Kebencian terhadap asing dan apa yang berbau nonpribumi nampaknya belakangan ini kembali mencuat. Buktinya selama tahun politik (2017, 2018, 2019) slogan “anti Cina”, “gue pribumi”, “anti asing” dan slogan semacamnya sering kita dengar bahkan menjadi bahan “gorengan” oleh para politisi yang tengah bersaing dalam kontestasi pemilihan umum.
Istilah pribumi dan nonpribumi pada dasarnya digunakan untuk mengidentifikasi etnis yang merupakan penduduk asli (inlander) dengan etnis pendatang, seperti orang Tionghoa, Arab atau India di Nusantara. Namun istilah ini dalam politik justru digunakan oleh kelompok-kelompok kanan untuk mengintimidasi para pendukung Jokowi dan Ahok yang dianggap sebagai nonpribumi sekligus antek asing.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, juga kerap menggunakan isu pribumi dan nonpribumi. Malah dalam pidato kemenangannya, Anies Baswedan kembali menegaskan kata pribumi, “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.”
Kata pribumi yang digunakan untuk menyebut penduduk lokal, belakangan malah menjadi suatu istilah politik yang digunakan secara negatif untuk mengukukan superioritas satu etnis terhadap etnis lainnya yang dianggap lebih rendah (dalam hal ini etnis superior adalah etnis penduduk asli/pribumi dan etnis yang dianggap inferior adalah pendatang/nonpribumi)
Ariel Heryanto dalam salah satu kuliahnya mengatakan, bahwa historigrafi Indonesia bersifat rasis, dalam artian tendensi anti asing sangat kuat. Memang benar bahwa munculnya rasa kebencian terhadap orang asing dan nonpribumi karena kolonialisme bangsa Eropa membawa bertindak diskriminatif dan melakukan perbudakan sehingga bangsa Indonesia menjadi melarat.
Menurut sejarawan Andi Achdian, pemerintah kolonial Belanda dahulu juga menerapkan hierarki ras atau etnis, ras Eropa merupakan ras kelas satu, etnis Tionghoa, Arab dan India menduduki posisi kedua, dan ketiga adalah orang-orang inlander atau penduduk lokal. Diskriminasi terhadap penduduk lokal inilah yang kemudian membakar rasa kebencian terhadap orang-orang asing
Dengan dasar kesejarahan ini, banyak orang mengeneralisir bahwa yang serba asing itu buruk atau tidak baik, dan berpikir akan lebih baik jika politik maupun ekonomi dikuasai oleh golongan pribumi. Nah mirisnya etnis Tionghoa dicitrakan sebagai kelompok asing/nonpribumi. Orang Tionghoa selalu dicitrakan sebagai orang pelit, angkuh, dan eksklusif, padahal asumsi asumsi tersebut tidak benar.
Karena isu rasial alias SARA sangat besar pengaruhnya di masyarakat, dalam tahun-tahun politik, beberapa politisi kembali berusaha menggunakan tendensi pribumi dan nonpribumi untuk mendapat keuntungan pribadi.
Propaganda anti nonpribumi dan asing ini secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi orang-orang menjadi bermental cauvinis dan ultranasionalistik. Banyak orang berpikir bahwa segala berbau asing dan nonpribumi harus disingkirkan. Akhirnya isu rasial yang tidak sehat dan rentan menimbulkan perpecahan menjadi tren dalam tahun politik yang lalu.
Pribumi dan Non-Pribumi Tidak Relevan
Tendensi anti asing khususnya anti etnis Tionghoa di Indonesia hampir mirip dengan tendensi anti Yahudi di Jerman yang dihembuskan oleh Nazi yang mengagungagungkan rasnya. Pada faktanya, isu anti cina, anti asing atau masalah pribumi dan nonpribumi hanyalah akal-akalan yang tidak berdasar sama sekali. Sudah beberapa kali Indonesia terluka oleh isu murahan ini.
