Hasil Jauh Lebih Penting Dibandingkan Intensi

    382

    Sosialisme tidak akan pernah mati, selama masih ada kemiskinan, dan ketidakadilan”, ucap salah satu kawan saya ketika kami sedang makan bersama. Sosialisme, bagi kawan saya tersebut, merupakan gagasan mulia karena didorong oleh keinginan untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

    Bila kita mendatangi atau menyaksikan berbagai pertemuan hingga demonstrasi yang diorganisir oleh berbagai kelompok-kelompok sosialis kiri, kita bisa dengan mudah mendengar berbagai retorika dengan intensi yang sangat mulia untuk mengubah dunia. Mereka ingin menghancurkan kapitalisme untuk membangun dunia yang lebih sejahtera, tidak ada kemiskinan, dan menghapuskan segala bentuk ketidakadilan.

    Kapitalisme dianggap sebagai sistem jahat yang menghalangi umat manusia untuk mendapat dan mencapai hal tersebut. Sistem ekonomi yang bertumpu pada persaingan dan kepemilikan pribadi dilihat sebagai hal yang hanya melahirkan ketidakadilan dan opresi.

    Oleh karena itu, sistem kapitalisme harus dihancurkan agar umat manusia bisa hidup dalam keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Bila sistem jahat tersebut tidak dihancurkan, dan digantikan dengan sosialisme, maka mustahil kita dapat menegakkan keadilan dan menikmati kesejahteraan.

    Membangun dunia yang penuh dengan keadilan dan kesejahteraan tentu merupakan sesuatu yang mulia, dan sangat patut kita dukung sepenuhnya. Namun, apakah sosialisme merupakan jalan yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut?

    *****

    Bila kita lihat sekilas, kapitalisme memang terlihat sebagai sistem kejam yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai keadilan. Kapitalisme merupakan sistem yang membagi masyarakat menjadi kelas-kelas sosial, di mana ada mereka yang memiliki kekayaan, dan mereka yang menjadi pekerja.

    Di dalam sistem kapitalisme, kita didorong untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, kita semua dipaksa bersaing satu sama lain, di mana mereka yang menang akan memiliki kekayaan yang besar, sementara mereka yang mengalami kekalahan harus menerima kekalahan tersebut, dan tidak jarang kehilangan banyak harta benda yang dimiliki.

    Sebaliknya, sistem yang membagi seluruh kekayaan secara merata, menghapuskan kelas-kelas sosial, dan mendorong kita untuk saling berkooperasi dan tidak mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, bagi banyak orang merupakan sistem yang mulia. Bila kita bisa menegakkan sistem yang bertumpu pada prinsip-prinsip tersebut, maka akan melahirkan keadilan dan kesejahteraan.

    Hal semacam ini secara sekilas memang terlihat masuk akal. Tetapi, memiliki intensi yang mulia saja tidak cukup bila kita ingin membangun dunia yang baik. Kita juga harus mampu untuk melihat hasil dari sistem yang kita inginkan tersebut, karena kita hidup di dunia nyata, dan bukan di alam pikiran belaka.

    Intensi kaum sosialis untuk membangun dunia yang adil dan sejahtera nyatanya melahirkan hasil yang berbeda 180 derajat dari intensi yang mereka miliki. Sejarah sudah membuktikan bahwa, sistem yang bertujuan untuk menghapuskan kelas sosial, membagikan kekayaan, dan melarang kompetisi justru melahirkan ketidakadilan dan kemiskinan yang besar.

    Di negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, yang menerapkan kepemilikan bersama dan berupaya menghapuskan kelas sosial justru berakhir dengan bencana. Bukannya melahirkan egalitarianisme, negara-negara sosialis seperti Uni Soviet justru melahirkan kelas sosial baru, yakni para petinggi partai komunis yang menjadi penguasa, yang memiliki kekuasaan politik absolut untuk mengendalikan gerak-gerik warganya (communistcrimes.org, 28/10/2020),

    Kepemilikan bersama dan penghapusan kompetisi yang diterapkan di negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, China, dan Kuba juga terbukti gagal melahirkan kesetaraan. Yang terjadi, justru munculnya segelintir elit partai yang memiliki kekuasaan untuk mengatur seluruh sumber daya ekonomi di negara tersebut, yang tidak jarang justru digunakan untuk memenuhi keinginan diri mereka sendiri (smallbusiness.chron.com, 10/12/2018).

    Tidak hanya itu, para petinggi dan elit-elit partai di negara-negara sosialis juga kerap memiliki berbagai keistimewaan yang tidak bisa diakses oleh masyarakat umum. Mereka memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan spesial dan toko-toko khusus yang hanya bisa dimasuki oleh para elit partai. Tidak jarang, anak-anak mereka juga mendapatkan keistimewaan untuk mengakses berbagai universitas peringkat tinggi. Hal ini tentu sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang digaungkan oleh para kelompok kiri (latimes.com, 17/3/1986).

