
Ketika membuka media sosial agak risih juga kiranya membaca perberitaan mengenai Perang Rusia versus Ukraina. Netizen Indonesia bersorak-sorai mengelu-elukan Rusia sebagai pahlawan dan menganggap Ukraina hanya sebagai boneka NATO semata.
Dalam percakapan sehari-hari ketika berkumpul dengan rekan sejawat, pembicaraan pun juga tak lepas dari kehebatan Rusia dalam menghadapi tekanan Amerika dan pendukungnya. Bagaimana tidak, Rusia yang ‘dikeroyok’ berhasil bertahan bahkan membuat ekonomi dunia keok. Malah ekonomi Rusia yang bangkit karena kekuatan mata uang Rubel bulan Juni ini, jauh lebih kuat ketimbang dolar AS.
Segala macam bentuk sanksi ekonomi belakangan telah menciptakan krisis-krisis baru, selepas pandemi, harga energi yang melambung tinggi justru membuat pemulihan ekonomi dunia menjadi berantakan. Hingga Putin mengatakan, bahwa apa yang dilakukan Eropa kepadanya hanya akan membuat sebuah jurang kematian bagi ekonomi mereka sendiri.
****
Seusai perusahaan game ternama seperti Electronic Arts (EA), Activision dan Nintendo hengkang dari pasar Rusia. Belakangan gerai restoran ternama di Rusia, McDonald’s ikut hengkang dari negara Beruang Putih tersebut. Kepergian McDonald’s setelah 30 tahun beroperasi di Rusia, menandakan bahwa perang ini sudah benar-benar gawat dan bahkan merusak persahabatan antar negara.
McDonald’s di Rusia memang bukanlah gerai swasta pertama. Namun, ia telah menjadi ikon yang mengakhiri perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Pada 31 Januari 1990, warga Moskow sudah antri berjejal untuk membeli segelas soda dan seporsi roti burger yang dijual oleh McDonald’s, perusahaan asal Amerika yang baru saja buka (Rbth.com, 30/01/2022).
Kehadiran McDonald’s di Uni Soviet adalah buah kebijakan Gorbachev yang berusaha melakukan reformasi ekonomi dan birokrasi Uni Soviet lewat kebijakan Glasnost dan Perestroika (Rbth.com, 30/01/2022).
Munculnya gerai McDonald’s di Moskow merupakan momentum bersejarah bagi Blok Timur dan Blok Barat. Kehadiran restoran swasta tersebut menjadi penanda bahwa Perang Dingin sudah berakhir dan kerja sama ekonomi akhirnya terjalin kembali (Rbth.com, 30/01/2022).
Namun setelah 30 tahun berlalu, masa-masa manis berubah menjadi pahit dan getir. Di bawah pemerintahan Vladimir Putin, Rusia kembali ingin menjadi adi daya seperti Uni Soviet. Ia memperbesar kekuatan militer dan juga menggelontorkan dana besar untuk riset persenjataan dan bom balistik antar benua. Situasi kembali menegang, tidak ada yang menyangka bahwa negara Beruang putih tersebut akan kembali memerah di bawah arahan Vladimir Putin (Rbth.com, 30/01/2022).
Puncaknya adalah agresi militer Rusia terhadap Ukraina. Rusia menyerang Ukraina melalui kampanye “perang pembebasan” dan “anti fasis”. Keinginan Putin untuk mencaplok Ukraina harus dibayar mahal.
Beberapa negara Eropa dan Asia seperti Jerman, Prancis, Jepang dan Taiwan mengutuk serangan Rusia ke Ukraina sebagai sebuah bentuk penjajahan modern.Sedangkan Rusia, berkilah bahwa perang yang dilakukannya adalah perang untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan.
Akibat invasi yang dipromosikan oleh Putin. Banyak perusahaan, industri, dan modal lari dari Rusia. Gerai McDonald’s yang sudah lama membuka tokonya di Rusia akhirnya tutup sebagai reaksi atas serangan Rusia ke Ukraina.
