Implementasi Pendidikan dan Budaya Demokratis di dalam Pendidikan

    524
    Sumber: https://www.reuters.com/world/the-great-reboot/defying-delta-back-school-goes-better-than-feared-2021-09-28/

    Pendidikan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. Pendidikan dapat mengembangkan potensi seseorang sampai pada tingkat optimal dalam batas hakikat individu, dengan tujuan supaya tiap manusia bisa turut serta dalam pengembangan kapabilitas manusia dan masyarakatnya hingga mencapai martabat kehidupan yang lebih tinggi. Indonesia termasuk negara yang sudah menyadari urgensi pendidikan bagi seluruh kalangan masyarakat.

    Diawali dari cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan sebuah lembaga pendidikan pertama di Indonesia, Taman Siswa, filosofinya sebagai bapak pendidikan nasional Indonesia kemudian membuat hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

    Sebagian orang mungkin belum familiar dengan sistem pendidikan yang diadopsi di Indonesia. Secara umum, ada 3 jenjang sistem pendidikan nasional atau bisa dikatakan sebagai wajib belajar 9 tahun dimulai dari Pendidikan Dasar (SD), Pendidikan Menengah (SMP), dan Pendidikan Tinggi (SMA/Kuliah). Sistem pengajaran yang ada di Indonesia terbagi menjadi beberapa kategori. Salah satunya yang banyak diterapkan yaitu sistem yang berorientasi pada nilai. Para pelajar akan ditekankan bagaimana bersikap jujur, disiplin terhadap waktu, tanggung jawab, dan juga diberikan motivasi yang tinggi untuk mencapai cita-cita. Selain itu, ada juga sistem yang menganut konsep pendidikan terbuka. Peserta didik pada sistem yang satu ini dituntut untuk bersaing dengan teman agar berpikiran inovatif serta kreatif (Nasution, 2014).

    Di sisi lain, peristiwa kehidupan sosial politik bangsa juga semakin mengental. Tak jarang, banyak suara anak muda juga turut mengisi kursi-kursi peserta kontestasi politik, mewarnai debat bernada sospol di media sosial maupun konvensional, bahkan gerakan mereka bisa mempengaruhi situasi status quo, sebut saja demo tahun 98 atau demo-demo lainnya. Menyambut antusiasme yang tinggi dari anak muda ini, seharusnya juga diikuti dengan penerapan budaya demokrasi di mana setiap manusia berhak berpendapat dan berekspresi tanpa intimidasi dengan jaminan hukum yang kuat. Namun, baik disengaja ataupun tidak, telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang merusak sendi-sendi kehidupan demokratisasi bangsa. Realitas ini disebut “undemocratic democracy”. Hal ini memiliki pengertian bahwa suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang struktur (institusi) demokrasinya sudah ada, tetapi semangat dan perwujudannya masih jauh dari cita-cita demokrasi. Kondisi yang dirasakan paradoksal antara realitas dengan nilai dan norma yang diajarkan atau dipidatokan (Sumantri, 1998).

    Menghadapi situasi “undemocratic-inconstitusional” di atas, maka agenda penting dan urgent dilakukan adalah membangun budaya demokrasi yang genuine (mengakar). Budaya demokrasi ini menunjuk pada berlakunya nilai-nilai, prinsip dan kaidah demokrasi di masyarakat yang terinternalisasikan dalam sikap dan perilaku hidup sehari-hari dengan masyarakat di sekitarnya. Sesuai dengan apa yang dikatakan Toqueville (Branson, 1998), bahwa demokrasi bukanlah mesin yang berfungsi secara otomatis, melainkan harus secara sadar direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya, penulis merasa budaya dan implementasi demokrasi perlu diterapkan sejak dini di bangku sekolah.

    Dilansir dari penelitian National Survey of Voter Education, data menunjukkan  bahwa lebih 60% dari sampel nasional mengindikasikan belum mengerti betul tentang “apa, mengapa, dan bagaimana demokrasi terjadi”. Fenomena ini menunjukkan bahwa kecerdasan yang dibutuhkan untuk mematuhi tatanan dan budaya demokrasi belum dimiliki secara cukup oleh mayoritas bangsa (Yuniarto, 2018).  Mungkin, pendidikan demokrasi sudah ada sebelumnya di Indonesia. Di bangku Sekolah Dasar, saya ingat ketika diajarkan pasal-pasal UUD yang memuat kata HAM di dalam mata pelajaran PPKN. Namun, itu semua hanya sebatas pendidikan demokrasi secara konstitusional. Sampai jenjang SMA, saya mengambil rumpun IPS dan sudah berulang kali dicecoki kata HAM dalam setiap buku paket. Di titik tertentu, saya hanya sebatas “tahu” bahwa HAM itu ada di Indonesia, tetapi saya tidak tahu bagaimana itu diterapkan dan dilaksanakan.