    Kesejahteraan yang diimpikan oleh kaum sosialis akan lahir bila kapitalisme dihancurkan juga tidak lebih dari angan-angan belaka. Sejarah membuktikan performa ekonomi di negara-negara sosialis sangat jauh di bawah negara-negara yang menerapkan ekonomi pasar bebas.

    Bila kita melihat perbandingan GDP per kapita antara Uni Soviet yang menerapkan sistem sosialisme misalnya, dengan Amerika Serikat yang menerapkan sistem ekonomi berbasis kebebasan pasar, maka kita akan melihat ketimpangan yang luar biasa. Pada tahun 1990, GDP per kapita Amerika Serikat mencapai USD23.000, sementara Uni Soviet hanya mencapai USD6.400 (voxeu.org, 7/11/2017).

    Perbandingan ini juga bisa dilihat antara Jerman Barat yang menerapkan sistem ekonomi pasar bebas dengan Jerman Timur yang menerapkan sistem ekonomi komando ala Uni Soviet sebelum reunifikasi. Pada tahun 1990, GDP per kapita Jerman Barat mencapai di atas USD18.000, sementara Jerman Timur tidak sampai USD10.000 (fee.org, 11/5/2019).

    Sistem kapitalisme, yang secara sekilas terlihat dingin dan kejam, karena membuat masyarakat terbagi dalam kelas-kelas sosial dan memaksa kita untuk saling berkompetisi, justru sudah terbukti merupakan sistem yang telah berhasil mendorong inovasi yang membahwa kesejahteraan dan kemakmuran. Kapitalisme, yang menjunjung tinggi kepemilikan pribadi, berarti membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh para elit politik dan pejabat negara, karena mereka tidak bisa menguasai dan mengatur seluruh sumber daya ekonomi di suatu negara.

    Sejarah sudah membuktikan bahwa, intensi sosialisme untuk menghapuskan kelas sosial dan membagikan kekayaan demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan tidak lebih dari khayalan belaka. Meskipun demikian, bukan berarti lantas gagasan ini menjadi mati dan tidak lagi diminati oleh jutaan orang.

    Saat ini, sosialisme seakan kembali ke permukaan, khususnya di kalangan anak-anak muda di negara-negara Barat. Berdasarkan laporan dari majalah The Economist misalnya, 51% kalangan muda di Amerika Serikat berusia 18-29 tahun memiliki pandangan yang positif terhadap sosialisme (economist.com, 14/2/2019).

    Sosialisme, meskipun dengan segala kegagalannya, masih kerap digandrungi oleh banyak kalangan, karena memang sistem tersebut memiliki intensi yang baik. Sosialisme ingin membangun dunia yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan. Siapa yang tidak ingin, tinggal di dunia yang adil dan sejahtera?

    Hal ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan. Bila kita ingin menerapkan suatu sistem sosial, tentu fokus kita harus terarah pada hasil, dan bukan intensi. Bila kita memiliki intensi baik dan menghasilkan hasil yang buruk, maka tentu intensi tersebut menjadi tidak berguna, dan justru menjadi sangat berbahaya. Itulah pentingnya kita untuk belajar dari sejarah, agar kita tidak kembali mengulangi kesalahan fatal di masa lalu.

    Sebagaimana yang diungkapkan oleh ekonom Amerika Serikat peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1976, Milton Friedman, “Menilai suatu kebijakan atau program berdasarkan intensinya daripada dengan hasilnya adalah suatu kesalahan yang sangat besar.”

     

    Referensi

    https://communistcrimes.org/en/elite-and-their-privileges-soviet-union Diakses pada 19 Mei 2021, pukul 21.05 WIB.

    https://www.economist.com/leaders/2019/02/14/millennial-socialism Diakses pada 20 Mei 2021, pukul 00.45 WIB.

    https://fee.org/articles/comparing-the-economic-growth-of-east-germany-to-west-germany-a-history-lesson/ Diakses pada 19 Mei 2021, pukul 23.50 WIB.

    https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1986-03-17-me-22368-story.html Diakses pada 19 Mei 2021, pukul 22.35 WIB.

    https://smallbusiness.chron.com/economic-system-communism-5193.html Diakses pada 19 Mei 2021, pukul 21.40 WIB.

    https://voxeu.org/article/soviet-economy-1917-1991-its-life-and-afterlife Diakses pada 19 Mei 2021, pukul 23.20 WIB.

    https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1986-03-17-me-22368-story.html Diakses pada 19 Mei 2021, pukul 22.35 WIB.