Rusia Dikroyok kok Masih Kuat?
Setelah Rusia melancarkan agresi militer di Ukraina, Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) telah berusaha melakukan boikot dan embargo ekonomi untuk menyulitkan Rusia. Amerika Serikat telah melarang Rusia melakukan pembayaran utang menggunakan $600 juta yang dimilikinya di bank-bank AS. Sanksi ini membuat Rusia makin sulit untuk membayar kembali pinjaman internasionalnya (BBC.com, 27/01/2022).
Uni Eropa juga telah melakukan sejumlah aksi seperti membekukan aset bank sentral mencegah Rusia untuk menghentikannya menggunakan cadangan $630 miliar (£470 miliar) yang dimilikinya dalam mata uang asing (Politico.eu, 24/05/2022).
Bank-bank besar Rusia telah dihapus dari sistem pesan keuangan internasional, Swift , yang akan menunda pembayaran ke Rusia karena ekspor minyak dan gasnya (BBC.com, 27/01/2022).
Inggris telah mengecualikan bank-bank utama Rusia dari sistem keuangan Inggris , membekukan aset semua bank Rusia, melarang perusahaan Rusia dari meminjam uang, dan membatasi deposito yang dapat dibuat oleh Rusia di bank-bank Inggris (BBC.com, 27/01/2022).
Tak hanya di bidang perbankan, di bidang teknologi, banyak perusahaan komputer dan perangkat keras seperti Intel, Microsoft, Apple memblokade Rusia dan menghentikan produksi dan impor barang ke sana (BBC.com, 27/01/2022).
Tak hanya itu, para gamer Rusia juga mendapat cobaan karena beberapa perusahaan Game besar seperti Xbox, PlayStation, Nintendo dan platform lain menghentikan seluruh impor dan kegiatan online gaming di negara tersebut. Upaya ini sebagai bentuk tekanan agar Rusia menghentikan agresinya ke Ukraina (BBC.com, 27/01/2022).
Memang pada awalnya perbankan Rusia mengalami kepanikan karena mereka mulai merasakan dampak embargo. Namun para ekonom Rusia bekerja keras agar perekonomian Rusia tetap jalan meski berada dalam himpitan yang luar biasa.
***
Karena negara-negara Barat berusaha mengembargo ekonominya, Rusia mulai melakukan beberapa peraturan ketat mengenai ekonomi, seperti pembatasan modal, penggunaan transaksi luar negeri dengan Rubel dan yang cukup mengejutkan, Bank sentral Rusia, The Bank of Russia, mengumumkan nilai mata uang tetap Rubel kini mengikuti standar harga untuk membeli emas (Sahamok.net, 12/4/2022).
Dengan harga RUB5.000 (£ 45,12) untuk satu gram emas, ini adalah pertama kalinya mata uang suatu negara dinyatakan dalam “paritas emas” sejak Swiss memutuskan untuk berhenti melakukannya pada tahun 1999. Rusia melakukan itu terhadap mata uangnya dengan nilai emas karena ia tak ingin “hegemoni” dolar mempengaruhi Rusia (Sahamok.net, 12/4/2022).
Cara ini cukup berhasil. Nilai mata uang Rusia menguat naik ke level tertinggi 50 dibanding dolar dan euro. kenaikan nilai Rubel terjadi karena adanya pengetatan kontrol modal keuangan yang dilakukan Pemerintah Rusia, dengan menjual valuta asing serta menuntut pembayaran ekspor menggunakan Rubel (Tribunnews.com, 29/06/2022).
Hal ini membuat banyak orang berasumsi bahwa segala macam sanksi telah gagal. Kepemimpinan Putin lewat tangan besinya telah menang, dan pasar bebas serta demokrasi Pasar (kapitalisme) justru mengalami kerugian akibat sanksi ekonomi ini.
Benarkah?
