Pada tahun 1973, The American Psychiantric Association (APA) mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental (DSM). Di tahun 1975, langkah progresif ini kemudian diikuti oleh American Psychological Association (APA) dan The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat.
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi kita bahwa sejak dulu, homoseksualitas, lesbian, gay, dan sebagainya dianggap penyakit mental yang hampir sebagian besar tidak bisa diobati, merepotkan, menjengkelkan, dan banyak dikecam di beberapa belahan dunia. Tak jarang banyak masyarakat yang masih konservatif beranggapan bahwa LGBT adalah penyakit gila, mental disorder aneh, jijik, inheren dengan kutukan, hukuman dari tuhan, bahkan tiba-tiba disandingkan dengan penjahat kriminal.
Isu-isu LGBT di Indonesia sudah berdengung lama dalam frekuensi yang tidak sedikit. Entah itu dibalut dalam kemasan politik seperti pemilu tahun 2019 ini yang belum lama dilaksanakan. Pada pemilu tahun ini, isu LGBT turut menjadi jargon-jargon politik yang digunakan dalam pertarungan demokrasi.
Semenjak penguatan politik identitas di Indonesia, segregasi sosial pada kaum LGBT yang dianggap menyimpang juga ramai digaungkan dalam kurun beberapa tahun yang lalu. Kebencian dan ancaman bagi LGBT semakin memilukan dan aksi-aksi penolakan marak terjadi. Dari penutupan tempat hiburan gay, penggebrekan hingga pelarangan terkait aktivitas LGBT di ruang-ruang akademis. Ruang aman bagi kaum LGBT semakin terbatas.
Restriksi-restriksi yang kerap ditemui antara kaum sosial yang dianggap “normal” dan “menyimpang” antara lain : aglomerasi pemukiman pada titik-titik tertentu dan queer space (umbrella-term untuk LGBT+).
Di Yogyakarta misalnya, komunitas transpuan mudah dijumpai karena biasanya mereka menetap pada satu tempat yang sama. Hal ini dikarenakan sangat sedikitnya masyarakat yang mau menerima mereka. Aglomerasi ini tanpa sadar memunculkan inovasi nama baru, seperti kampung waria, markas gay, dan masih banyak lagi berbagai nama yang takut menunjukkan diri.
Semua ini dikarenakan narasi arus utama yang lebih condong menakdirkan neraka bagi LGBT. Menurut sejarawan Yuval Noah Harari, insting penggiringan opini ini berhubungan dengan kodrat manusia sebagai sapiens. Kita dapat membentuk sebuah kesatuan, sebuah jaringan, dan di dalamnya sekumpulan orang asing mampu bekerja sama secara efektif atas suatu label, nama, atau imajinasi kolektif yang sama.
Kisah-kisah apik dari penjelasan di atas dapat disebut sebagai akibat dari cara kerja kooperasi massa yang mengandalkan stimulus, pangeran, serta nalar. Tentu sudah rahasia umum bahwa Indonesia memiliki sejarah aksi massa yang sangat banyak dan bisa dikatakan semuanya berpengaruh.
Reaksi dan emosi manusia dapat diprediksi. Umumnya, kita sudah mengenal gender seperti sediakala. Bila kita melihat ada sepasang kekasih dengan satu gender berciuman dan berpelukan, mungkin di awal kita merasa jijik atau aneh. Namun, ketika ada beberapa orang yang mengindoktrinasi kita dengan propaganda anti-LBGT, maka kita akan semakin yakin bahwa hal yang dilakukan sepasang kekasih itu salah.
Hal ini disebut sebagai domino effect dalam propaganda, yang merupakan bentuk dari taktik kami vs mereka yang kerap digunakan dalam pertarungan politik. Di Indonesia, isu LGBT dapat dikatakan melawan stimulus agama. Berhubung Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, maka wajarlah bila tak sedikit warga Indonesia menolak keras LGBT karena tidak sesuai ajaran agamanya.
Salah satu penyebab utama dari penyebaran kebencian pada LGBT di Indonesia adalah efek penularan atau penjangkitan. Inilah efek yang dimiliki seorang individu dalam kelompok terhadap anggota lain di kelompok yang sama. Penularan emosi atau gairah tersebut dapat meluas dalam skala yang besar.
Konsen saya saat ini bukan sebagai pembela hak LGBT, transpuan, minoritas, atau apapun itu. Saya hanya percaya pada hak kebebasan individu. Bila saya merasa iba pada LGBT yang tertindas pun hanya karena saya memandang kaum LGBT juga seorang individu yang seharusnya tidak diatur urusan privatnya.
Individu-individu dalam kerumunan didorong oleh insting primal yang kuat. Menurut Freud, insting primal terbenam apabila individu berada dalam isolasi. Namun, dalam kerumunan, ia sanggup mengubah individu yang biasanya tenang menjadi brutal dan tak terkendali. Dalam kerumunan, manusia mampu menjadi makhluk impulsif, intoleran, dan bertendensi untuk melakukan hal-hal ekstrem.
Akhir kata, benar dan salah itu subjektif. Coba anda teriak “Homoseksualitas itu wajar!” di dalam sebuah masjid di pelosok Madura sana. Apa responnya akan sama ketika anda bicara hal serupa di pride parade di US sana?

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.