Pada tahun 2014, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 19 tahun 2014 yang berisi penanganan situs yang memiliki konten negative, yang mencakup diantaranya adalah pornografi. Melalui peraturan menteri tersebut, Kemenkominfo memiliki wewenang untuk melakukan langkah blokir terhadap situs-situs yang terindikasi memuat konten negatif.
Namun, implementasi dari peraturan tersebut ditengarai tidak sesuai dengan proses hukum yang seharusnya, karena dalam hal ini Kemenkominfo memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan memerintahkan, dan mengeksekusi peraturan tersebut. Hal tersebut dilihat oleh beberapa pihak sebagai wujud nyata dari pelanggaran hak sipil yang dilakukan oleh negara terhadap warganya.
Salah satu pihak yang memiliki pandangan tersebut adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). ICJR sendiri merupakan organisasi yang memiliki fokus terhadap isu-isu hak sipil di Indonesia. Tahun 2015 ICJR melakukan gugatan terhadap peraturan menteri tersebut ke Mahkamah Agung.
Terkait dengan hal tersebut, pada hari Jumat, 13 Juli 2018, Suara Kebebasan yang diwakili oleh Adinda Tenriangke Muchtar (Pemimpin Redaksi) dan Haikal Kurniawan (Kontributor), mewawancarai Direktur Eksekutif ICJR, Anggara Suwahju, di kantor ICJR di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Selamat sore Mas Anggara. Terima kasih banyak untuk waktunya. Bila Mas tidak keberatan kami ingin memulai wawancara ini dengan menanyakan perihal gugatan Permen (Peraturan Menteri) Kemenkominfo mengenai blokir situs konten negatif yang dilakukan ICJR ke MA. Bagaimana prosesnya, Mas?
Pegujian di Mahkamah Agung kalau menurut UU Mahkamah Konstitusi harus dihentikan bila salah satu batu ujinya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. KUHAP sebagai salah satu batu uji yang digunakan untuk gugatan peraturan menteri tersebut selalu diuji di Mahkamah Konstitusi. Jadi oleh MA tidak diterima. Dengan dianggap bahwa KUHAP-nya sedang diuji di MK, padahal setiap tahun KUHAP tersebut diuji di MK. Jadi gugatan tersebut bukan ditolak tapi tidak diterima, karena kalau tidak diterima biasanya karena masalah teknis.
Saya melihat sekarang Menteri Kemenkominfo banyak dipuja. Saya melihat pada masa Tifatul banyak teman-teman yang menolak permen tersebut, dan saya melihat hal tersebut lebih dikarenakan sosok Tifatul-nya, bukan permen-nya. Sekarang setelah menterinya, diganti banyak teman-teman yang tadinya menolak menjadi menganggap hal tresebut tidak bermasalah, padahal persoalannya masih sama.
Dalam hukum, hak kebendaan merupakan sesuatu yang melekat pada kita. Jadi tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang oleh negara. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak bisa dirampas, boleh dan aturannya ada 2, yang pertama ada diatur dalam UU atau diperintahkan oleh lembaga Yudisial.
Dalam konteks pemblokiran, pertanyaannya adalah apakah akses internet tersebut termasuk hak kebendaan atau tidak, dan menurut kami hal tersebut termasuk, karena kita membeli dan membayar akses tersebut. Kecuali kalau akses tersebut di ruang publik dan gratis negara bisa membatasi.
Hak kebendaan itu tidak bisa dirampas dengan sewenang-wenang, dan kalau hukum acara pidana perampasan tersebut dinamakan penyitaan, dan hal tersebut harus diizinkan oleh pengadilan. Pertanyaannya lagi adalah untuk hal-hal apa penyitaan atau pemblokiran itu diizinkan, kalau menurut kami apabila terjadi perbuatan pidana yang ditentukan oleh undang-undang, seperti pornografi dan pornografi anak, maka penyitaan atau pemblokiran tersebut bisa dilakukan.
