Tahun 1848, adalah masa pemberontakan dan protes massal di benua Eropa. Saat itu juga merupakan tahun di saat Karl Marx dan Friedrich Engels menulis karya revolusioner mereka, The Communist Manifesto. Hantu komunis membayangi Eropa dan juga isme-isme lainnya: Fourierisme, Owenisme, Saint-Simonisme, dan transendentalisme. Ada juga, sosialisme utopian, sosialisme revolusioner, dan sosialisme nasionalis. Isme-isme ini tumbuh sebagai reaksi terhadap transformasi cepat terhadap pertanian di dunia industrial.
Di tahun yang sama, filsuf sekaligus ekonom, John Stuart Mill, muncul dengan gagasannya dan memiliki pengaruh di seluruh dunia. Magnum Opus-nya, Principles of Political Economy, telah mendominasi pemikiran Barat selama setengah abad dan diterbitkan sampai edisi ke-32. Dalam buku inilah Mill membuka jalan ke arah sosialisme yang sekaligus mebuat ekonom Austria dan penggemar Mill, Friedrich Hayek, angkat bicara: “saya secara pribadi percaya bahwa alasan yang membuat intelektual masuk ke sosialisme adalah karena seorang lelaki yang dianggap sebagai pahlawan liberalisme, John Stuart Mill”. Dengan alasan ini, akan aneh jika masih ada seorang libertarian yang mengidolakan Mill sebagai tokoh liberal yang sejati.
Dalam buku ini, Mill ingin menunjukkan bahwa hukum produksi ditetapkan secara objektif namun hukum distribusi adalah variabel. “Distribusi kekayaan adalah soal institusi manusia semata. Institusi ini bisa didirikan oleh siapa saja yang menghendakinya dan bisa menggunakan istilah apa saja.” Seperti yang dikatakan Skousen, buku teks Mill benar-benar bersifat Ricardian, dengan memfokuskan pada pendapatan, bukan pertumbuhan.
John Stuart Mill adalah cendekiawan besar, salah satu tokoh liberal klasik, dan pendukung aliran ekonomi klasik. Buku tipisnya, On Liberty, merupakan karya klasik filsafat yang membahas tentang individualitas manusia yang secara fasih, paling signifikan dan paling berpengaruh. JS Mill juga mendorong kebebasan individu dan pembela hukum pasar Jean Baptise Say yang merupakan landasan makro ekonomi klasik.
Tapi Mill juga dikenal memiliki sikap yang tidak konsisten. Di satu sisi, ia membela kebebasan berusaha, tapi di sisi lain, ia mengaku sosialis. Dia bahkan dikatakan bersrlingkuh dengan sosialisme sepanjang karirnya. Bukan hanya itu, pengaruh utilitarian Bentham membuat dirinya mendesak pemerintah untuk campur tangan dalam perekonomian. Mari kita lihat bagaimana Mill seperti yang dikatakan Hayek, membuka jalan untuk masuknya kaum intelektual dalam sosialisme.
Mill mengikuti jejak Ricardo dalam memisahkan prinsip distribusi dari hukum produksi, seperti yang dikemukakan sebelumnya. Kutipan terkenalnya mengenai prinsip ini terdapat dalam buku II berjudul “Distribution”:
“Hukum syarat-syarat produksi kekayaan berasal dari kebenaran fisika. Tidak ada hal opsional atau arbitrer di dalamya. Tetapi distribusi adalah soal lain. Distribusi kekayaan adalah hal yang berbeda. Ini adalah soal institusi manusia semata. Setelah hal itu ada, manusia, baik secara individu atau kolektif, dapat berbuat semaunya. Mereka bisa menempatkannya untuk melayani siapa saja yang mereka kehendaki, atau dengan syarat apa saja. Distrubusi kekayaan tergantung pada hukum dan adat masyarakat.”
Sebagaimana dikatakan Hayek, Gagasan Mill inilah yang membuat para intelektual mendukung semua jenis serangan terhadap properti dan kekayaan, dan mendukung pajak dan skema penyitaan yang ditujukan untuk pendistribusian ulang kekayaan dan pendapatan. Menurut David Boaz, mereka menganggap bahwa skema radikal semacam ini tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Mill memengaruhi para intelektual mulai dari H.G Wells smpai Webbs dan pemikir sosialis sedemikian rupa sehingga Sir William Harcourt, wakil bendahara negara, pada tahun1898 mengatakan, “kita sekarang semua sosialis”. Perlu waktu bertahun-tahun bagi para ekonom aliran marginal untuk menantang kaum distribusionis dengan mengajukan argumen bahwa teori distribusi tidak bisa dipisahkan dari teori produksi.
