Kenapa kita masih mempersoalkan jenggot? Mengapa kita masih berdebat soal cadar? Karena apa kita masih ribut soal poligami? Untuk apa kita masih bertengkar soal si kafir dan si muslim? Inti Islam adalah kemanusiaan, tapi kita melupakan itu semua. Nabi menyuruh kita untuk menghargai sesama tapi kita masih menuding ada musuh dibalik tembok. Ingat Pesan Allah pada hambaNya agar mencintai sesama, sekalipun itu musuh kita..
“Tidak boleh ada salib di depan Balai Kota Solo yang menjadi tempat publik. Di mana secara nyata simbol itu sangat nyata terlihat,” kata Koordinator aksi demo, Muhammad Sigit yang dilansir dari BBC News Indonesia. Dewan Syariah Kota Surakarta mengadakan aksi demo karena mozaik di pertigaan jalan kota Solo menyerupai tiang Salib yang diyakini sebagai simbol Kristenisasi.
Para demostran menganggap bahwa sebagai kawasan mayoritas muslim, tidak boleh ada simbol-simbol non Muslim yang “menyinggung keimanan” orang Islam di ruang publik. Kejadian ini kemudian diikuti pula dengan demonstrasi massa Laskar Umat Islam Surakarta yang menolak aksesoris lampion di Pasar Gedhe Surakarta. Menurut mereka, lampion di daerah tersebut berarti Cinaisasi Surakarta sehingga mereka menolaknya.
Kejadian ini bukan sekali-kalinya terjadi. Kemunculan ormas-ormas Islam justru kerap melakukan aksi-aksi kontroversial, seperti melakukan sweeping terhadap ornamen-ornamen “kafir” di hari Natal yang terdapat di ruang publik, melakukan penolakan berdirinya gereja bahkan mempersoalkan acara keagamaan.
Jika atribut-atribut keagamaan selain Islam dilarang, sebaliknya pada hari-hari besar Islam seperti Bulan Rahmadhan, Tahun Baru Hijriyah, Lebaran dan Hari Raya Qurban. Televisi berlomba-lomba menayangkan iklan-iklan yang bernuansa Islami, entah itu iklan sirop dengan orang yang menunggu beduk buka puasa, atau iklan sarung dan baju Muslim yang menampilkan orang beribadah.
Para artis juga turut berpakaian Muslim dan jilbab syar’i, serta tayangan TV mendadak menayangkan sinetron-sinetron religi. Di mal dan pusat perbelanjaanpun kadang menampilkan ornamen bulan sabit dan memasang poster besar “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa” atau “Selamat merayakan Hari Lebaran”. Kejadian seperti ini jutru tidak teradi di hari-hari besar agama lain.
Sebagai seorang Muslim, saya pribadi berpikir apakah ini bukan standar ganda, walaupun Muslim di Indonesia mayoritas, tetapi bukan berarti kita melarang orang lain yang berbeda agama untuk menunjukkan atribut-atribut keagamaan mereka. Sudah menjadi naluri manusia untuk menunjukkan identitasnya kepada khalayak umum. Begitu juga identitas mereka sebagai seorang pemeluk agama.
Benarkah atribut-atribut agama lain adalah ancaman? Tentu jawabannya tidak, atribut sama dengan pakaian atau aksesoris. Saya sebagai seorang Muslim bisa menikmati nongkrong di mal atau restoran yang memasang pohon natal, atau berteman baik dengan teman yang memakai kalung salib. Tidak ada masalah dan itu bukan merupakan ancaman. Iman bukanlah aksesoris atau atribut. Iman adalah prinsip dan keyakinan. Jika iman sudah menancap dalam kalbu, bagaimana mungkin iman akan sirna atau hilang hanya karena pohon natal atau patung Buddha?
Belakangan ini, muncul tren baru yang menjalar di kalangan generasi millenial, yaitu tren hijrah. Hijrah berasal dari Bahasa Arab dengan akar kata hajara, yahjuru, hajran, hujranan yang bermakna pindah, pergi, atau menjauhi sesuatu dengan sangat keras. Kalimat hijrah biasanya disematkan pada peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW pindah dari Mekkah ke Kota Madinah. Namun belakangan ini, definisi hijrah bagi orang-orang yang berhijrah adalah menjauhi sesuatu yang buruk dan kembali kepada ajaran Quran, Sunnah, dan ajaran generasi terdahulu Islam (Salafus shalih).
Tujuan hijrah memang baik, yaitu agar setiap generasi muda menjauhi hal-hal yang negatif bagi dirinya dan lebih memilih hal yang bermanfaat dan membawa kesejukan bagi orang lain. Namun, suatu konsep ideal yang menjadi praktik sosial, kadang terjadi penyimpangan. Hijarah dipahami hanya sebagai mengenakan pakaian muslim, memelihara jenggot, dan setiap hari me-share video dakwah di YouTube ke akun Facebook atau Instagram.
