Invisible Hand yang Melahirkan Inovasi Kala Pandemi

    692

    Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua Warga Negara Indonesia (WNI) positif COVID-19, produk pembersih tangan berbasis alkohol dan masker ludes dalam hitungan jam di berbagai supermarket. Kelangkaan dan lonjakan harga masker maupun hand sanitizer itu membuat masyarakat resah dan saling menyalahkan oknum-oknum yang dianggap memanfaatkan kondisi seperti ini untuk menimbun kekayaan tanpa memedulikan masyarakat menengah ke bawah atau yang sedang dalam posisi mendesak. Kemudian, kapitalisme menjadi kambing hitam dari semua persoalan tersebut.

    Sesuai dengan teori permintaan, harga barang akan relatif naik apabila permintaan naik. Maka, harga masker pada saat itu juga mengalami kenaikan yang fantastis akibat permintaan yang sangat tinggi. Karena adanya fenomena “panic buying” saat pertama kali diumumkannya virus Corona di Indonesia, masyarakat terpaksa berbondong-bondong tetap membeli masker karena takut kehabisan stok.

    Panic buying sedikit banyak disebabkan oleh ‘herd instinct’ manusia, atau insting kita bertindak mengikuti mayoritas orang yang di-trigger oleh informasi di media sosial. Kedua, panic buying disebabkan oleh reaksi untuk perasaan tidak pasti dan stres. Dengan membeli barang dalam jumlah yang besar, kebanyakan orang akan merasa punya kontrol dan merasa lebih aman.

    Sekarang kita tahu bahwa selain penimbunan masker oleh oknum-oknum di luar sana, ada juga faktor lain yang menyebabkan kelangkaan barang produksi dan melonjaknya harga. Hukum pasar supply and demand berlaku dengan sangat jelas sesuai kondisi masyarakat. Namun, mayoritas masyarakat masih saja menyalahkan kapitalisme atas peristiwa kelangkaan ini.

    Kita lihat di akhir permasalahan kelangkaan masker dan hand sanitizer, tiba-tiba saja semua harga masker berangsur normal. Sudah banyak yang berjualan masker dalam bentuk beragam dan hand sanitizer khas lokal (buatan pribadi). Kenapa hal ini bisa terjadi?

    Peran invisible hand dalam mekanisme pasar adalah jawabannya. Ketika melihat masker-masker dengan bentuk biasa yang berwarna kehijau-hijauan khas dokter itu mulai langka di pasar, invisible hand memulai inovasi baru dalam implementasi kebebasan tanpa batasnya pasar. Seperti yang saat ini kita temui, berbagai jenis masker dijual dalam harga yang biasa saja dan sudah mulai banyak diproduksi, termasuk adik saya yang ditugaskan oleh sekolahnya untuk membuat masker kain ramah lingkungan.

    Teori ini mengesampingkan peran pemerintah dalam rangka membentuk keseimbangan pasar. Pemerintah dianggap sebagai organisasi formal yang menghambat perekonomian dan terbentuknya sebuah pasar yang natural. Bertemunya supply dan demand secara alamiah merupakan respons dari rasionalitas hidup manusia, di mana setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan mendapat keuntungan pribadi yang besar.

    Kecenderungan itu akan mendorong orang untuk memproduksi barang kebutuhan konsumen. Namun jika produksi itu berlebih, maka pasar akan meresponsnya dengan penurunan harga. Demikian pula sebaliknya ketika suatu produk langka, maka harganya akan menjadi tinggi (Oleinik, 2016).

    Dalam penafsiran ini, teori invisible hand menyatakan bahwa jika masing-masing konsumen diberi kebebasan membeli, dan produsen diperbolehkan memilih apa yang dijual dan bagaimana memproduksinya, pasar akan menyesuaikan distribusi dan harga produk yang menguntungkan bagi semua individu dan masyarakat secara keseluruhan.

    Metode produksi yang efisien diadopsi untuk memaksimalkan keuntungan. Harga yang rendah dikenakan untuk memaksimalkan pendapatan melalui keuntungan pasar dengan melemahkan pesaing. Investor berinvestasi di industri-industri yang paling dibutuhkan untuk memaksimalkan keuntungan, dan menarik modal dari hal yang kurang efisien dalam menciptakan nilai. Semua efek ini berlangsung secara dinamis dan otomatis

    Invisible hand mungkin belum tentu menghasilkan kemakmuran dengan hanya menjual masker produksi sendiri. Namun, lewat invisible hand, harga di pasar bisa kembali seimbang. Dan selanjutnya, mekanisme pasar bisa membawa individu dan masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi lagi, inovasi bertahan hidup dalam bayang-bayang pandemi.

