Suara Kebebasan, Jakarta – Indonesia menempati peringkat ketujuh dalam Indeks Kapitalisme Kroni 2016 yang diterbitkan oleh The Economist minggu lalu. Indeks ini mengukur tren rent-seeking dalam suatu negara untuk menentukan seberapa bergantungnya sistem ekonomi negara terhadap kedekatan pengusaha dan oknum pemerintah. Walau peringkat Indonesia naik dibanding tahun 2014, namun persentase global menurun. Penurunan ini, menurut The Economist, disebabkan oleh harga komoditas yang terjun bebas di pasar dunia dan kerasnya kritik kelas menengah menentang kolusi.
Forbes menyebut Indeks Kapitalisme Kroni sebagai daftar peringkat ekonomi yang pantang dinobatkan sebagai pemenang. Tahun ini, Indonesia ada di peringkat ketujuh, di atas Taiwan dan India yang sebelumnya melampaui Indonesia. Negara berkembang lain seperti Thailand, Brazil dan Argentina juga berada di bawah Indonesia. Peringkat ini naik tiga tingkat dibandingkan indeks yang sama tahun 2014. Dua tahun yang lalu, Indonesia berada pada peringkat kesepuluh, di bawah India, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Singapura.
Indeks Kapitalisme Kroni dihasilkan oleh The Economist pertama kali pada tahun 2014 untuk mengecek apakah benar para rent-seeker sudah tak terkendali dan seberapa besar pengaruhnya terhadap sistem ekonomi negara. The Economist mencium korelasi antara meledaknya kekayaan para taipan bisnis dalam bidang yang berkaitan erat dengan pemerintahan, dan regulasi-regulasi pemerintah seperti privatisasi dan pajak.
Rent-seeker dalam ekonomi adalah orang-orang yang mengambil bagian kekayaan lebih besar tanpa menambah total kekayaan rata-rata suatu masyarakat. Dengan kata lain, mengambil potongan kue lebih besar tanpa memperbesar kue itu sendiri. Rent-seeker mencoba mengambil jatah kekayaan lebih besar tanpa memproduksi barang, jasa dan pelanggan yang lebih banyak.
Rent-seeking berkaitan erat dengan kedekatan pengusaha dan pemerintah. Praktek-praktek yang termasuk rent-seeking termasuk membentuk kartel untuk menaikkan harga, melobi pemerintah demi keringanan pajak, pengeluaran negara, dan kebijakan regulatif yang bersahabat bagi sektor bisnis tertentu.
Perkembangan persentase kekayaan para taipan bisnis dalam sektor-sektor yang berhubungan erat dengan pemerintahan meningkat dua kali lipat, dan kekayaannya sendiri meningkat 385 persen dari tahun 2000-2014, tak peduli baik perkembangan ekonomi negara naik, tetap maupun turun. Jumlah kekayaan ini setara dengan 4 persen GDP (Gross Domestic Product) dibandingkan dengan 2 persen pada tahun 2000. 43 persen kekayaan dunia berasal dari negara berkembang, namun 65 persennya merupakan kekayaan taipan bisnis kroni. Di negara berkembang, kekayaan taipan bisnis yang berasal dari industri berkecenderungan rent-seeking mencapai 75 persen dibandingkan dengan kekayaan seluruh pengusaha.
Dalam menghasilkan indeks ini, The Economist, bekerjasama dengan Ruchir Sharma dari Morgan Stanley Investment Management, Aditi Gandhi dan Michael Walton dari New Delhi’s Centre for Policy Research, menggunakan data taipan bisnis dunia yang dikeluarkan Forbes, yaitu peringkat orang terkaya di dunia, untuk mengkalkulasi total kekayaan pengusaha dunia, memisahkan dan mengkalkulasi total kekayaan taipan bisnis kroni dan membandingkannya dengan total GDP negara dan total GDP dunia.
Penelitian dilakukan terhadap lima negara maju terbesar, sepuluh negara berkembang dengan data yang lumayan lengkap, dan delapan negara kecil dimana kroni dinilai sebagai masalah besar. Daftar ini menciut menjadi dua puluh dua negara ketika Hong Kong bersatu kembali dengan China.
Sedangkan industri-industri yang dinilai kroni atau berhubungan erat dengan transaksi antara pengusaha dan pemerintah, antara lain: kasino; batubara, minyak sawit, tembaga; pertahanan; bank penerima deposito dan bank investasi; infrastruktur, pipa kilang minyak dan saluran air; minyak tambang, gas bumi, bahan kimia dan energi; pelabuhan dan airports; properti dan konstruksi; baja, metal, tambang dan komoditas; serta telekomunikasi. Industri-industri ini bergantung pada lisensi yang dikeluarkan pemerintah dan kebijakan regulatif, karenanya rentan terhadap monopoli dan lobi. Daftar ini dipertimbangkan berdasarkan data Transparancy International.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menilai banyaknya taipan bisnis kroni di Indonesia, bisa dilihat dari tingginya peringkat Indonesia dalam Indeks Kroni Kapitalisme 2016, disebabkan oleh sistem pajak yang lemah.
Sedangkan di ajang global, terjadi penurunan. Kekayaan taipan bisnis kroni menyusut hingga 1,75 triliun USD atau jatuh 14 persen sejak tahun 2014. Di negara berkembang, angka ini turun hingga 4 persen jumlah GDP setelah melalui puncaknya di 7 persen pada tahun 2008. Dan persentase kekayaan pengusaha bergeser dari industri kroni ke sektor yang lebih bersih seperti barang konsumsi pasar.
Penyusutan ini dinilai The Economist, disebabkan oleh jatuhnya nilai komoditas dan perlawanan anti-kolusi.
Harga komoditas melantai dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan China, merembet ke pasar sumber daya alam di Brazil dan Indonesia, memotong nilai tambang, baja, dan konsesi minyak. Mengakibatkan mata uang dan saham negara berkembang jatuh. Kejatuhan ini terutama terjadi pada sektor-sektor bisnis kroni, memangkas kekayaan para taipan. Fiasco lonjakan komoditas juga mulai terasa pada sektor properti, aset manajemen, serta institusi politik dan hukum.
Sebab lainnya adalah adanya tekanan dari kelas menengah yang pada akhirnya merubah regulasi negara ke arah anti-kolusi. Pemerintah baru India dan terpilihnya Arvind Kejriwal di Delhi misalnya, mengkampanyekan kebijakan anti-korupsi. Besarnya tekanan masyarakat terhadap bank-bank yang menggelontorkan pinjaman berlipat dengan bunga ringan kepada sektor kroni, memukul keras taipan bisnis India mengakibatkan India turun menjadi 3 persen, setara dengan Australia. Masyarakat Brazil turun ke jalan memprotes isu suap. Terungkapnya penipuan global oleh Dana Investasi Negara Malaysia, kampanye presidensial Rodrigo Duterte, kandidat yang keras terhadap isu korupsi, di FIlipina. Terakhir, munculnya Panama Papers banyak mempengaruhi jatuhnya kekayaan taipan bisnis Kroni. (DE)