Pertumbuhan penduduk dunia dalam beberapa dekade terakhir berlangsung sangat cepat. Saat ini, planet kita ditinggali oleh lebih dari 7,8 miliar umat manusia, yang merupakan jumlah tertinggi sepanjang sejarah (World Population Review, 2021).
Naiknya pertumbuhan penduduk yang sangat pesat ini juga tidak pernah terjadi dalam sejarah panjang umat manusia. Selama ratusan ribu tahun dalam sejarah panjang perjalanan homo sapiens, jumlah penghuni planet kita cendurung datar dan tidak mengalami kenaikan yang sangat signifikan.
Pada tahun 1.000 masehi misalnya, penduduk dunia diestimasi berjumlah 269 juta jiwa. 8 abad setelahnya, tepatnya pada tahun 1800, jumlah penduduk dunia masih di bawah 1 miliar. Di awal abad ke-17, jumlah keseluruhan manusia yang tinggal di planet kita hanya berjumlah sekitar 990 juta jiwa (statista.com, 2019).
Peningkatan tersebut melesat dengan sangat pesat pasca abad ke-17, setelah terjadinya Revolusi Industri. Revolusi industri memungkinkan kita untuk tidak hanya bertumpu pada kekuatan yang berasal dari tenaga manusia atau hewan, namun kita juga mampu memanfaatkan berbagai sumber daya yang disediakan oleh alam seperti bahan bakar fosil. Pada akhir milenium kedua, atau tahun 2000, jumlah penduduk dunia melesat pesat menjadi di atas 6 miliar jiwa (statista.com, 2019).
Namun, tidak semua pihak mengapresiasi fenomena peningkatan penduduk dunia yang terjadi dengan sangat pesat selama 2 abad terakhir. Berbagai pemikir dan akademisi memberi ramalan bahwa kelak, semakin meningkatnya penduduk dunia secara sangat pesat akan menimbulkan bencana besar.
Salah satunya sebabnya adalah karena pertumbuhan penduduk tersebut tidak sebanding dengan produksi bahan-bahan yang esensial untuk menunjang kehidupan seperti bahan-bahan pangan. Dengan demikian, bila penduduk dunia semakin banyak, maka akan semakin banyak orang-orang yang mengalami kelaparan.
Lantas apakah pandangan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah pertumbuhan penduduk dunia yang meningkat secara pesat niscaya akan membawa bencana yang besar bagi umat manusia?
*****
Ramalan apokaliptik mengenai bencana besar yang disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang sangat pesat bukanlah suatu hal yang baru. Gagasan tersebut adalah hal yang sudah dibahas oleh berbagai pemikir dan akademisi sejak ratusan tahun yang lalu.
Salah satu tokoh besar yang sangat dikenal yang membahas mengenai hal tersebut adalah ekonom masyur asal Inggris, Thomas Robert Malthus. Malthus, dalam bukunya yang berjudul An Essay on the Principle of Population (terbit tahun 1798) menulis bahwa di masa depan, produksi pangan tidak akan dapat mengejar pertumbuhan populasi penduduk dunia yang semakin pesat,
Dalam bukunya, Malthus menulis mengenai perbedaan signifikan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan pertumbuhan sumber daya pangan. Pertumbuhan jumlah sumber daya pangan hanya bersifat linier. Sebaliknya, Malthus menulis jumlah pertumbuhan penduduk dunia bersifat eksponensial (intelligenteconomist.com, 21/11/2020).
Malthus mengakui bahwa, manusia mampu menciptakan berbagai teknologi baru. Salah satunya adalah teknologi pertanian, yang kelak akan membawa produksi pangan dalam jumlah yang lebih besar. Namun, ekonom kelahiran Britania Raya tersebut juga mengungkapkan bahwa dengan semakin meningkatnya produksi pangan tersebut, maka hal tersebut akan menciptakan pertumbuhan penduduk yang lebih pesat lagi, dan ujung-ujungnya produksi pangan tidak akan dapat mengejar pertumbuhan penduduk dunia yang samakin pesat (intelligenteconomist.com, 21/11/2020)
Pandangan Malthus tersebut membuatnya percaya bahwa solusi untuk menghindari bencana besar tersebut adlahmelalui berbagai program dan kebijakan kontrol populasi. Kebijakan ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mencegah terjadinya berbagai bencana seperti kelaparan yang siebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang semakin pesat. Beberapa langkah untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut diantaranya adalah sterilisasi secara paksa dan hukuman kepada para orang tua yang memiliki anak lebih dari yang mereka mampu nafkahi (socialsci.libretexts.org, 20/2/2021).
Namun, saat ini sudah terbukti prediksi Malthus tersebut merupakan sesuatu yang sangat keliru dan tidak sesuai dengan kenyataan. Meskipun kita tinggal di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak dalam sejarah manusia, tetapi pada saat yang sama tingkat kelaparan dunia justru berada di peringkat terendah dalam sejarah.
Di awal abad ke-20 misalnya, jumlah penduduk dunia mencapai 1,6 miliar jiwa. Pada dekade 1900-an, 5,3 juta penduduk dunia meninggal karena bencana kelaparan besar. Saat ini, ketika penduduk dunia mencapai lebih dari 7 miliar jiwa, jumlah kematian karena kelaparan justru bukan meningkat drastis tetapi justru menurun secara signifikan. Pada tahun 2010 – 2016 misalnya, jumlah kematian global karena bencana kelaparan besar turun drastis mencapai 255.000 orang, meskipun jumlah penduduk dunia tumbuh lima kali lipat dibandingkan di awal abad ke-20 (ourworldindata.com, 7/12/2017).