Tapi konteksnya harus ada perkara pidananya. Contohnya misalnya Tik Tok kesalahannya apa sehingga diblokir. Belum lama ini situs resmi Vatican, Vatican News juga diblokir. Pertanyaannya, siapa yang mengadukan dan memeriksa. Kalau dalam konteks hukum pidana hal tersebut jelas, pihak yang mengadukan, memeriksa, dan memerintahkan itu berbeda. Misalnya yang memeriksa itu penyidik, yang meminta izin nanti penuntut umum, dan yang memerintahkan hakim, jadi ada pemisahan kekuasaan dan seimbang.
Dalam kasus Permenkominfo itu pemerintah sendiri yang memeriksa dan menuntut serta pemerintah juga yang memutuskan. Jadi seluruh kekuasaan ada di tangan satu pihak. Dan hal tersebut sangat berbahaya, bagaimana kalau misalnya pemerintahan berganti menjadi rezim yang lebih represif?
Persoalannya yang lain banyak orang yang alergi dengan pengadilan karena dianggap pengadilan merupakan hal yang merepotkan. Misalnya, bagaimana kalau pihak yang harus diperiksa ada di luar negeri atau anonim, kan ada caranya. Hukum sudah menyediakan aturannya, misalnya diperiksa dan dipanggil tetap tidak ketahuan orangnya, bisa meminta penetapan dari pengadilan untuk situsnya diblokir sementara. Dan hal tersebut tidak perlu satu aplikasi atau satu website satu permintaan, namun 1 permintaan bisa 10 atau 100 website sekaligus dengan menyebutkan alasannya. Bila alasannya jelas, biasanya permohonan tidak akan ditolak pengadilan.
Administrasi memang terlihat rumit, namun ada aspek lain yang lebih penting, yakni aspek keadilan. Kalau misalnya melalui hukum pidana hal tersebut jelas, siapa yang melapor, memeriksa, dan memutuskan, Kalau mekanismenya masih seperti sekarang hal tersebut sangat tidak jelas dan tidak transparan.
Ada teman-teman LSM lain misalnya yang memiliki pandangan yang berbeda. Dari ELSAM misalnya, harus ada lembaga independen yang ikut terlibat, seperti Komnas HAM misalnya. yang penting ada check and balances, jadi kekuasaan tidak berada di satu tempat saja. ICJR melakukan gugaran bukan karena kami mendukung pornografi dan lain-lain, namun karena cara yang digunakan oleh kominfo itu mengundang munculnya pemerintahan yang represif.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah dalam hal ini sering beralasan kalau keberatan yang diajukan itu hanya sebatas tata cara saja dan juga kalau mereka bukan solo player, namun mereka juga mendapat pengaduan dari masyarakat, dan hal tersebut tidak melanggar kebebasan berekspresi karena sudah diatur di dalam UU ITE dan UU Anti Pornografi.
Tapi yang sering dilupakan adalah sering kali dalam banyak hal permen-nya dikeluarkan terlebih dahulu sebelum undang-undangnya, salah satunya melalui UU Hak Cipta tahun 2014. Misalnya, Pemerintah melalui Kominfo mengeluarkan permen mengenai pemblokiran situs terlebih dahulu, baru setelah itu di UU Hak Cipta dituliskan bahwa pemblokiran dapat dilakukan berdasarkan peraturan menteri.
Di revisi UU ITE, Permenkominfo mengenai pemblokiran dimasukkan lagi. Kalau misalnya pemerintah berargumen yang dipermasalahkan hanya tata cara saja, kalau demikan bagaimana kalau KUHAP dihapus saja dan peraturan penangkapan cukup dari peraturan Kapolri.
Karena itu hal ini bagi kami merupakan soal prinsip. Hak kepemilikan, the right to property itu hak yang sangat dasar. Namun, bukan berarti seseorang bisa bertindak sebebas-bebasnya. Misalnya pemerintah kerepotan menangani berita bohong, ya tentu akan merepotkan kalau proses yang dilakukan itu proses politik, seperti yang dilakukan selama ini. Kalau proses yang dilakukan itu proses hukum tentu orangnya langsung diseret ke pengadilan dan tentu ketetapan hukumnya jauh lebih kuat.
