Hari Senin kemarin, tepatnya tanggal 20 September 2021, menjadi hari yang tak terlupakan bagi ARMY (sebutan bagi fans BTS). Pasalnya, BTS dipercayakan untuk menjadi perwakilan Korea Selatan bersama Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, untuk hadir dalam sesi ke-76 Majelis Umum PBB di New York. Di dalam sidang yang mengangkat topik mengenai Sustainable Development Goals (SDG) ini, BTS menyampaikan pidatonya soal isu lost generation yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 serta pentingnya vaksinasi (cnbcindonesia.com, 21/9/2021).
Pada kesempatan ini, salah satu personel BTS, RM, bicara soal isu generasi yang hilang alias lost generation yang terjadi pada kelompok remaja hingga usia 20 tahun akibat pandemi COVID-19 yang menyebabkan mereka kesulitan berkembang. Namun, ia mengaku tidak sependapat. Menurutnya, banyak generasi muda yang tetap menunjukkan kemampuan serta kreativitasnya untuk menunjukkan eksistensi generasi ini.
Personel BTS lainnya, Jin, menimpali dengan menyatakan setuju bahwa tidak ada istilah generasi yang hilang akibat dari situasi pandemi ini. Justru ia menekankan bahwa mereka lebih layak disebut dengan welcome generation, yakni generasi muda yang berani menghadapi perubahan.
Selain menjamurnya foto-foto BTS di PBB (kebanyakan dari fangirl di linimasa media sosial yang bangga idol mereka tampil), isu lost generation yang disentil oleh RM membuat saya tertarik. Sebagai salah satu dari bagian generasi yang lulus SMA jalur COVID-19, saya akui ada berbagai tantangan dalam beradaptasi terhadap perubahan baru yang tidak biasa ini. Mulai dari pembelajaran jarak jauh, pemakaian online meeting yang makin hari semakin intens, dan penggunaan gawai yang hampir seharian membuat saya sempat jenuh.
Istilah lost generation awalnya ditujukan untuk kelompok sosial yang mengalami kebingungan dan kehilangan pasca Perang Dunia I. Istilah ini juga biasanya dipakai untuk menyebut sekelompok penulis ekspatriat Amerika Serikat yang tinggal di Paris pada tahun 1920-an. Sekarang, istilah ini, kerap terdengar digunakan di masa pandemi COVID-19 (britannica.com, tanpa tahun).
Diskusi terkait generasi yang hilang (lost generation) dimulai ketika UNICEF menjelang peringatan Hari Anak Sedunia, pada 11 November 2020, menerbitkan sebuah laporan global yang diberi bingkai “Averting a Lost COVID Generation” (UNICEF, 2020). Laporan tersebut berisi usulan besar yang harus menjadi kerja kolektif untuk merespons, memulihkan, dan mengimaji ulang dunia bakda pandemi yang ramah bagi anak-anak. Secara umum, usulan mitigasi tersebut terkait dengan pendidikan, kesehatan, kesenjangan digital, dan kemiskinan (UNICEF, 2020).
Laporan tersebut memantik diskusi lanjutan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Hal ini dikarekanakan isu lost generation bukan masalah singkat ketika pandemi saja, tetapi terkait masa depan sebuah bangsa. Jika kekhawatiran generasi yang hilang menjadi nyata, maka akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan.
Seperti yang saya sebut di atas terkait tantangan yang saya hadapi dalam peralihan tatap muka ke serba online seperti ini, saya rasa hampir semua anak mengalami apa yang saya rasakan tersebut. Jenuh dan bosan, tak jarang merasa burn out ketika mengerjakan tugas online. Istilah-istilah baru seperti zoom fatigue, dan lainnya PUN MUNCUL. Hal tersebut tampaknya sudah familiar oleh kita dan menjadi salah satu dari berbagai dampak emosional dari pandemi COVID-19.
Dalam keadaan seperti ini, jelas masih tidak ada cara untuk menghilangkan sepenuhnya dampak tersebut. Salah satu cara meminimalisir dampak-dampak negatif dari pandemi COVID-19 ini adalah mencari cara untuk mengatasinya. Penting untuk mengatasinya agar isu lost generation ini tidak menjadi nyata.
