Pemblokiran akses internet situs yang dianggap bermuatan konten negatif oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merupakan hal yang bisa dipastikan sudah diketahui oleh hampir seluruh pengguna Internet di Indonesia. Hal tersebut merupakan implementasi dari Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 19 tahun 2014 tentang Penanganan Terhadap Situs Bermuatan Konten Negatif.
Tidak hanya pemblokiran, sejak 10 Agustus 2018 lalu, Kemenkominfo mengeluarkan peraturan baru, yakni memerintahkan penyedia jasa internet (internet service provider atau ISP) untuk mengaktifkan fitur SafeSearch pada search engine seperti Google dan Bing, untuk memfilter konten porno dalam tampilan mesin pencari. Hal ini dikarenakan meskipun banyak wesbite yang sudah diblokir, namun konten seperti pornografi dapat ditemukan melalui mesin pencari.
Lantas bagaimanakah prediksi mengenai langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam meregulasi internet. Selain itu, apakah bentuk regulasi terhadap internet merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi?
Untuk membahas hal tersebut, kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal Kurniawan mewawancarai Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), Damar Juniarto, pada 8 Agustus 2018.
Terima kasih banyak Mas Damar untuk waktunya. Bagaimana pandangan Mas Damar seputar Permenkominfo tersebut?
Terima kasih banyak telah bersedia mewawancarai saya. Menurut saya, yang paling utama adalah tentang praktik censorship. Jadi praktik censorship ini bukanlah barang baru. Zaman dahulu kita mengenal censorship buku. Sekarang karena dunia sudah berkembang maka praktik censorship disesuaikan juga.
Kenapa kita membungkusnya dengan censorship, karena bagi saya, yang dilakukan oleh Kemenkominfo tidak secara langsung menyerang freedom of speech atau kebebasan berbicara. Akan tetapi, dalam praktiknya hal ini adalah bentuk pembatasan akses terhadap informasi. Maka dari itu, stake yang paling besar adalah, orang tidak bisa mengakses informasi apapun, karena jalannya dua praktik. Yang pertama adalah praktik. Satu yang disebut circumvention, atau yang dalam Bahasa Indonesia-nya pemotongan, dan praktik yang kedua adalah filtering.
Khusus untuk Indonesia, bagi saya yang menarik adalah kita tidak lagi bicara filtering, karena dalam revisi UU ITE yang terbaru, praktik pembatasan informasi itu, memungkinkan pemerintah untuk bisa melakukannya sebebas-bebasnya. Karena di dalam Pasal 40 UU ITE yang baru, dalam revisinya, bunyinya adalah memberi kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memblokir atau membatasi peredaran informasi.
Jadi memberi kewenangan penuh, jadi bukan seperti peraturan menteri (Permen) lagi, karena dalam Permen masih ada pihak-pihak lain yang didengarkan, untuk memutuskan apakah suatu situs tertentu perlu ditutup atau tidak. Akan tetapi dalam revisi UU Pasal 40 kewenangannya sudah penuh, dan tidak bisa dipertanyakan. Dan kita tidak memedulikan proses pengadilan lagi. Kita sudah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah untuk mengatur apa yang boleh kita lihat dan apa yang tidak boleh, dan hal tersebut sangat berbeda.
Oleh karena itu, bagi saya lebih penting kita berangkat dari titik yang sekarang (revisi UU ITE dan bukan Permenkominfo) mengenai akses pembatasan informasi. Karena hal tersebut lebih pas untuk melihat posisi yang sekarang daripada Permenkominfo yang sebagai produk hukum, dia sudah lewat. Bukan berarti Permen tersebut tidak berlaku, namun revisi UU ITE ini dampaknya akan lebih besar dan lebih luas.
Dan bagi saya interview ini sangat bagus dan tepat momentumnya. Pemerintah belum lama ini lagi menguji coba sebuah praktik baru circumvention, dalam bentuk memaksa mesin pencari untuk mengikuti aturan pemerintah. Sebelumnya yang dibatasi adalah keyword, (dimana kalau mengetik konten yang dilarang seperti pornografi maka keyword-nya tidak akan muncul), namun sekarang memaksa mesin pencari untuk mengikuti kemauan pemerintah, dimana ketika kita melakukan pencarian di mesin pencari, maka konten seperti pornografi tidak akan muncul sama sekali.
Hari-hari ini, belum ada seminggu, kita mengalami sebuah praktik yang relatif baru yang memberikan pemaknaan baru terhadap peran tak terbatas pemerintah dalam mengatur akses informasi.
Kita haru melihat hal tersebut dengan kacamata yang sangat kritis, terutama adalah kalau ini kewenangan penuh, dan kewenangan penuh ini tidak ada mekanisme kontrol diatasnya, maka yang ditakutkan adalah adanya praktik abuse of power yang lebih besar daripada pada masa Permenkominfo. Pada masa Permenkominfo, pemblokiran masih bisa di-challenge oleh sebagian kelompok, namun tidak sekarang.