Tren hijrah kini difahami bukan dari semangatnya, yaitu semangat menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan, tetapi menjadi hanya mode yang diikuti karena ramai orang mengikutinya. Yang tadinya sering pake kaos, berubah jadi pake gamis atau “kaos tauhid”, yang tadinya suka musik rock jadi nasyid, dan yang tadinya pacaran jadi ta’arufan (perkenalaan untuk ke jenjang nikah), walaupun realitanya sekarang yang membedakan hanya sekedar istilahnya saja.
Fenomena semacam ini disebut beragama secara simbolis. Agama Islam yang merupakan ajaran fiqih, aqidah dan akhlak direduksi menjadi sekedar ritual atau atribut semata. Tentu saja ini keliru atau mungkin fenomena ini bisa dikatakan “penyimpangan”. Iman adalah prinsip yang tertanam di hati. Representasi iman bukan sekedar menggunakan atribut-atribut seperti sorban, jenggot, mengibarkan bendera, atau berdemonstrasi, perbuatan tersebut sama sekali tidak menunjukan kesalehan.
Berislam Melampaui Simbol
Islam dari secara bahasa artinya bermakna kepatuhan, ketundukan, berserah diri, pasrah (sallama – taslim). Sayid Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, mengatakan bahwa Islam itu memiliki makna yang lain pula, yaitu Islam bermakna masuk dalam kedamaian, keselamatan atau kemurnian ( dakhala fi al-salm au al-silm au al-salam).
Inti Islam adalah moralitas. Dalam Islam pelaksanaan akidah dan fiqh (prinsip dan ritual) adalah akhlak. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Muslim sejati adalah yang menjaga orang lain dari gangguan lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi, seorang Muslim sejati seyogyanya dilihat dari sejauhmana ia mengamalkan agamanya dengan membuat orang lain selamat dan damai dengan kehadirannya. Dan berbuat baik tidak hanya kepada sesama muslim tetapi kepada yang nonmuslim, sebab risalah Islam untuk lil alamin seluruh alam bukan hanya untuk sesama Muslim.
Untuk menjadi seorang Muslim sejati tidak cukup hanya sekedar memelihara jenggot, menggunakan gamis, berbaju tauhid, mengikuti demo, atau me-share video-video ustad. Bukan berarti penulis mengkafirkan atau menilai tren hijarah itu buruk, tetapi alangkah lebih baik jika kita berislam melampaui simbol-simbol dan atribut-atribut.
Pada dekade 1930 hingga 1970 yang lampau, terjadi perdebatan sengit antara kelompok tradisionalis dan reformis. Mereka mempersoalkan masalah tadisi Yasinan, Mauludan, Selametan, Beduk dan hal-hal yang dianggap bid’ah (hal baru yang dianggap sesat) oleh golongan reformis. Tentu saja perseteruan mengenai fiqh tersebut sangat tidak subtantif dan tidak menyentuh esensi ajaran Islam.
Apakah orang sudah merasa berislam jika melakukan tahlilan atau membid’ahkan tahlilan? Apakah orang sudah merasa paling Islami jika memukul beduk atau membuang beduk dari masjid? Perseteruan ritualistik tersebut terlalu sepele dan tidak menyentuh akar Islam yang sebenarnya, yaitu ajaran kedamaian, cinta kasih, dan toleransi.
Perilaku Islami tidak ditandai dengan membubarkan acara keagamaan umat lain, demo ornamen mirip salib, mencopot lampion, atau memasang bendera tauhid di rumah. Perilaku Islami adalah sopan santun, menghargai hak orang lain, merangkul sesama, melindungi yang berbeda, serta mengayomi yang lemah.
Islam tidak membawa kebencian tetapi membawa suka cita dan perdamaian. Ketika Mekkah berhasil dikuasai oleh pasukan Islam, penduduk Mekkah yang masih musyrik dan kafir ketakutan. Orang-orang musyrik takut jika Nabi Muhammad akan membalas dendam atas perbuatan mereka dahulu yang telah menganiaya dan mengusir Nabi Muhammad. Namun, Nabi Muhammad justru berteriak dengan lantang “al-yaum, yaum al-marhamah”(hari ini adalah hari kasih sayang), perkataan ini membuat penduduk Mekkah merasa lega dan menyambut kaum Muslim sebagai saudara mereka.
Menjadi seorang Muslim, berarti menjadi seorang yang memberi keselamatan bagi setiap orang. Islam tidak menyuruh kita untuk berbuat agresi atau kekerasan. Kadang kita lupa dan mengira bahwa Islam hanya sekedar atribut dan simbol-simbol, padahal hakikat Islam tidak terletak pada atribut tetapi pada akhlak dan konsep kedamaiannya.
Sebagaimana perkataan Gus Dur, Islam datang tidak hanya mengubah atribut kita, seperti mengubah saya jadi ana, anda jadi antum, sedulur jadi akhi, tetapi lebih dari itu, Islam mengajarkan kita tentang keramahan, bukan kemarahan..

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com