Untuk merespons realitas di atas terkait resiko lost generation, paling tidak perlu strategi inovatif dalam pembelajaran dan kegiatan anak. Pertama, kreativitas dan kebebasan eksplorasi anak adalah yang terutama. Kenapa demikian? Situasi pandemi berbeda dengan ketika normal. Kenyataan saat ini mungkin berbeda dengan berbagai asumsi yang biasanya mendasari keputusan dan kebijakan sebelum pandemi menyerang. Karenanya kita perlu menyinkronkan perspektif dalam melihat realitas. Salah satunya dengan inovasi agar anak tidak mudah jenuh selama berada di rumah saja.
Kreatif dan memiliki rasa ingin tahu yang besar sudah merupakan hakikat setiap anak. Entah itu rasa ingin tahunya terhadap isu di sekitar maupun keinginan untuk mencoba segala hal yang menurut mereka baru. Kejenuhan dan rasa capek yang timbul akibat pandemi ini disebabkan oleh kondisi pandemi yang ‘mengekang’.
Tentu sifat kreatif tidak muncul begitu saja, tetapi dapat dirangsang, namun juga dapat dihambat. Pola asuh orang tua dapat menentukan perkembangan kreativitas anak lebih pesat dibandingkan yang lain atau sebaliknya dapat terhambat. Pola asuh tipe otoriter yang menekankan adanya tuntutan yang tinggi namun kurang disertai kasih sayang, dapat menghambat kreativitas pada anak. Sementara, pola asuh autoritatif, di mana orang tua memberikan tuntutan, namun juga memberikan kasih sayang kepada anaknya. Pola asuh ini mendorong anaknya untuk menentukan pilihannya sendiri, memberikan kebebasan dalam berpendapat dan mendukung ekspresi yang dilakukan anak, sehingga ia tumbuh sebagai anak yang lebih kreatif (Miller, Lambert, & Neumeister, 2012).
Selain itu, penting memberikan waktu bermain kepada anak dan membiarkan anak dapat mengekspresikan perasaannya. Ada anak-anak yang sulit mengekspresikan emosinya, saat sedih senang, dia hanya diam saja, tentu menjadi kurang sehat secara psikologis (Gostoli, Cerini, Piolanti, & Rafanelli, 2017). Ada pula kondisi atau kejadian yang membuat di trauma seperti tidak mau memegang sesuatu, mencoba untuk melakukan sendiri, dan seterusnya. Jika anak mengalami trauma maka biasanya imajinasinya dapat terbatas, dan itu juga bisa membuat daya ingatnya terbatas.
Oleh karena itu, orang tua perlu mendorong dan memfasilitasi agar anak dapat mengembangkan kreativitas di masa pandemi ini meski hanya di rumah saja. Bisa dimulai dari kegiatan sehari-hari, seperti mencoba resep baru dalam memasak atau mencoba membuat aneka makanan bersama dengan anak, membuat kreasi barang bekas, berkreasi dengan teknologi dan platform yang ada, atau kegiatan-kegiatan lain yang belum pernah dilakukan guna mendorong anak berpikir kreatif dan bisa berkarya sesuai minatnya.
Referensi
Jurnal
Gostoli, S., Cerini, V., Piolanti, A., & Rafanelli, C. 2017. “Creativity, Bipolar Disorder Vulnerability and Psychological Well-Being: A Preliminary Study”. Creativity Research Journal.
Miller, A. L., Lambert, A. D., & Neumeister, K. L. S. 2012. “Parenting style, perfectionism, and creativity in high-ability and high-achieving young adults.” Journal for the Education of the Gifted.
Laporan
UNICEF (2020). Averting a Lost COVID Generation. New York, NY: UNICEF.
Internet
https://www.britannica.com/topic/Lost-Generation. Diakses pada 27 September 2021, pukul 21.00 WIB.
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20210921123945-33-277921/tampil-lagi-di-sidang-pbb-omongan-bts-ini-bikin-terharu. Diakses pada 26 September 2021, pukul 16.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.