Produk hukum mengenai penyensoran ini rohnya adalah UU Pornografi, dan oleh karena itu, untuk uji cobanya dilakukan terhadap pornografi terlebih dahulu. Tapi saya yakin bahwa ini akan diperluas seperti perjudian, produk obat-obatan diluar BPOM, terus diperluas lagi ke keamanan nasional, dan akan ditambahkan dan diperluas lagi menjadi hal apapun yang dapat diblokir aksesnya oleh pemerintah.
Kalau kita melihat dalam Permen yang dibatasi adalah konten negatif, ini bukanlah tentang konten negatif. Ini adalah tentang apa yang dianggap oleh pemerintah perlu untuk dibatasi, dan versinya hanya satu, yakni versi pemerintah. Dalam posisi ini, maka kalau kita hanya melihat dalam produk hukum Permenkominfo No. 19, maka akan lebih kecil ruang lingkup permasalahannya dibandingkan apabila kita membicarakan mengenai Pasal 40.
Baik Mas Damar, mungkin untuk awalnya kita bisa masuk ke Permenkominfo dulu, baru setelah itu bisa membahas isu yang lain pula. Bagaimana, Mas?
Oke baik kalau demikian. Terkait dengan Permenkominfo No. 19 tahun 2014, cara pembuatan Permen tersebut kurang elok. Beberapa organisasi masyarakat sipil datang diundang oleh Kemenkominfo untuk memberi review terhadap peraturan menteri tersebut. Tapi kehadiran masyarakat sipil, yang diwakili oleh AJI dan ICT Watch itu dipakai sebagai dalil bahwa sudah ada masyarakat sipil yang hadir dan dianggap telah menyetujui hasil dari forum tersebut.
Padahal dalam kehadiran itu, baik AJI ataupun ICT Watch merasa keberatan dengan adanya rencana peraturan menteri. Peraturan tersebut akhirnya diketok palu di akhir masa jabatan Tifatul Sembiring.
Narasi besar yang dibawa oleh koalisi masyarakat sipil adalah mengenai apa yang disebut dan dimaknai dengan negatif karena negatif itu secara hukum sangat karet. Itu narasi pertama, dan narasi kedua yang dibawa oleh masyarakat sipil adalah mekanismenya, dimana dianggap tidak transparan dan tidak ideal. Namun bukan berarti lantas masyarakat sipil tidak menginginkan adanya pembatasan atau larangan.
Larangan boleh-boleh saja asalkan mekanismenya transparan dan clear. Apa yang dimaksud dengan transparan dan clear? Yang dimaksud adalah yang pertama adalah alasan mengapa sebuah website diblokir. Hal tersebut dimaskudkan agar pemblokiran tersebut tidak hanya berdasarkan subjektivitas pemerintah semata.
Mekanisme transparansi, dimana ditunjukkan secara jelas di website mengenai website apa yang diblokir, sebabnya apa, dan yang meminta siapa merupakan mekanisme yang pertama. Yang kedua, yang didorong oleh teman-teman AJI dan ICJR serta LBH adalah mekanisme yang melibatkan penetapan pengadilan, dimana posisi SafeNet sepakat dengan AJI dan ICJR.
SafeNet sepakat dengan mekanisme tersebut bahwa ketetapan pengadilan merupakan hal yang sangat penting. Memang dibutuhkan menunggu waktu agak lebih lama, namun ketetapan hukumnya akan jelas karena diputuskan oleh hakim dan bukan oleh subjektivitas birokrat. Independensi hakim lebih dapat kita yakini dibandingkan dengan birokrat.
Pro konta tersebut lantas ditangkap oleh menteri baru Rudiantara, lantas Rudiantara menganggap bahwa yang dipermasalahkan adalah mekanisme yang kurang kredibel. Sebelum masuk ke hal tersebut, saya ingin menjelaskan mengenai praktik Trust+Positif. Daftar website yang dimasukkan ke Trust+Positif dilakukan secara manual dan oleh outsource, dimana semua yang diadukan ke pemerintah dimasukkan ke dalam daftar Trust+Positif tanpa di cek apakah website yang dimasukkan layak diblokir atau tidak.
Menteri Rudiantara lantas mengambil langkah bukan dengan membuat proses lebih transparan, namun hanya mamperbaiki mekanismenya saja, dimana ia membentuk panel blokir yang melibatkan empat cluster orang-orang terpilih yang ahli, yakni bidang terorisme dan SARA, bidang Investasi Ilegal, Penipuan, Perjudian, bidang Obat dan Makanan serta Narkoba, serta bidang Hak Kekayaan Intelektual, untuk memeriksa apakah website yang diadukan layak diblokir atau tidak.
Daftar website yang dimasukkan ke Trust+Positif akan disebarkan kepada penyedia jasa internet (internet service provider atau ISP) dan ISP harus memblokirnya dalam 3x 24 jam. Apabila ISP tidak juga memblokirnya maka izinnya akan dicabut oleh Kominfo.