Ilusi Keberhasilan Putin
Kontrol modal telah membantu Rubel untuk menguat dan Rusia selamat dari inflasi besar-besaran. Di bawah kendali modal dan perintah bahwa eksportir menjual setengah pendapatan mata uang mereka, Rubel telah menguat sekitar 66 terhadap dolar AS, jauh lebih kuat daripada sebelum Rusia mengirim angkatan bersenjatanya ke Ukraina pada 24 Februari (Sahamok.net, 12/4/2022).
Tapi ini bukan akhir, ini baru awal. resesi yang menakutkan ada di depan. Pada tahun 2022, ekonomi Rusia diperkirakan akan menyusut hingga 10%. Masyarakat mungkin belum merasakan efek penuh. Tapi ini sudah mulai terlihat di bengkel, toko elektronik dan supermarket di Moskow (Reuters, 27/05/2022).
Mal di Moskow terlihat paling jelas perubahannya, banyak brand-brand ternama mulai hilang dari pasaran. Begitu pula pusat perbelanjaan yang ramai sekarang jauh lebih tenang: lebih sedikit pelanggan, dan lebih sedikit pilihan (Reuters, 27/05/2022).
Sebagai protes atas invasi Ukraina, banyak merek asing telah menangguhkan operasi di Rusia atau ditarik sepenuhnya. Banyak toko yang bergantung pada barang impor tutup. Selain itu, onderdil, baik motor maupun mobil, juga mulai mengalami kesulitan hingga pada masanya stok yang tersimpan akan habis (Reuters, 27/05/2022).
Pun dengan toko elektronik dan mainan yang sepenuhnya adalah teknologi impor, beberapa mainan dan barang elektronik harganya mulai melonjak naik. Memang, Rusia saat ini belum masuk ke fase krisis yang hebat. Namun cepat atau lambat isolasi yang diterapkan oleh berbagai negara akan mencekik masyarakat Rusia.
Saat ini Rusia tengah menikmati harga minyak dan gas yang tinggi. Ia juga memaksa agar semua utang pada Rusia dan transaksi ekspor dibayarkan menggunakan Rubel. Namun, itu semua belum cukup untuk mendongkrak ekonomi yang kuat.
Rusia membutuhkan teknologi untuk menopang sumber daya alamnya, memerlukan modal dan investasi untuk pembangunan negaranya, serta membutuhkan lapangan kerja yang beragam untuk masyarakatnya.
Memang sanksi ekonomi yang diterapkan kepada Rusia tidak dikhususkan untuk membuat mereka krisis dengan cepat, namun secara perlahan tapi pasti akan membuat Rusia berhenti untuk membiayai peperangan di Ukraina. Namun perlahan tapi pasti, Rusia saat ini dibayang-bayangi oleh krisis ekonomi akibat embargo dan pembiayaan perang yang besar.
Dikutip dari Reuters, Sergei Gurev, pengamat ekonomi Rusia mengatakan bahwa keputusan Putin untuk terus menjajah Ukraina akan berdampak serius pada kesejahteraan rakyat Rusia ke depan. Ia menjelaskan, bahwa rasa sakit yang sebenarnya belum dimulai karena beberapa perusahaan yang keluar masih membayar upah dan beberapa perusahaan melanjutkan produksi menggunakan persediaan suku cadang impor mereka (Reuters, 30/05/2022).
Meski ekonomi Rusia saat ini tampak masih kuat, namun rongrongan yang besar untuk membiayai perang di Ukraina akan melemahkan Rusia. Sejak perang dimulai, Rusia harus membelanjakan 600 miliar Rubel untuk militernya. Tentu, biaya ini sangat besar jika resesi menghantui negara ini. Sanksi mungkin tidak akan mengakhiri perang dalam waktu dekat. Namun, kerusakan ekonomi Rusia akibat sanksi tersebut bisa tahan lama.
