Intervensi Negara atas Urusan Ekonomi Adalah Sumber Korupsi

    406

    Pada puncak peringatan Hari Anti Korupsi 10 Desember 2015 lalu, Menko Polhukam Luhut B. Panjaitan telah membacakan pidato tertulis presiden Joko Widodo di gedung Sabuga, Bandung. Pidato tersebut berisi seruan untuk memerangi dan mengajak semua elemen masyarakat untuk melakukan tindakan preventif terhadap korupsi yang merajalela di negeri ini.

    Alinea pertama dari pidato tersebut berbunyi: “Kita melawan korupsi bukan hanya karena korupsi merugikan keuangan negara, tapi kita memberantas korupsi  karena korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi terbukti telah memiskinkan warga dunia, korupsi terbukti membawa ketidakadilan, ketimpangan, dan keterbelakangan, korupsi terbukti telah menjauhkan bangsa-bangsa di dunia dari kemakmuran bersama.”

    Ini jelas adalah himbauan yang positif dari pemerintah, namun di satu sisi  merupakan sikap yang begitu naif. Sebab, pemerintah mengabaikan penyebab utama yang sangat jelas di mana korupsi bisa terjadi. Apa penyebab utama itu?

    Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu melihat terlebih dahulu dua jenis korupsi yang biasanya ada dalam interaksi ekonomi, yaitu antara dua pelaku bisnis, business-to-business dan pelaku bisnis dengan pemerintah, business-to-government. Yang pertama, umumnya hanya memiliki efek dalam perusahan yang ada di bawah kedua pelaku bisnis tersebut. Pelaku di sini, diibaratkan seekor tikus yang menggerogoti keuntungan perusahaaan. Sebab, ia mengambil keuntungan tanpa memberikan keuntungan yang sepadan pada perusahaan. Korupsi dalam konteks ini biasanya berbentuk praktik-praktik suap untuk mempermudah jalannya proses bisnis, dan korupsi ini relatif tidak membahayakan bagi masyarakat.

    Namun, jenis korupsi yang kedua berbeda. Sebab, Ini berkaitan dengan keuntungan pribadi, dan pada saat yang sama, mengorbankan perusahaan pesaing dan masyarakat luas. Jenis korupsi inilah yang menguras tenaga pemerintah kita, bahkan menelan biaya yang tidak sedikit. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kerap menangani jenis korupsi ini. Oleh sebab itu, jenis yang ke dua inilah yang menjadi fokus tulisan saya di sini.

    Pertanyaannya kemudian, apakah upaya-upaya pemerintah tersebut ampuh dan menunjukan hasil yang diharapkan? Jika melihat fakta, upaya-upaya tersebut bisa dikatakan gagal. Satu hal yang dilupakan oleh pemerintah kita dan banyak orang bahwa korupsi jenis ini disebabkan oleh intervensi pemerintah secara berlebihan dalam wilayah ekonomi. Bagaimana ini bisa dijelaskan?

    Ekonom Yale, Susan Rose-Ackerman, adalah ekonom yang menulis studi tentang ekonomi korupsi ini. Ia mencurahkan 10 dari 11 bab untuk menganalisis korupsi pemerintah. Di dalam satu babnya tentang korupsi swasta, banyak contoh yang dia kutip melibatkan beberapa peraturan pemerintah. Ludwig von Mises bahkan lebih lantang mengatakan bahwa korupsi semacam ini bukanlah akar permasalahan ekonomi dan sosial kita. Ia hanya efek dari intervensi pemerintah dalam ekonomi. Oleh karena itu, ada korelasi antara tingkat kontrol pemerintah terhadap ekonomi dengan tingkat korupsi.

    Pandangan di atas tentunya relevan jika dikaitkan dengan tingkat korupsi yang ada di Indonesia, yang dari dulu melibatkan sekian banyak pejabat negara dengan kasus-kasus tertentu, baik itu dalam bentuk suap maupun penggelapan anggaran pembangunan. Fakta ini dan fakta KPK yang terus mengungkap kasus korupsi dari hari ke hari, membuat saya percaya bahwa pemerintah kita perlu mengingatkan diri terhadap tingkat keterlibatannya dalam keputusan ekonomi. Ini sebenarnya soal sederhana dan bisa dijelaskan, mengingat kasus korupsi yang marak terajadi akhir-akhir ini adalah korupsi suap.

    Kondisi yang diperlukan pertama-tama untuk melakukan korupsi sebenarnya adalah kondisi di mana seseorang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan bagi orang lain. Ini jelas tentang  hubungan pemerintah dengan warganya, antara yang memberikan izin dan yang meminta izin. Alasan mengapa begitu banyak korupsi terjadi di pemerintahan, adalah karena pemerintah terlibat pada begitu banyak urusan  dan keputusan ekonomi, seperti bentuk subsidi, potongan pajak, dan peraturan-peraturan lainnya.

    Jika anda misalnya memerlukan izin dari pemerintah untuk membangun sebuah tempat usaha dan anda mempunyai masalah perizinan atau kepentingan tertentu,  muncul dorongan untuk menyogok seorang pejabat, dan dia pun memiliki alasan untuk menerimanya. Mengapa kasus semacam ini sering terjadi? Perlu kita ingat, pemerintah hanyalah sebuah abstraksi, namun pejabat yang memberikan izin adalah manusia yang hidup dengan keinginannya sendiri. Terlepas apakah pejabat itu jujur atau tidak, selama kondisi yang mendorongnya untuk melakukan korupsi begitu kuat, ia akan melakukannya. Ia merupakan bagian yang beroperasi dalam keseluruhan kekuasaan, yaitu kekuasaan terhadap keputusan ekonomi. Kekuasaanlah yang membuka kesempatan yang begitu luas baginya untuk mencuri.

    Jadi, jika kontrol dan kekuasaan pemerintah menghasilkan korupsi, satu hal yang tidak akan mengurangi korupsi adalah kontrol pemerintah yang lebih besar. Bagi negara manapun, jalan keluar yang paling jelas dari korupsi adalah mengurangi skala dan ruang lingkup pemerintahan. Untuk menghilangkan penyuapan petugas bea cukai, hilangkan batasan impor; untuk mengurangi ketertarikan pemerintah dalam memberikan hibah, kurangi pemberian pemberian dana pemerintah.

    Jika pemerintah kita benar-benar serius untuk mengurangi korupsi pemerintah, mereka harus mempertanyakan pandangan mereka sendiri mengenai peningkatan kontrol terhadap ekonomi. Penyembuhan yang pasti untuk korupsi adalah mengurangi atau bahkan menghilangkan kekuasaan politik resmi atas ekonomi. Seperti kata TJ Brown, “If you want politics to be less corrupt, the solution isn’t to shrink corruption. It’s to shrink the state.”

    Tidak ada gunanya terus mengutuk para koruptor dan mengabaikan fakta ini. Negara “korup” sederhanannya beroperasi dengan cara transfer kekayaan yang berasal dari aktivitas produktif masyarakat. Fungsi sosial negara adalah memindahkan kekayaan dari satu kantong ke kantong lainnya. Dan dalam siklus resiprokal inilah, korupsi dimungkinkan.