Haruskah Setiap Negara Menganut Sistem Demokrasi?

    417

    Sistem demokrasi adalah sistem politik yang paling populer di zaman ini. Demokrasi menjadi salah satu sistem yang positif karena dianggap telah mengakomodir suara rakyat luas tanpa melihat pangkat dan jabatan.

    Sebagai sebuah sistem politik, banyak negara berlomba-lomba untuk mengadopsi sistem demokrasi ke dalam tata negara mereka. Mungkin karena demokrasi identik dengan “pemerintahan rakyat”, sehingga, beberapa politisi dan aktivis kebebasan, secara lugas memberikan dukungan terhadap demokrasi.

    Sebagaimana yang telah pembaca ketahui, sistem demokrasi saat ini sudah tumbuh subur dari Barat hingga ke Timur. Uniknya, selain negara liberal, negara-negara yang berbasis pada ideologi sosialisme, agama, dan militeristik juga mengadopsi sistem ini ke negara mereka, seperti adalah Korea Utara dan Mesir.

    Korea Utara adalah negara yang dipimpin oleh rezim satu partai yaitu Partai Buruh yang berhaluan komunisme. Negeri itu pun dipimpin oleh dinasti keluarga, yaitu keluarga Kim yang sedari awal Korea Utara berdiri keluarga tersebut sudah memegang kendali.

    Uniknya, meski berhaluan komunis dan hanya memiliki satu partai, namun Korea Utara mengklaim bahwa negaranya berpijak pada sistem demokrasi. Hal ini tercermin pada nama negara tersebut: Republik Demokratik Korea.

    Konon kabarnya, Korea Utara juga memiliki sistem voting atau pemungutan suara. Ketika pemungutan suara terjadi, maka setiap orang diwajibkan menggunakan hak pilihnya tanpa terkecuali. Dari pemilihan tersebut, kemudian lahirlah wakil-wakil rakyat yang akan memegang peran penting di Korea Utara, inilah yang dimaksud dengan Demokrasi di Korea Utara (Tirto.id, 21/3/2019).

    Di negara kita, Indonesia, istilah demokrasi juga menjadi istilah yang akrab di telinga. Tentu jika kita membaca buku sejarah, pasti akan kita jumpai istilah “Demokrasi Pancasila” dan “Demokrasi Terpimpin”. Kedua corak demokrasi tersebut memiliki konsep dasar, yakni kedaulatan di tangan rakyat. Namun, pemerintah tidak membiarkan rakyat bertindak bebas.

    Demokrasi terpimpin memiliki seorang pemimpin tertinggi yang mengomando jalannya pemerintahan. Demokrasi Pancasila yang populer di era Orde baru juga memiliki konsep yang unik, yaitu ketiadaan oposisi. Dalam Demokrasi Pancasila, oposisi adalah perpecahan yang dianggap membahayakan bagi stabilitas nasional. (Soeharto, 1989)

    Artikel ini tidak membahas mengenai sejarah dan praktik demokrasi di berbagai negara, tetapi membaca ulang apa tujuan dasar dari demokrasi. Apakah demokrasi adalah sistem final yang harus diterapkan oleh negara-negara modern di seluruh dunia?

    *****

    Jika kita bertanya pada orang awam tentang, apa itu demokrasi? Kita bisa membayangkan bahwa yang terbesit di pikiran sebagian orang tentang demokrasi adalah “voting”, pemilihan umum, kedaulatan rakyat, atau dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.

    Dan celakanya, ada yang memukul rata bahwa demokrasi adalah sistem yang menjunjung pendapat terbanyak atau suara mayoritas. Jika satu kebijakan didukung oleh mayoritas suara di DPR/MPR, maka kebijakan tersebut harus diambil untuk melaksanakan demokrasi.

    Pandangan (yang menyamakan demokrasi dengan mayoritarian) jelas tidak sepenuhnya benar. Hal ini sama kelirunya dengan pandangan yang berpendapat bahwa demokrasi adalah pemilihan umum tok.

    Tetapi, memang benar di dalam demokrasi terdapat mekanisme pemilihan umum, tidak salah pula orang yang berpendapat bahwa keputusan yang diambil dalam pemilihan tersebut adalah suara terbanyak (mayoritas). Tetapi yang harus dicatat adalah, inti dari konsep demokrasi tidak seperti itu.

    Demokrasi tidak hadir sekonyong-konyong untuk memilih pemimpin. Demokrasi berlaku di negara-negara bebas bukan untuk melindungi kelompok mayoritas. Sebab, yang musti dipahami oleh orang-orang adalah, demokrasi dibentuk untuk menjamin hak dan kebebasan individu dalam sebuah masyarakat.

