Hukum untuk Melindungi Hak Milik

285
Legal law concept statue of Lady Justice with scales of justice background

Sifat abstrak dari fungsi hukum untuk melindungi hak, bisa dikonkretkan dengan konsep hak asasi manusia yang menekankan pada kepemilikan. Murray Rothbard dalam “The Ethics of Liberty” (1998) menjelaskan bahwa inti dari HAM adalah hak kepemilikan individu (Rothbard, 1998). Nyawa, keyakinan, pemikiran, tubuh, dan suatu barang, semua ini dimiliki individu dengan perlindungan HAM. Berkat HAM, seorang manusia dapat dilindungi dari serangan dan manifestasi kekerasan serta menjaga integritas serta martabat tiap manusia. Selebihnya, individu bisa memiliki dan melakukan apa pun dengan batasan menjaga perlindungan terhadap individu yang lain.

Dengan istilah “libertarian”, Tom G. Palmer (2017), menjelaskan hak milik merupakan salah satu fondasi paling penting bagi terciptanya kerja sama berbasis voluntarisme di antara individu yang tidak saling mengenal. Property rights tidak hanya berarti harta benda, tapi juga merupakan relasi yang kompleks antara hak dan kewajiban, yang dapat menuntun individu-individu yang tidak saling kenal agar dapat melaksanakan kerja sama dan pertukaran yang saling menguntungkan satu sama lain.

Buku Ajar Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi (2016) mengartikan negara hukum adalah negara yang setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahannya didasarkan atas hukum yang berlaku di negara tersebut. Hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan dan ketertiban masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, maka hukum harus dilaksanakan atau ditegakkan secara konsekuen.

Pengertian hukum yang (dibuat) buta oleh penguasa itu bisa dengan mudah kita pertanyakan. Bagaimana jika hukumnya bermasalah? Jika ada aturan yang meminta kita menyerahkan kepemilikan kita atau membunuh kita, apakah kita harus taat hukum?

Adakah hukum yang seperti itu? Dengan peredaksian yang berbeda, jawabannya: ada. Di Indonesia, sebagian hukum dibuat, dirumuskan, disahkan, dan diimplementasikan, seakan-akan benar, padahal salah. Hukum eksis, kokoh, dan tegas dilaksanakan, bukan untuk melindungi kepemilikan tapi malah menghilangkannya.

Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara misalnya. UU Nomor 3 Tahun 2020 ini bertentangan dengan makna keseteraan dan kebebasan kontrak. Pasal 1 angka 13b yang memperpanjang masa kontrak secara otomatis perusahaan yang ada sebelumnya, membuat akses berusaha pada sektor ini menjadi eksklusif dan diskriminatif. Terlebih dengan keadaan habis kontrak yang hanya dialami segelintir perusahaan tambang saja. Laporan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyimpulkan, perusahaan tersebut dimiliki elite kekuasaan dan pimpinan partai politik.

Hukum lain yang bersifat menghilangkan kepemilikan adalah kebijakan tentang pajak. Pada pertengahan tahun 2021, pemerintah ingin menjadikan sembako dan pendidikan sebagai objek pajak melalui revisi undang-undang perpajakan. Saat pemerintahan begitu boros dengan struktur kelembagaan dan kewenangan yang amat besar, saat korupsi makin tinggi, pemerintah malah meningkatkan dan memperluas objek pajak. Pajak jadi seperti obsesi kerajaan yang memperbesar kekuasaannya melalui pungutan paksa bahkan menindas rakyat. Taxation is robbery, kata Frank Chodorov (mises.org, 2017).

Lalu, ada hukum yang menghilangkan kepemilikan hak berpolitik, di antaranya hak dipilih dan berserikat berkumpul. Ada undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu dengan syarat yang amat berat dalam pembentukan partai politik dan kepesertaannya di pemilu. Ada Ketetapan MPRS XXV/1966 yang melarang PKI, komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Juga ada Perppu dan undang-undang Ormas yang melarang Islamisme serta paham radikalisme (versi penguasa) lainnya.

Tiga contoh tersebut hanya bagian kecil dari banyaknya wujud hukum Indonesia yang menghilangkan kepemilikan warga. Merujuk banyak indeks kualitas negara dalam melindungi kepemilikan warganya, Indonesia termasuk sebagai negara yang buruk. Transparency International memberi nilai merah buat Indonesia dalam Global Corruption Barometer Asia 2020 (30/100) dan Corruption Perceptions Index 2020 (37/100). Freedom House pada tahun 2021 memberi status partly free Indonesia dengan angka 59. The Economist Intelligence Unit 2020 memberi nilai 6.3. Lalu dalam Index of Economic Freedom 2021 dari The Heritage Foundation, Indonesia punya nilai yang amat rendah dalam aspek Rule of Law (38,6 dalam Property Rights, 43.2 dalam Judicial Effectiveness, dan 39.9 dalam Government Integrity).

Murray N. Rorthbard dalam “Anatomy of The State” (2009) menjelaskan bahwa batasan kekuasaan negara adalah hukum. Tanpa hukum, kekuasaan menjadi otoriter. Ia akan seenaknya melakukan apa saja, bahkan mengabaikan otonomi diri dan hak kepemilikan kita sebagai warga.

Rorthbard menjelaskan hukum yang begitu penting sebagai batasan kekuasaan, dengan pengingatan sejarah. Kekuasaan dulunya dimiliki pihak yang tunggal lalu berubah dengan pencatatan aturan dan pembagian kekuasaan. Raja yang mengklaim mempunyai kekuasaan dari Tuhan dibatasi dengan penulisan hukum, apa saja yang diklaim sebagai kekuasaan dari Tuhan. Melalui penulisan hukum ini dengan sendirinya kekuasaan jadi terbatas karena bentuk-bentuk kekuasaan hanya sebatas dari apa yang dituliskan (Rothbard, 2009).
Seorang penguasa akan dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan apapun yang dikehendakinya, yang niscaya membawa pada jurang totalitarianisme. Karena itu, kedaulatan hukum harus menjamin kedualatan kebebasan individu (Kurniawan, 2019).

Dari pengalaman di sejumlah negara, termasuk Indonesia, kekuasaan penyelenggaraan negara cenderung meluas dan mengintervensi ranah privat, serta mengurangi bahkan menghilangkan kepemilikan individu warga.
Oleh karena itu, hukum harus menjadi pembatas kekuasaan negara yang semestinya memang terbatas. Dengan demikian, kekuasaan negara penting dikembalikan kepada dasarnya, yaitu melindungi HAM. Ini yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia disebut sebagai tujuan negara, melindungi segenap bangsa, juga tentu saja segala hak-hak warga dalam Undang-Undang HAM.

****

REFERENSI

Kurniawan, Haikal. 2019. “Konsep HAM Murray Rothbard”. Dalam Libertarianisme: Perspektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejahteraan. Jakarta: Suara Kebebasan.

Rothbard, Murray. 1998. The Ethics of Liberty. New York: New York University Press.

Rorthbard, Murray N. 2009. Anatomy of The State. Auburn: Mises Institute.

Palmer, Tom G. 2017. “Politik dan Kebebasan”. Terjemahan: Suara Kebebasan. Jakarta: Suara Kebebasan.