
Memasuki usia dua puluh tahun, saya mulai mendapati diri saya yang selalu bertanya tentang banyak hal. Tidak jarang, saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa tidak semua hal harus dipertanyakan dan tidak semua pertanyaan memiliki jawaban.
Dalam sebuah diskusi, seorang teman menegur saya karena pertanyaan saya yang tidak masuk akal, dan saya seringkali kehilangan fokus ketika sedang mengerjakan sesuatu hanya karena otak yang saya tidak pernah berhenti mengeluarkan pertanyaan yang seringkali tidak saya mengerti.
Ketika saya menyelesaikan buku-buku dengan latar sebelum kemerdekaan dan masa Orde Baru, seperti Novel ‘Gadis pantai’ dan ‘Laut Bercerita’, saya merasa beruntung hidup sebagai seorang anak perempuan yang tumbuh dan berkembang di era sekarang, di mana saya bisa dengan bebas mengutarakan pendapat saya dan memperjuangkan hak-hak saya sebagai individu. Terlebih lagi, saya bisa dengan bebas menempuh pendidikan tanpa batasan.
Berbeda dengan orang-orang yang hidup di masa itu. Mereka bahkan tidak bisa bebas hidup atas diri mereka sendiri. Mereka kerap kali menjadi budak karena keserakahan orang lain. Seperti dalam buku Max Havelaar, pada kisah Saija dan Adinda, di mana yang menindas bangsa kita bukan hanya para penjajah, namun bangsa kita sendiri.
Setahun terakhir saya mulai membuat moto untuk diri saya sendiri, yaitu ‘mandiri dan bahagia’. Namun, akhir-akhir ini, saya mulai mempertanyakan kembali makna dari kata mandiri, apakah kebebasan yang saya inginkan? Apakah makna dari kata bebas? Bisakah saya menjadi individu yang bebas tanpa merengut kebebasan individu lain?
Sebagai individu, tentu saya saya sangat mendambakan kebebasan. Saya ingin melakukan banyak hal yang membuat saya merasa bahagia atas hidup saya. Saya ingin bebas menyuarakan pendapat saya dengan lantang dan saya ingin hidup beragama sesuai dengan pilihan saya sendiri. Tidak ada seorangpun yang mau hidupnya didikte oleh orang lain.
Namun, semakin saya bertumbuh dewasa, saya semakin paham bahwa tidak akan pernah ada kebebasan secara mutlak, setidak-tidaknya masih dibatasi oleh hak atas individu lain. Kebebasan akan selalu memiliki batasan.
Saya mulai berfikir kembali, bagaimana jika kebebasan tidak pernah memiliki batasan? Akan menjadi apa bumi ini?
Dalam buku “Libertarianisme: Perspektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejahteraan” (2019) yang merupakan kompilasi artikel yang diterbitkan oleh Suara Kebebasan, saya menemukan sebuah pemikiran yang cukup menarik perhatian saya, bahwa kita perlu memisahkan antara ruang privat dan ruang publik. Artinya, ruang privat adalah domain individual, di mana individu bebas mengeksekusi kebebasannya dan tidak ada satupun pihak (termasuk pemerintah) yang boleh mencederai kebebasan tersebut. Sedangkan ruang publik adalah ruang bersama, di mana individu harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang disepakati secara bersama.
Namun, muncul pertanyaan yang cukup pelik: bagaimana jika terjadi penindasan hak-hak individu di dalam ruang privat? Apakah negara punya otoritas untuk mengintervensi penindasan tersebut? Sebagaimana kita tahu, kasus penindasan hak dan kebebasan tidak kenal tempat.
Misalnya, seorang penikmat ilmu pengetahuan tetapi ia bukan seorang terpelajar yang memiliki gelar. Kemungkinan besarnya ia akan kesulitan mendapatkan sebuah jabatan dalam pekerjaan, hanya karena ia tidak memiliki gelar padahal ia membunyai keahlian. Terlebih lagi ia adalah seorang perempuan, di mana perempuan kerapkali dianggap mahluk yang lemah dan selalu dinomorduakan. Secara tidak langsung, sebagai seorang perempuan dan penikmat ilmu pengetahuan, ia kehilangan hak dalam berekspresi dan tidak mampu menyampaikan apresiasinya, serta menunjukkan keahliannya hanya karena ia bukan seorang terpelajar yang memiliki gelar.
Referensi
Suara Kebebasan. 2019. Liberalisme: Perspektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejateraan. Jakarta: Suara Kebebasan.

Yovita DJ adalah Mahasiswa di Perguruan Tinggi yang ada di Kubu Raya. Peserta Kelas Daring “Mengenal Libertarianisme” Suara Kebebasan (Mei 2022)