Harus diketahui, Indonesia adalah negara maritim/kepulauan yang terdiri dari banyak suku. Dari sudut pandang Antropologi, bangsa kita tidak 100% ras Melayu, di sebelah timur Indonesia justru ras Melanesia-lah yang mendominasi. Jadi, Indonesia sebagai suatu bangsa bukanlah sekumpulan ras dan etnis tunggal, tetapi kumpulan dari berbagai suku dan etnis yang memiliki kebudayaan berbeda.
Banyak orang berpikir bahwa dirinya adalah pribumi karena mereka adalah keturunan asli penghuni negeri Indonesia. Padahal faktanya, nenek moyang kita tidak asli dari Indonesia, melainkan orang-orang yang bermigrasi ke Indonesia.
Nenek moyang kita ada yang berasal dari Yunan/China dan ada yang berasal dari daerah India Selatan. Bisa dikatakan “Pribumi” Asli Indonesia hanya Homo Erectus, Homo Soloesis, dan Homo Wajakensis yang berevolusi dan beradaptasi di Nusantara dan kemudian punah, sedangkan kita adalah keturunan proto dan deutero Melayu yang bermigrasi dan datang ke kepulauan Nusantara selama rentang waktu 1500-500 SM.
Kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang berlandaskan pada perbedaan suku dan ras. Maka bisa dikatakan tidak relevan lagi jika etnis tionghoa, Arab, atau India yang sudah ratusan tahun menetap di Indonesia dan berketurunan disini disebut nonpribumi.
Dalam sejarah Indonesia tidak semua orang asing bersikap jahat terhadap masyarakat Indonesia. Multatuli atau Edward Douwes Dekker adalah orang Eropa yang mengecam sistem tanam paksa yang dilakukan oleh penguasa pribumi dan pemerintah kolonial. Begitu juga Ernest Douwes Dekker, dari etnis Indo-Eropa, yang bersama Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij
Banyak peranakan Indo Eropa dan Tionghoa berusaha memperjuangkan perbaikan nasib bangsa Indonesia sebut saja organisasi Insulinde, dimana etnis Indo-Eropa bekerjasama dengan priyayi pribumi untuk perbaikan nasib dan menghentikan politik rasis. Begitu juga organisasi Tionghoa Hwee Koan, menginspirasi berdirinya berbagai macam organisasi-organisasi pergerakan di Indonesia.
Presiden BJ Habibie menyadari bahwa dikotomi pribumi dan nonpribumi sangat berbahaya bagi rakyat Indonesia, karena itulah BJ Habibie “memerangi” istilah tersebut dengan menerbitkan instruksi Presiden nomor 26 tahun 1998 tentang Penghapusan Istilah Pribumi dan Nonpribumi. Habibie tahu bahwa rusaknya ekonomi Indonesia tahun 1998, bukan hanya disebabkan oleh krisis tetapi kerusakan yang diakibatkan oleh rasa kebencian antar etnis.
Membanggakan identitas sebagai pribumi dan provokasi anti asing dan anti cina pada dasarnya tidak rasional, sebab Indonesia memproklamirkan diri sebagai suatu bangsa bukan berdiri di atas superioritas sebagai pribumi, namun kebanggaan karena dapat bergenggaman tangan sebagai sebuah bangsa walau saling berbeda.
Peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, adalah bukti bahwa kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan dalam perbedaan suku dan etnis. Para tokoh kemerdekaan kita dalam memperjuangkan nasib sebuah bangsa tidak pernah melihat fanatisme suku dan ras. Keturunan India adalah Indonesia, keturunan Arab adalah Indonesia, dan keturunan Cina adalah Indonesia.
Perlu dicatat, bahwa “kebangsaan Indonesia” kita bukan berdiri di atas kesamaan suku dan ras sebagaimana nasionalisme ala Nazi, tetapi atas dasar kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita untuk merdeka. Indonesia bukanlah suatu bangsa yang berhimpun diatas kebanggaan cauvinistik, tetapi diatas filosofi yang humanis.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com