Sebagai penggemar berat series, aplikasi Netflix kerap berlalu-lalang di halaman gawai yang saya miliki. Pada saat jam-jam menuju tahun baru, saya melewatinya bersama serial The Witcher.
Baru-baru ini, yang menarik perhatian saya adalah keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia. Netflix dan Kemendikbud bekerja sama dalam rangka menumbuhkan laju industri perfilman Indonesia. Tentu, keputusan ini tak lepas dari pro-kontra yang timbul dari berbagai pihak (Kompas.com/10/01/2020).
Sejak awal kehadirannya tahun 2016, Netflix terus mendapat tantangan dalam mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Salah satunya adalah pemblokiran oleh Telkom. Padahal, kehadirannya saat itu disambut gegap gempita oleh semua kalangan masyarakat, termasuk saya yang bosan dengan sinetron bertema azab. Huh, pathetic memang.
Alasan Telkom menjegal Netflix membuat penggunanya mendengus sebal karena tidak dapat menerima layanan tersebut. Telkom beralasan Netflix belum mempunyai regulasi yang jelas untuk beredar di Indonesia. Dan yang paling menggelikannya, konten-konten dalam Netflix berbau pornografi sehingga dianggap tidak sejalan dengan budaya Indonesia.
Menurut saya, justru kehadiran Netflix dapat meningkatkan peluang bagi penyedia internet untuk sama-sama menggaet platform streaming tersebut. Hal ini dikarenakan Netflix membutuhkan jaringan internet untuk mengakses layanannya. Penyedia operator internet diuntungkan, layanan Netflix diuntungkan, sama-sama simbiosis yang menjanjikan.
Tak sampai di situ saja, Netflix juga sempat dikecam akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) oleh Kementerian Keuangan. Kebijakan tersebut dikaji karena Netflix dianggap memberi transaksi jual beli jasa dan tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia (Tirto.id/10/01/2020).
Lagi-lagi, regulasi ekonomi yang terlalu ketat dan penuh lisensi dijalankan dengan sangat tidak efektif. Jika begini terus, badan usaha lain yang ingin memulai bisnisnya akan kesulitan karena regulasi yang jelas merugikan produsen maupun konsumen.
Biaya untuk lisensi menaikkan harga untuk konsumen. Pekerja yang tidak dapat memperoleh lisensi tersebut juga dipersulit karena dianggap low-skilled tidak dapat memenuhi standar.
Selain itu, dalam beberapa kasus, pebisnis besar dapat mencari celah monopoli untuk industri tertentu lewat regulasi pemerintah untuk industri tertentu lewat regulasi pemerintah. Entah dengan membangun batasan untuk memasuki suatu industri atau membuat rival baru sulit bersaing melalui sertfikasi atau kompetensi tertentu.
Hal-hal di atas yang sudah saya sebutkan tentu saja berakibat buruk untuk kompetisi di pasar. Alur pasar yang tadinya sehat-sehat saja berubah menjadi kacau. Kalau sudah begini, kapitalisme menjadi “kambing hitam” pemerintah terkait protes mengenai rakyat miskin yang semakin menderita.
Netflix merupakan layanan on-demand yang memungkinkan orang untuk memilih untuk berlangganan dan memutuskan apa, di mana, dan kapan untuk menonton. Netflix menolak untuk mengajukan izin dengan cara yang sama seperti jaringan kabel konvensional karena mereka mengganggap produk yang mereka buat tidak sama seperti produk tradisional sebelumnya.
Kembali lagi pada hubungan timbal balik konsumen-produsen. Jasa yang mau disediakan, inovasi yang ditawarkan, semuanya bergantung pada bagaimana cara produsen mengolahnya. Apa yang mau ditonton, resiko akibat tontonan yang dipilih, biaya yang ditanggung untuk jasa yang diinginkan, kembali lagi tergantung masing-masing individu yang mengonsumsinya.
Sama seperti kasus Netflix, IndoXXI yang diblokir Pemerintah Indonesia menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Sudah dengan alasan yang jelas bahwa pemerintah ingin dunia perindustrian film tetap sehat tanpa adanya situs-situs ilegal yang berdampak pada kerugian produsen. Namun, sebagian besar masyarakat tetap menyayangkan keputusan pemerintah tersebut.
Kenapa banyak yang tidak suka negara memblokir IndoXXI? Karena negara sama saja dengan merusak pasar. BUMN memblokir Netflix, padahal sangat banyak film atau serial yang tidak masuk di Indonesia. Film Indonesia sendiri masih banyak yang diboikot, dilarang tayang atau baru sebentar tayang sudah dihapus di bioskop.
Saya mendukung negara ingin mendorong industri film dengan melakukan pemblokiran terhadap situs ilegal. Tetapi sayangnya, implementasi usaha tersebut tidak dibarengi dengan pemberian kebebasan terhadap penayangan film-film tertentu dan akses terhadap platform legal seperti Netflix.
Langkah Nadiem Makarim seolah menjadi anti-klimaks penjagalan demi penjagalan yang selama ini menjadi batu sandungan bagi dunia perfilman Indonesia. Keputusan ini pun mendapat dukungan dari banyak warganet usai Netflix mengumumkan persetujuan atas kerjasama ini.
Coba negara lebih fokus membuat ini semua lebih terbuka dan aktif bernegosiasi bagaimana caranya semua akses film dan series bisa dijangkau dalam Indonesia. Contohnya seperti pemerataan infrastruktur (bioskop) di daerah-daerah terpencil diimbangi dengan tersedianya akses legal (Netflix, Iflix, dan sebagainya).
Sumber:
https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/10/21404851/dirjen-kebudayaan-kemitraan-kemendikbud-dan-netflix-bukan-bisnis
https://tirto.id/netflix-diblokir-telkom-diburu-sri-mulyani-dirangkul-nadiem-erBJ

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.