***
Mungkin banyak teman di luar sana yang bersorak sorai gembira atas kemenangan Rusia dari segala embargo ekonomi yang diberikan oleh Uni Eropa dan Amerika. Namun, mereka belum tahu, bahwa gejala resesi dan krisis akan terjadi cepat atau lambat. Seperti kata Sergei Gurev, kesulitan suku cadang dan sulitnya barang impor masuk ke Rusia cepat atau lambat akan membuat Rusia menghadapi krisis ekonomi.
Kenaikan harga mungkin bukan masalah terbesar Rusia saat ini. Rubel yang kuat telah menurunkan inflasi mingguan dengan tajam, tetapi tidak akan menangkis ancaman yang lebih luas terhadap output ekonomi dari isolasi yang dikenakan Rusia. Bulan kemarin, Menteri Ekonomi, Maxim Reshetnikov, mengatakan bahwa ada “krisis permintaan” dalam bisnis dan belanja konsumen di Rusia (Reuters, 30/05/2022).
Ekspor China ke Rusia turun seperempat pada bulan April dan pengiriman dari Vietnam, Korea Selatan, Malaysia dan Taiwan lebih dari setengahnya. Ini mengindikasikan adanya pelemahan daya beli di masyarakat Rusia (Reuters, 30/05/2022).
Jadi, ketakutan krisis Rusia di masa depan bukan inflasi yang membuat harga melonjak, tetapi ketakutan bahwa Rusia bisa masuk ke deflasi spiral, ketika pengurangan uang dalam perekonomian mengarah pada pengurangan produksi, harga yang lebih rendah, hingga akhirnya terjadi stagnasi ekonomi yang akan membuat roda perekonomian Rusia tersungkur.
Ya, benar kata pepatah: “penampilan bisa menipu”. Ketika kita melihat Rusia saat ini tampak bahwa Rezim Putin telah sukses lolos dari jerat embargo dan dengan leluasa menghantam Ukraina. Namun, pada hakikatnya tidak demikian. Rusia saat ini bak kereta yang berjalan di tengah jurang di atas rel yang rapuh. Lapuknya penyangga hanya menunggu waktu hingga ambruk seketika. Hal ini pula yang terjadi pada Uni Soviet pada dekade 80an ketika mereka mengalami kemerosotan ekonomi karena menutup diri dari pasar global dan mekanisme pasar.
Dan sekarang, Putin yang bercita-cita untuk menghidupkan Uni Soviet, kini melihat pemandangan yang sama dengan tahun 1917, ketika perusahaan asing pergi berbondong-bondong dari negerinya.
Kepergian perusahaan asing, matinya usaha dalam negeri, dan juga birokrasi yang menjamur di Rusia tahun 1917 membuat Lenin merombak susunan ekonominya menjadi lebih “ramah pasar bebas”.
Apakah Rusia akan kembali ke Era Soviet? Apakah Putin akan melihat Rusia seperti era Revolusi Oktober? Kita lihat saja.
Referensi
https://www.bbc.com/news/world-europe-60125659.amp Diakses pada 28 Juni 2022, pukul 17.24 WIB.
https://id.rbth.com/sejarah/81149-mcd-pertama-di-rusia-wyx/amp Diakses pada 28 Juni 2022, pukul 16.45 WIB.
https://www.politico.eu/article/the-illusion-of-russia-economic-stabilization-sanctions-war-ukraine/amp/ Diakses pada 28 Juni 2022, pukul 17.00 WIB.
https://www.reuters.com/markets/europe/russians-feel-little-economic-pain-now-long-term-outlook-darkens-2022-05-30/ diakses pada 28 Juni 2022, pukul 19.30 WIB.
https://www.reuters.com/world/europe/russia-will-need-huge-financial-resources-military-operation-finmin-says-2022-05-27/diakses pada 28 Juni 2022, pukul 19.40 WIB.
https://m.tribunnews.com/bisnis/2022/06/29/rubel-makin-perkasa-menguat-52-terhadap-dolar-ke-level-tertinggi-sejak-mei-2015 diakses pada 28 Juni 2022, pukul 18.24 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com