Sempat menjadi perbincangan di ranah lingkungan FISIP UI, usai Ketua BEM UI, Leon Alvida, me-repost posting-an BEM KM IPB terkait pemecatan salah satu pengurusnya. Saya pun tertarik untuk menilik lebih lanjut tentang kasusnya. Ditambah lagi, aktivisnya BEM FISIP UI (re: kastrat) terus-menerus mendengungkan opininya lewat media sosial masing-masing yang seliweran di lini masa platform sosial saya. Ternyata, isu panas tersebut bermula dari kasus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memberhentikan seorang pengurus karena unggahan foto berlatarkan bendera pelangi bertepatan dengan momen pride month. Unggahan ini dinilai BEM KM IPB sebagai tindakan mendukung LGBTQIA+, sehingga pengurus disangkakan telah melanggar peraturan rektor nomor 32/IT3/KM/2020 Pasal 14 huruf (a) karena telah mencoreng nama baik BEM KM IPB.
Contoh kasus di atas membuktikan bahwa lingkungan institusi pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya inklusif terhadap warganya. Tak hanya perihal orientasi seksual yang kerap diisukan sebagai ‘manusia’ yang berbeda dari mayoritas, masalah ekspresi dan identitas gender, ras dan etnisitas, serta agama juga beriringan dengan diskriminasi di komunitas perguruan tinggi. LGBT dan ‘kategori’ orang-orang yang berbeda dari mayoritas lainnya menjadi sasaran pelanggaran HAM karena mereka dianggap tidak sesuai dengan norma gender yang ditetapkan dalam konstruksi budaya. Hal ini pulalah yang membuat mereka mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan, mulai dari cemoohan dan intimidasi, penolakan, ujaran kebencian, hingga kasus yang terbaru (pemecatan jabatan di organisasi karena mendukung LGBT).
Pentingnya menciptakan lingkungan yang inklusif sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pendidikan inklusif di jenjang perguruan tinggi menjadi sebuah keharusan dalam memenuhi compulsory of education. Salah satunya dengan bentuk penyesuaian yang efektif dilakukan untuk memastikan praktik inklusif di bidang akademis maupun non akademis (Dias & Soares, 2018). Byra dalam (Morina, 2020) mengungkapkan bahwa pendekatan pedagogi inklusif ini akan memberikan kesempatan yang sama bagi semua mahasiswa untuk mencapai kesuksesan. Ide dari pendekatan ini kemudian juga memungkinkan setiap orang dapat belajar di bawah kondisi yang tepat, termasuk para penyandang disabilitas di jenjang pendidikan tinggi, sehingga lingkungan belajar inklusif dapat terwujud.
Eh, mengapa dengan para penyandang disabilitas? Sama halnya dengan permasalahan kaum LGBT di kampus yang kerap dimarjinalisasikan, fakta di lapangan juga menunjukkan masih banyak kendala atau belum terpenuhinya hak penyandang disabilitas untuk mengakses layanan pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini bisa dilihat mulai dari akses untuk masuk ke perguruan tinggi dan perjuangan mahasiswa disabilitas yang sudah diterima untuk mendapat layanan yang tepat dan non diskriminatif. Dalam hal sarana dan prasarana misalnya, bangunan dan sarana yang belum aksesibel, kurikulum dan strategi pembelajaran yang diterapkan oleh dosen belum sesuai dengan kondisi dan kebutuhaan mahasiswa disabilitas, serta lingkungan sosial kampus yang belum ramah bagi penyandang disabilitas, dan sebagainya.
Adapun bentuk dukungan yang dapat dilakukan pihak kampus maupun mahasiswanya adalah dengan memaksimalkan peran lingkungan yang inklusif di lembaga pendidikan tinggi melalui kegiatan rekontruksi sebagai konteks di mana “ demokrasi pengetahuan” terjadi dengan merancang program perkuliahan bagi mahasiswa penyandang disabilitas, yang memberikan prioritas kebutuhan dan memiliki peluang yang sama untuk mencapai kemajuan, tetapi dengan kualitas, kuantitas, serta target penugasan yang sama dengan mahasiswa lainnya (Skelton, 2002). Bentuk akomodasi lain untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif di jenjang pendidikan tinggi adalah melalui mekanisme penerimaan mahasiswa penyandang disabilitas. Salah satu studi kajian dalam jurnal pendidikan menemukan solusi mekanisme penerimaan mahasiswa penyandang disabilitas tersebut dengan mempertimbangan screening untuk antisipasi dalam penentuan program layanan yang tepat dan sesuai (Riswari, F., Yuniarti, N., et al, 2022).
Selain bentuk adaptasi dari pihak kampus terhadap kelompok mahasiswa yang rentan, komunitas pertemanan atau organisasi di lingkungan perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat yang aman untuk mereka berproses tanpa diskriminasi. Hal-hal positif yang dibangun oleh komunitas sebagai wujud dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dapat memberikan rasa nyaman bagi para mahasiswa selama proses perkuliahan berlangsung. Kemudian, daya usaha ini mampu mengembangkan aspek sosial dari masing masing individu, di mana mereka dapat mengembangkan kolaborasi yang saling menguntungkan.
Yang disayangkan dari tindakan BEM KM IPB ini adalah bagaimana cerminan lingkungan kampus yang belum sepenuhnya inklusif bagi semua pihak, baik dari latar belakang yang berbeda, etnis yang berbeda, kondisi fisik yang berbeda, bahkan orientasi seksualnya. Padahal, implementasi ranah pendidikan inklusif sangat penting bagi proses perkembangan di bidang akademis maupun non akademis. Terlebih lagi, ranah institusi pendidikan yang adil sudah seharusnya menjadi hak bagi semua manusia.
Referensi
Jurnal
Dias, D., & Soares, D. (2018). “Civic learning outcomes: A step towards an inclusive higher education”. International Journal of Inclusive Education, 22(4), 360–374. https://doi.org/10.1080/13603116.2 017.1365956
Moriña, A. (2020). “Faculty members who engage in inclusive pedagogy: Methodological and affective strategies for teaching”. Teaching in Higher Education, 0(0), 1–16. https://doi.org/10.1080/1356251 7.2020.1724938
Riswari, F., Yuniarti, N., Ediyanto, E., & Sunandar, A. (2022). “Implementasi Lingkungan Belajar yang Inklusif sebagai Wujud Pendidikan Inklusi di Perguruan Tinggi”. Ilmu Pendidikan: Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan, 6(2), 85-92. http://dx.doi.org/10.17977/um027v6i22022p085
Skelton, A. (2002). “Towards Inclusive Learning Environments in Higher Education? Reflections on a Professional Development Course for University Lecturers”. Teaching in Higher Education, 7(2), 193–214. https://doi.org/10.1080/13562510220124213

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.