapi diskriminasi, seperti nasib seorang penghayat Sapto Dharmo di Brebes yang ditolak oleh pengurus desanya untuk dikuburkan di TPU di wilayah mereka tinggal (Tempo.co, 2014).

    Proses diskriminasi bukan sekali dua kali terjadi, dan semakin sulit untuk ditelusuri lebih jauh karena banyak dari para penghayat ini memilih mencatumkan agama mayoritas di kolom agama KTP. Pada tahun 2017 lalu, tercatat ada 187 organisasi dengan 12 juta jumlah penghayat kepercayaan. Namun, angka tersebut bukan angka yang valid mengingat banyaknya penghayat yang memilih untuk menyembunyikan identitasnya (Saut, 2017).

    Tanggal 7 November 2017 menjadi tonggak awal pemenuhan negara atas hak-hak yang dimiliki oleh para penghayat kepercayaan, pada tanggal tersebut Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan para penghayat atas masalah administrasi kependudukan. Keputusan ini menegaskan bahwa para penghayat kepercayaan berhak untuk mengisi kolom agama di KTP dan Kartu Keluarganya dengan “Penghayat Terhadap Tuhan YME” (BBC Indonesia, 2017). Namun, keputusan ini juga bukan tanpa halangan, karena begitu keputusan ini diterbitkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menolak hasil keputusan MK ini karena dianggap merusak kesepakatan politik pendirian Indonesia (Fadhilah, 2017).

    Tantangan juga hadir dari sistem birokrasi kependudukan, seperti yang disampaikan Bonie Nugraha, Ketua Presidium Masyarakat Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kota Bandung, tidak semua petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengetahui aturan baru mengenai kolom agama bagi para penghayat, dan bahkan ada yang tidak mengetahui apa itu penghayat kepercayaan (BBC Indonesia, 2019). Namun, pengakuan negara terhadap hak-hak para penghayat ini merupakan hal yang patut diapresiasi dan harus terus diawasi agar berjalan sesuai dengan keharusannya.

    Secara formal, negara telah melakukan langkah besar dalam melakukan pemenuhan terhadap hak-hak warga penghayat kepercayaan. Langkah besar ini belum cukup untuk menciptakan penerimaan terhadap para penghayat secara luas. Negara belum siap dalam melakukan implementasi keputusan-keputusan terbaru MK dengan masih terjadinya kesulitan bagi para penghayat untuk mengganti kolom agama di surat-surat kependudukannya. Lebih jauh lagi, masih banyak para penghayat yang belum mengetahui atau bahkan enggan untuk mengganti kolom agamanya karena kesulitan dalam menghadapi sistem birokrasi atau takut mengalami diskriminasi. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk menghapus diksriminasi terhadap para penghayat kepercayaan. 

    Referensi

    Internet

    BBC Indonesia. (2019). “KTP untuk penghayat kepercayaan ‘masih tersandung masalah administrasi”. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47331334, pada 8 Februari 2022, pukul 09.30 WIB.

    BBC Indonesia. (2017). “Putusan MK ‘angin segar’ dan ‘memulihkan martabat’ penghayat kepercayaan”. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41886935, pada 7 Februari 2022, pukul 10.00 WIB.

    Fadhilah, U. N. (2017). MUI Tegas Tolak Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan”. Diakses dari https://republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/11/16/ozi8s3384-mui-tegas-tolak-putusan-mk-soal-penghayat-kepercayaan, pada 8 Februari 2022, pukul 09.30 WIB

    Saut, P. D. (2017). “Ada 187 Organisasi dan 12 Juta Penghayat Kepercayaan di Indonesia”. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3720357/ada-187-organisasi-dan-12-juta-penghayat-kepercayaan-di-indonesia, pada 8 februari 2022, pukul 15.35 WIB.

    Tempo.co. (2014). “Penganut Kepercayaan Wafat, Desa Tolak Pemakaman”.  Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/627095/penganut-kepercayaan-wafat-desa-tolak-pemakaman/full&view=ok, pada 15 Februari 2022, pukul 04.00 WIB.

    Wardah, F. (2012). “Penghayat Kepercayaan Minta Hentikan Diskriminasi”. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/penghayat-kepercayaan-minta-hentikan-diskriminasi/1542522.html, pada 10 Februari 2022, pukul 10.00 WIB.

     Jurnal

    Sukirno, (2018). “Diskriminasi Pemenuhan Hak Sipil Bagi Penganut Agama Lokal. Adminitrative Law & Governance Journal, 1 (No 3, Agustus 2018)”.
    https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/alj/article/view/3804/2123