Namun apakah lantas praktik tersebut menjadi lebih baik? Mari kita lihat. Pada tahun 2015 ada website Papua dan LGBT yang diblokir, akan tetapi kalau kita melihat berdasarkan empat bidang panel yang dibentuk Kominfo, Papua dan LGBT tidak masuk dari keempat kategori panel tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa praktiknya Permenkominfo tersebut sangat karet dan nantinya panel-panel apapun dapat ditambahkan. Ini baru 4, nanti bisa ditambah lagi LGBT, Papua, dan lain-lain. Intinya mekanismenya memang kacau. Belum lagi pemborosan biaya untuk membayar anggota panel tersebut baik untuk rapat dan lain-lain. Oleh karena itu, bagi kami bukannya mekanismenya menjadi membaik, namun malah membuat lebih buruk.
Lantas, kalau demikian adanya, menurut Mas Damar sendiri yang patut untuk diatur dan diregulasi oleh pemerintah itu hal yang seperti apa?
Kalau menurut saya ekspresi-ekpresi yang mengarah pada pengobaran perang dan kebencian harus dibatasi. Selain itu, ekspresi yang mengancam keamanan bangsa, serta ekspresi yang mendehumanisasi manusia harus dibatasi karena hal tersebut sangat merusak. Bila pemerintah berfokus untuk membatasi ekspresi-ekspresi yang demikian, maka hal tersebut dapat menyelamatkan banyak orang dari praktik persekusi.
Dan ekspresi kebencian yang dimaksudkan bukan pada ranah individu, seperti A membenci B, akan tetapi A mengarahkan orang lain untuk membenci B dan mengajak orang lain untuk mengeroyok dan memukuli B sampai dia tidak bernyawa lagi. Dan definisi tersebut sangat clear dan jelas.
Kembali kepada UU ITE yang dibahas di awal, Mas. Untuk kedepannya, apakah ada mekanisme pembatasan akses lain yang akan dilakukan atau mungkin digunakan oleh pemerintah?
Tentu saja ada, yakni dengan menggunakan DNS nasional. Analoginya adalah, bila ada sebuah gelas berisi air, dan airnya adalah konten di internet, sekarang ini pipa sedotan untuk mengakses air (konten internet) ada banyak, yakni bisa menggunakan jalur Indonesia (sedotan A), atau juga dengan menggunakan jalur luar negeri melalui VPN (sedotan B, C, D, dan sebagainya). Untuk saat ini, yang bisa diatur oleh pemerintah hanya bisa mengatur satu jalur saja, yakni jalur Indonesia (dalam hal ini adalah sedotan A) terkait konten apa yang bisa diakses melalui jalur tersebut.
Namun, bila pemerintah memberlakukan DNS nasional, maka yang dikontrol bukan lagi jalurnya (sedotannya), namun yang ditutup adalah lubang gelasnya, dan pemerintah menyatakan hanya ada boleh satu jalur (sedotan) yang boleh mengakses konten internet, yakni jalur Indonesia. Dan kalau pemerintah sudah memberlakukan DNS nasional, maka sudah tidak ada cara lain masyarakat dapat mengakses konten yang ditutup oleh pemerintah.
Menurut Mas Damar apakah kebijakan DNS Nasional dapat diterapkan oleh pemerintah secara cepat dan pada saat ini juga?
Secara teknis sangat bisa diberlakukan dengan cepat, namun akan muncul perselisihan karena sekarang kontrak jalur lain tersebut masih berjalan dan berlaku, dan apabila pemerintah menutup jalur tersebut sekarang, maka pemerintah akan mengalami tuntutan hukum. Akan tetapi, kalau kontrak tersebut selesai, maka suatu hari DNS nasional dapat segera berlaku.
Selain itu, kalau kita melihat ke luar negeri, sudah ada praktik lain yang jauh lebih buruk yang dilakukan oleh rezim-rezim negara lain, yakni internet shutdown. Hal tersebut dilakukan dalam periode tertentu seperti dalam masa pemilu, dan lain-lain. Tidak bisa dibayangkan apabila hal tersebut diperlakukan di Indonesia, karena akan mempengaruhi berbagai sektor ekonomi, terutama yang membutuhkan internet.
Pertanyaan terakhir, menurut Mas Damar, apakah hal yang paling mungkin yang bisa digunakan untuk memperluas kebebasan berekspresi serta kebebasan mengakses informasi di Indonesia?
SafeNet tidak seperti ICJR yang bisa melakukan litigasi hukum. SafeNet tidak bisa melakukan litigasi hukum, dan oleh karena itu, langkah-langkah yang dilakukan untuk memperluas akses informasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia adalah melalui langkah non-litigasi, seperti memperluas kampanye edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya kebebasan bereskpresi dan pentingnya kebebasan akses terhadap informasi.
Terima kasih banyak Mas Damar untuk waktunya.
Sama-sama, terima kasih juga sudah mewawancarai saya.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.