Jumlah kematian 255.000 penduduk dunia karena bencana kelaparan besar tentu merupakan hal yang sangat menyedihkan, dan harus dapat secepatnya kita hilangkan. Namun, kita harus juga mengakui bahwa menurunkan angka korban kematian karena bencana kelaparan besar secara signifikan, meskipun populasi penduduk bumi tumbuh dengan sangat pesat adalah capaian yang sangat luar biasa.
Capaian yang sangat luar biasa ini tidak bisa kita pisahkan dari perkembangan teknologi, seperti teknologi pertanian, yang telah berjasa besar dalam mengurangi bencana kelaparan di seluruh dunia. Dengan menggunakan berkat kecerdasan di atas spesies-spesies lainnya, manusia mampu menciptakan teknologi yang telah berhasil memperbaiki taraf hidup dan menyelamatkan nyawa jutaan penduduk dunia.
Salah satu perubahan fundamental dari teknologi pertanian yang paling dikenal dan berpengaruh adalah apa yang dikenal dengan Revolusi Hijau (Green Revolution), yang mulai diterapkan pada dekade 1960-an. Berbagai perkembangan teknologi pertanian yang diasosiasikan dengan Revolusi Hijau, seperti pengenalan varietas bibit unggul dan metode irigasi baru yang memanfaatkan teknologi tinggi telah berhasil meningkatkan produksi pangan dunia secara signifikan, khususnya di negara-negara berkembang. Salah satu tokoh penting yang dianggap sebagai salah satu pelopor Revolusi Hijau adalah agronomis asal Amerika Serikat, Norman Borlaug, dan ia meraih Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1970 (NYTimes, 13/9/2009).
Kemampuan kecerdasan manusia (human ingenuity) inilah yang kerap diabaikan, atau setidaknya direndahkan, oleh berbagai akandemisi “peramal hari kiamat” seperti Thomas Malthus. Mereka tidak bisa membayangkan bahwa, kemampuan kecerdasan manusia untuk membuat inovasi dan teknologi terbaru untuk memperbaiki kehidupan kita, dan mengatasi berbagai permasalahan hingga bencana yang diberikan oleh alam kepada manusia.
Malthus tentunya bukan satu-satunya pemikir, atau tokoh terakhir, yang menjadi peramal kehancuran peradaban manusia yang disebabkan oleh peningkatan populasi. Pada dekade 1960-an misalnya, dunia dihebohkan dengan prediksi biologis asal Amerika Serikat, Paul Ehrlich, bahwa, pada dekade 1970-an, akan terjadi peningkatan kematian karena bencana kelaparan dalam jumlah yang sangat besar hingga ratusan juta jiwa karena overpopulasi. Prediksi ini kini terbukti merupakan hal yang sangat keliru dan tidak sesuai dengan kenyataan (capx.co, 9/5/2018).
Sebaliknya, pandangan Malthusian mengenai bahaya overpopulasi justru menjadi gagasan yang sangat berbahaya, dan telah menginspirasi berbagai kejahatan kemanusiaan dalam skala yang sangat besar. Gagasan kontrol populasi misalnya, telah melahirkan berbagai kebijakan-kebijakan kejam seperti sterilisasi paksa yang diterapkan terhadap orang-orang yang terpinggirkan dan dianggap “tidak diinginkan” oleh berbagai pemerintahan di dunia, seperti di Amerika Serikat pada dekade 1920-an hingga Nazi Jerman pada dekade 1930-an (scientificamerican.com, 1/5/2016).
Sebagai penutup, sejarah sudah membuktikan melalui kemampuan kecerdasannya, manusia telah mampu memperbaiki kehidupannya dan menyelamatkan jutaan saudara-saudaranya di seluruh dunia dari jurang kemelaratan hingga kematian. Untuk itu, sudah sepatutnya kita mengapresiasi capaian tersebut, seraya tetap optimis bahwa kita dapat menyelesaikan berbagai permasalahan besar yang menimpa kita saat ini di masa depan.
Jangan sampai, berbagai ilusi ramalan-ramalan kiamat dan kehancuran peradaban mengubah kita menjadi pesimis bahwa kita tidak mampu untuk membangun dunia yang lebih baik bagi anak cucu kita kelak.
Referensi
https://capx.co/fifty-years-on-the-population-bomb-is-as-wrong-as-ever/ Diakses pada 11 Juli 2021, pukul 00.20 WIB.
https://www.intelligenteconomist.com/malthusian-theory/ Diakses pada 10 Juli 2021, pukul 20.45 WIB.
https://www.nytimes.com/2009/09/14/business/energy-environment/14borlaug.html Diakses pada 10 Juli 2021, pukul 23.35 WIB.
https://ourworldindata.org/famines Diakses pada 10 Juli 2021, pukul 22.30 WIB.
https://www.scientificamerican.com/article/why-malthus-is-still-wrong/ Diakses pada 11 Juli 2021, pukul 01.05 WIB.
https://socialsci.libretexts.org/Bookshelves/Sociology/Introduction_to_Sociology/Book%3A_Sociology_(Boundless)/17%3A_Population_and_Urbanization/17.02%3A_Population_Growth/17.2D%3A_Malthus_Theory_of_Population_Growth Diakses pada 10 Juli 2021, pukul 21.40 WIB.
https://www.statista.com/statistics/1006502/global-population-ten-thousand-bc-to-2050/ Diakses pada 10 Juli 2021, pukul 19.50 WIB.
https://worldpopulationreview.com/ Diakses pada 10 Juli 2021, pukul 19.25 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.