Indonesia Lebih Membutuhkan Pembangunan, Bukan Pemerataan Kemiskinan

2231

Menjadi selalu mengkhawatirkan ketika penguasa, atau pemimpin, dari suatu tempat berhasil mendapatkan diagn

osis dasar yang salah, yang menurut saya sedang terjadi di sini dengan Presiden Jokowi di Indonesia.

Dia mengatakan bahwa negara membutuhkan distribusi kekayaan yang lebih adil ketika itu bukan masalah sama sekali, sebaliknya, tidak ada cukup kekayaan untuk didistribusikan. Jadi perhatian harus diberikan pada penciptaan lebih banyak kekayaan daripada mendistribusikan jumlah yang tidak memadai yang tersedia saat ini.

Sangat mungkin bahwa pada titik tertentu ketidaksetaraan menjadi masalah yang lebih besar tetapi saya sangat meragukan bahwa ini saat di Indonesia  belum menjadi problema :

Presiden Indonesia pada hari Rabu (red. Pidato Kenegaraan tahun 2018) berjanji distribusi yang lebih adil dari kekayaan bangsa dan berkomitmen kembali untuk melindungi keragaman, setelah bulan-bulan terakhir ini bergejolak, yang mana reputasi negara untuk toleransi dirongrong oleh ketegangan agama dan serangan terhadap minoritas.

Masalahnya terletak pada distribusi kekayaan yang saat ini  ada, meskipun banyak yang ingin mengklaim, efek negatif terciptanya lebih banyak kekayaan/pertumbuhan. Dengan demikian, kita perlu memutuskan apakah masalah sebenarnya adalah ketidaksetaraan (inekualitas), atau kemiskinan.

Jika kemiskinan secara keseluruhan maka kita harus mengubah kaidahnya menuju penciptaan kekayaan menjadi lebih banyak, dengan apa boleh buat, mengorbankan ketidaksetaraan itu. Jika ketidaksetaraan adalah masalah yang lebih besar maka menjadi sebaliknya.

Bagi anda masalah yang lebih besar sampai batas tertentu masalah selera tentu saja, tetapi dengan  Pendapatan Domestik Bruto (PDB) PDB per kapita di PPP   yakni sekitar $ 11.000 saya masih akan memilih kemiskinan menjadi masalah lebih besar

Dalam pidato kedua, pidato kenegaraan, Joko Widodo mengatakan fokus pemerintahannya tahun ini untuk memastikan bahwa manfaat dari pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dalam beberapa tahun terakhir, harus dirasakan oleh semua orang.

Ya, tapi kita tahu dua hal tentang interaksi ketidaksetaraan dan pertumbuhan ekonomi. Yang pertama adalah beberapa ketidaksetaraan meningkatkan pertumbuhan – tidak ada gunanya berjuang untuk maju, jika imbalannya sama antara yang kerja dengan tidak berjuang , dan lebih jauh bahwa pertumbuhan itu sendiri menciptakan ketidaksetaraan.

Sekali lagi perihal keseimbangan itu, yang mana kita lebih peduli, ketidaksamaan atau kemiskinan yang terus bertumbuh? Dalam pandangan saya, seperti di atas, bahwa kemiskinan harus disingkirkan terlebih dahulu, lalu ketidaksetaraan. Yang membutuhkan konsentrasi pertumbuhan sampai kemudian bahwa tahap tertentu ekonomi Indonesia kemiskinan menjadi langka.

Indonesia saat ini tentang di mana AS berada di  era tahun 1930-an, 1940-an , saya cenderung berpikir bahwa orang miskin Amerika telah melakukan lebih baik dari pertumbuhan ekonomi secara umum sejak saat itu, dari apa pun yang telah dilakukan untuk mengurangi ketidaksetaraan. Tentu saja orang Amerika dewasa ini hidup lebih baik daripada kelas menengah Indonesia saat ini.

Banyak dari ini, seperti yang saya katakan, masalah selera. Tapi kesetaraan ini suatu kesalahan:

Presiden Jokowi juga menyoroti keinginan pemerintah untuk memastikan bahwa orang Papua yang tinggal di pegunungan dapat memanfaatkan harga bahan bakar dan barang kebutuhan pokok yang sama dengan rekan mereka di daerah lain di Indonesia

Jika bahan bakar dan bahan pokok lainnya lebih mahal untuk naik ke gunung, maka bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya harus lebih mahal di pegunungan.

Ada ketegangan antara menginginkan kesetaraan yang lebih besar dan beban tambahan untuk pertumbuhan PDB, demikian pula denganpenghapusan kemiskinan. Soal selera, ya, tapi saya akan bilang Indonesia harus tetap mengejar pertumbuhan, bukan melakukan redistribusi untuk menciptakan kesetaraan.

 

Artikel pertama kali muncul di: https://www.forbes.com/sites/timworstall/2017/08/16/jokowi-widodo-is-in-error-here-its-more-development-indonesia-needs-not-equality-of-poverty/#17545e824e80  kami berterima kasih kepada penulis yang telah memberi izin sindikasi

 

—- **** —

Tim Worstall adalah fellow di Adam Smith Institute in London, sebagai penulis di pelbagai media dan Ia juga expert global Metal Scandium, material langka di bumi.