Menjalankan peraturan tersebut sesuai jalur hukum sebenarnya tidak sulit, tinggal misalnya Kemenkominfo membuat daftar situs yang akan diblokir, serta menyertakan alasannya ke pengadilan. Apabila misalnya pemilik situs susah untuk ditemui, misalnya karena ada di luar negeri, itupun juga ada hukum yang mengatur. Kemenkominfo bisa menyatakan ke pengadilan kalau pemilik situs tertentu tersebut tidak dapat ditemui dan sudah diberikan surat panggilan sehingga situs tersebut perlu untuk ditutup sementara.
Kalau menurut Mas Anggara, tidak hanya terkait dengan Permenkominfo, namun juga terkait dengan Undang-Undang yang bermasalah, bagaimana masyarakat dan negara, baik DPR-nya maupun pemerintahnya, dalam menyikapi kebebasan berekspresi?
Kita menikmati kebebasan pada dasarnya hanya sebentar, hanya sekitar dari tahun 1945 hingga 1957, dan setelah itu rezim kita menjadi rezim yang represif hingga tahun 1998. Jadi oleh karena itu, banyak masyarakat kita yang tidak terbiasa dengan kebebasan, dan menganggap kebebasan yang sudah dimiliki saat ini merupakan kebebasan yang kebablasan, padahal tidak, karena pandangan kebablasan itu sebenarnya menunjukkan kalau kita sedang bingung tentang bagaimana mengatur area kebebasan ini.
Karena dianggap kebablasan, maka pemerintah menggunakan hukum pidana untuk menjaga social order. Tidak semua hukum pidana itu buruk, ada hukum pidana yang waras dan ada juga yang tidak. Menurut saya banyak peraturan pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca reformasi yang tergolong sebagai peraturan yang tidak waras dikarenakan pemerintah kewalahan dalam menghadapi kebebasan yang muncul secara tiba-tiba tersebut.
Hukum pidana memang memiliki watak yang represif dan bukan untuk memfasilitasi karena fungsinya memang untuk menjaga social order. Sebagaimana yang sudah saya katakan sebelumnya, memang tidak semua hukum pidana itu bermasalah, namun yang jadi masalah adalah ketika semua hal ingin dijadikan menjadi hukum pidana.
Bagaimana dengan situs-situs yang mengandung ekstrimisme? Bukankah pemerintah memang diizinkan untuk turun tangan untuk menghadapi permasalahan tersebut?
Terkait dengan ekstrimisme, bagi saya harus dibedakan terlebih dahulu antara ekstrimisme dan radikalisme. Ekstrimisme dapat menghasut tindakan kekerasan. Kalau hanya sebatas radikal, tentu sangat banyak orang yang memiliki pandangan radikal, misalnya banyak kelompok kiri yang memiliki pandangan yang radikal. Kalau kita menyetujui pandangan radikal harus dilarang, maka hal tersebut dapat membahayakan. Pandangan ekstrimisme yang menghasut kepada kekerasanlah yang harus ditindak.
Namun, permasalahan lainnya adalah, hal terkait ekstrimisme ini tidak pernah diambil tindakan. Rizieq Shihab misalnya, dalam pidatonya mengatakan bunuh ini dan bunuh itu tidak pernah ditindak. Justru ketika ditindak malah kasusnya kasus ringan yang tidak penting yang terkait syahwat. Hal tersebut menandakan pemerintah masih memiliki ketakutan.
Kalau bagi saya, lebih baik ditangkap saja dari dulu. Kalau misalnya anak buahnya yang mengajak untuk membunuh hal tersebut masih dapat dipertanyakan apakah memiliki pengaruh yang besar. Berbeda dari Rizieq Shihab yang menjadi pimpinannya dan berpengaruh. Pemimpin organisasi seperti Rizieq Shihab harus dipidana.
Baik Mas Anggara, terima kasih banyak untuk waktunya.
Sama-sama. Terima kasih banyak untuk kesempatan dan wawancaranya.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.