    Para pengusaha dan bisnis-bisnis yang dulunya tidak berkecimpung di dunia yang serba online atau jarang memanfaatkan teknologi dalam menjalani bisnisnya, saat ini justru berlomba-lomba mencari celah dalam media sosial atau metode daring untuk terus menjalani bisnisnya saat pandemi. Pengusaha dituntut bisa kreatif dan mampu berinovasi terhadap produk maupun pemasarannya di masa pandemi Covid-19 ini. Ini dilakukan demi bisa bertahan di masa krisis.

    Sesuatu yang menggunakan kreativitas dan inovasi, sebetulnya akan memunculkan peluang usaha atau bisnis baru, yang menguntungkan. Masyarakat sadar akan kenyataan bahwa vaksin tidak bisa ditemukan dalam kurun waktu yang singkat. Oleh karena itu, mereka mencari alternatif baru dengan menyesuaikan kehidupan dengan kondisi saat ini.

    Demi menghindari penyebaran virus lewat tangan misalnya,  Steve Brooks, desainer Inggris dari firma Draft Design Build , menggagas Hygienehook, benda mungil mirip kapstok yang bisa dipakai untuk membuka pintu.  Di kategori yang sama, Stay Safe Lab,  asal Slovenia menciptakan Carabiner yang dibekali fitur tambahan   seperti stylus (misalnya untuk menekan tombol ATM), pisau penyayat selotip, serta pemutar mur. Bagi para pemilik kantin atau toko kelontong, perusahaan Finlandia, Fortum, mendesain Vipu, gagang lengan untuk membuka pintu kulkas atau lemari (Destinasian, 01/05/2020).

    Beberapa tahun selepas pandemi, masker akan terus menjadi bagian lumrah dari busana, dan beberapa organisasi mulai menangkap peluang itu dengan menciptakan masker modis yang berbeda dari masker ojek atau masker bandit. Virustatic, firma bioteknologi asal Inggris, menciptakan Virustatic Shield yang menyerupai masker koboi dan diklaim sakti menangkal virus (Destinasian, 01/05/2020).

    Dari Kanada, Myant menciptakan masker dengan lapisan ganda dan kandungan serat tembaga dan perak. Inovasi buatan Indonesia tak kalah atraktif. Label fashion Liunic on Things mendesain masker kaya warna dan corak. Mengusung agenda sosial, gerakan Masker Untuk Indonesia menciptakan masker artistik hasil kemitraan dengan seniman. Sementara Ghea Fashion Studio meramu masker bercorak motif Indonesia yang sepertinya cocok dipakai Ghea Panggabean saat naik ojek (Destinasian, 01/05/2020).

    Selain yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar di atas, dapat kita temui inovasi-inovasi baru di sekitar kita juga. Seperti jasa yang pernah ayah saya beli, salon keliling dengan si pemangkas rambut menggunakan APD lengkap dengan prosedur kesehatan yang ditetapkan. Belum lagi sistem pemesanan makanan lewat aplikasi online yang dilengkapi dengan promo-promo menarik bagi pelanggan. Platform-platform gratis yang disediakan untuk mengisi kejenuhan di rumah, seperti Tik-Tok, Netflix, Youtube, dan sebagainya.

    Kapitalisme memang bukan jawaban dari segala masalah yang ada, namun kapitalisme juga bukan akar dari segala permasalahan. Pasar yang dikendalikan oleh invisible hand memberikan keuntungan bagi semua pihak dalam pasar karena setiap keinginan dan kebutuhan untuk mendapatkan dan menjual barang akan membawa keuntungan dan persaingan dalam pasar akan memberi manfaat selama masih dalam kondisi wajar.

     

    Referensi

    Oleinik, Anton N. 2016.The Invisible Hand of Power: An Economic Theory of Gate Keeping. New York:  Routledge.

    https://destinasian.co.id/inovasi-di-balik-pandemi/ Diakses pada Senin, 15 Juni 2020, pukul 19.00 WIB.