Tanpa harus melebih-lebihkan, pemerintah Indonesia hari ini secara tidak langsung menjalankan skema Mill ini. Dengan dalih pemerataan, kesenjangan sosial, keadilan sosial, tanggung jawab sosial, pemerintah megeluarkan kebijakan-kebijakan yang pada akhirnya menguras dompet para wajib pajak. Mereka mengikuti prinsip Ricardian, yang nyaris hanya terus fokus pada pendapatan, bukan pertumbuhan.Dari titik berangkat inilah, Mill mulai menunjukkan keberpihakannya kepada sosialisme dan kebaikan dari sosialisme. Dia keberatan dengan kapitalisme dan merasa bahwa properti pribadi tidak selalu diperoleh secara adil atau layak.
Jenis sosialisme yang hadir dalam sejarah dikenal ada tiga: pertama, sosialisme utopian; kedua, sosialisme revolusioner; dan ketiga sosialisme fasis. Di antara tiga jenis sosialisme ini, Mill terinspirasi dengan sosialisme jenis pertama, sosialisme utopian, yang pernah dikembangkan oleh Robert Owen, Saint-Simon, dan Fourier, yang semuanya gagal di tengah jalan. Berbeda dengan sosialisme revolusioner dan fasis, menurut Mill, sosialisme ini mengandung kebebasan dan tanpa kekerasan, dan ia beroperasi dalam skala kecil. Dan inilah sosialisme yang dimaksudkannya, semacam komunitarianisme utopian.
Mill tidak sadar bahwa desa komunitarian sukarela yang ia harapkan tetap mengandung cacat dan tidak bertahan lama. New Harmony, Modern Times, United Order–mereka semua sangat terkenal. Tapi pada akhirnya mereka semua bubar sebagai akibat dari kemalasan, utang, dan kecurangan.
Organisasi sejenis yang paling bertahan lama, seperti yang didukung Mill, adalah kibbutzin di Israel yang berdiri sejak awal abad 20. Kibbutz biasanya beranggotakan kurang dari 300 orang, yang hidup dan memaki properti bersama-sama. Semua properti adalah milik kibbutz. Tapi pada era 1990-an, kibbutzim mulai merosot ditandai dengan utang yang banyak, kekacauan internal, dan perginya generasi muda mencari peluang yang lebih baik di dunia luar. Ezra Dalomi, salah seorang anggota Kibbutz, pada tahun 1999 menulis: “akhir sudah dekat. Tahun depan gerakan Kibbutz akan merayakan ulang tahunnya, tapi mungkin umur gerakan ini tidak akan sampai seratus tahun.”
Perjuangan akan masyarakat utopian begitu panjang tapi dengan keberhasilan yang sangat singkat. Mengapa? Ilmu ekonomi dari dulu sudah menjelaskannya dengan elegan bahwa dalam sebuah lingkungan yang mana sumber dayanya jarang dan kebutuhannya tidak terbatas, kompetisi menjadi tak terhindarkan. Institusi harus memberikan insentif untuk mendorong ekspansi sumber daya dan mengurangi permintaan tak terbatas itu.
Hak milik dan sistem pasar bebas menyediakan insentif yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut; sistem sosialis yang abai terhadap hak kepemilikan dan tidak peduli kepada harga sebagai signal insentif yang paling representatif. Masyarakat sosialis yang mengadopsi prinsip “masing-masing mendapatkan sesuai kemampuannya dan sesuai kebutuhannya” sesungguhnya mengadopsi sistem pajak marginal 100 persen. Sulit mempertahankan masyarakat utopian di bawah beban yang sedemikian berat ini.

Hendra Mangopa adalah anggota yang aktif di lingkaran Mises Club Indonesia dan penggiat di Amagi Indonesia, Organisasi Non Pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme, ingin membawa tradisi pemikiran Mazhab Austria ke dalam perbincangan ekonomi kita saat ini. Upaya Amagi diawali dengan pembukaan lingkaran studi bernama Mises Club Indonesia yang berpusat di Manado, Sulawesi Utara.