    Maka dari itu, pendidikan demokrasi yang penulis maksud di sini adalah pendidikan demokrasi secara substantif menyangkut sosialisasi, internalisasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktek demokrasi bagi warga negara sehingga dapat menjadi warga negara yang kritis, partisipatif, demokratis, dan beradab. Dalam konteks ini, sekolah sebagai institusi menjadi wahana sistemik pendidikan demokrasi yang yang secara praksis-kurikuler semestinya tidak hanya fokus pada kerangka prinsip “learning to know” (belajar memahami konsep, prinsip, dan nilai-nilai demokrasi), melainkan ke arah proses berperilaku demokratis (learning to do). Sesederhana dengan membiasakan siswa berpikir dalam tugas kelompok, aktif mengikuti diskusi dua arah dengan pengajar, atau melalui proses bernegosiasi dengan teman sebayanya yang beda pendapat. Ke depannya, hal ini akan berguna sebagai proses hidup dan berkehidupan demokratis dalam masyarakat majemuk di Indonesia (learning to be and learning to live together) (Winataputra, 2001).

    Lebih lanjut, konsep pendidikan demokrasi ini juga dikemukakan oleh Gandal dan Finn (Yuniarto, 2018) yang menyarankan dikembangkannya pendidikan demokrasi dalam dua skema. Pertama, school-based democracy education model, yakni model pendidikan demokrasi berbasis sekolah dalam konteks pendidikan formal. Menurut Gandal dan Finn, model ini dapat dilakukan melalui pengenalan ragam demokrasi di seluruh dunia, pengembangan kurikulum yang membebaskan siswa untuk bereksplorasi, serta penyediaan fasilitas sumber belajar bagi siswa untuk memahami penerapan demokrasi.  Yang kedua, adalah “society-based democracy education model”, yakni pendidikan demokrasi dalam konteks kehidupan masyarakat. Model ini merupakan metode pendekatan materi pembelajaran dengan mengkaji fenomena sosial secara langsung.

    Berbagai pemaparan mengenai pendekatan budaya demokratis dalam lingkungan sekolah yang telah dijabarkan tersebut merupakan bagian dari proses penciptaan interaksi fungsional-pedagogis dalam iklim sosial budaya di sekolah dan di luar sekolah. Situasi pembelajaran di kelas diibaratkan sebagai ”democratic laboratory”, lingkungan sekolah sebagai ”micro cosmos of democracy”, dan masyarakat luas sebagai ”open global democracy” (Englund, 2000). Dengan demikian, siswa akan terlibat langsung dalam sebagai subjek dan objek dalam proses trial and error berdemokrasi. Semua model pendidikan dan implementasi tersebut diharapkan dapat menjadi bekal bagi manusia Indonesia (khususnya generasi muda) untuk terus membudidayakan pengetahuan dan ide, mengembangkan ragam kreativitas, serta terus menghormati HAM demi terwujudnya dialog demokrasi yang sehat.

    Referensi

     Jurnal

    Englund, T. (2000). Rethinking Democracy and Education: Towards an Education of Deloberative CitizenJ. Curriculum Studies, Vol. 32, No. 2, 305-313 , DOI: 10.1080/002202700182772.

    Nasution, E. (2014). Problematika Pendidikan di Indonesia. Jurnal Mediasi Vol. 8 (1). Diakses pada 9 Mei 2022, pukul 21.02 WIB melalui https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/MDS/article/view/273.

    Buku

    Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas : CCE.

    Sumantri, S. (1998). Pembahasan Konsep dan Nilai Demokrasi. Bandung: Panitia Seminar Jurusan PPKN IKIP.

    Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education : Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung : Prodi PKn SPS UPI.

    Yuniarto, B. (2018). Pendidikan Demokrasi dan Budaya Demokrasi Konstitusional. Yogyakarta: Deepublish.