     

    Demokrasi Tapi Tidak Merawat Kebebasan?

    Demokrasi memiliki cita-cita mulia, yaitu agar rakyat bisa mengontrol pemimpinnya. Kenapa kontrol itu harus dilakukan? Jawabnya karena pemimpin, baik raja atau presiden bukanlah seorang ma’shum (tanpa cacat).

    Di suatu zaman, seorang kepala negara bisa memanfaatkan kekuasaan untuk menindas dan mengambil hak rakyatnya, karena itulah mekanisme demokrasi dibentuk agar rakyat bisa membatasi ruang gerak sang pemimpin agar tak menjadi tirani.

    Fokus utama demokrasi adalah “menjaga kebebasan rakyat”. Setiap orang memiliki hak asasi yang tak bisa dicabut. Setiap orang memiliki kebebasan dan mendapat jaminan hukum dan keadilan. Kontrol terhadap penguasa melalui mekanisme demokrasi, diharapkan dapat menjaga kebebasan dan keamanan bagi segenap rakyat.

    Namun celakanya, tujuan dari demokrasi ini, justru mulai hilang. Demokrasi “dikorupsi” menjadi kebebasan rakyat ketika berada di bilik pemungutan suara. Banyak orang menganggap bahwa dengan adanya pemilihan umum selama lima tahun sekali dan juga adanya lembaga legislatif di pusat dan daerah, maka demokrasi dianggap sudah terlaksana secara sempurna.

    Akhirnya, demokrasi hanya dianggap sebagai sistem seremonial saja. Ada pemilu, ada parlemen, maka itu demokrasi. Sehingga, jika pemerintahan hasil pemilu menciptakan hukum yang mengekang kebebasan dan juga mengabaikan hak asasi, dianggap benar karena mereka dipilih secara demokratis, justru orang yang menentang malah dianggap tidak demokratis.

    Contoh mengenai kasus demokrasi di atas terjadi di Korea Selatan, Mesir, Rusia, China, bahkan Iran. Negara-negara yang cenderung totaliter tersebut tetap menggunakan istilah demokrasi dalam pemerintahannya, tapi memangkas kebebasan dan hak asasi warga negara dalam praktiknya.

    *****

    Patut untuk diketahui bahwa demokrasi lahir dari rahim kebebasan. Kehendak manusia untuk merdeka dan juga keinginan untuk menciptakan sistem yang menaungi semuanya, mendorong para pemikir untuk menyempurnakan sistem demokrasi.

    Dalam demokrasi, semua suara masyarakat baik pro dan kontra bisa ditampung dan hak politik dapat terjamin dengan bebas. Tapi mirisnya, filosofi dasar ini yang dilupakan banyak orang, sehingga demokrasi dianggap sebagai kepunyaan si mayoritas.

    Siapa yang memiliki suara terbanyak, maka itulah demokrasi. Sisi lemah dari mekanisme voting yang terdapat dalam sistem demokrasi ini yang kemudian digugat oleh Murray Rothbard. Rothbard menyadari bahwa, demokrasi itu sendiri dilematik, karena dalam praktiknya, ia bukan saja bisa menghasilkan mayoritarianisme yang menyudutkan minoritas, tetapi bahkan ia bisa menjadi transisi kepada sistem diktator, seandainya mayoritas secara bulat memilih pemimpin anti kebebasan sebagai pemimpin melalui sistem demokratis (Rothbard, 2020).

    Pernyataan Rothbard dapat merepresentasikan sikap seorang libertarian. Libertarian sebagai sebuah gagasan memang bersikap kritis dan skeptis terhadap demokrasi. Ya, meskipun demokrasi itu lahir dari pemikiran liberal, namun para intelektual libertarian percaya bahwa demokrasi itu sendiri bisa menjadi senjata mematikan untuk kebebasan (Rothbard, 2020).

    Sistem voting digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan regulasi yang anti kebebasan. Misalnya, UU ITE salah satu contohnya. Sistem “suara terbanyak” ini juga dilakukan oleh kelompok fundamentalis di Kalimantan, di mana ratusan orang menyerbu masjid milik komunitas Muslim Ahmadiyah dan menghancurkannya.

    Will Durant dalam The Story Civilization, mengatakan bahwa apapun bentuk dan sistemnya, politik akan bersifat pragmatik dan juga kompromis. Oleh sebab itu, libertarian memiliki prinsip, apapun sistemnya selama tidak menjunjung kebebasan, maka harus dilawan. (Durant, 1993).

    Lalu, jika sebuah negara menganut sistem kerajaan tapi menjunjung kebebasan dan menjaga hak sipil, apakah tetap harus didukung?

    Ya, tidak harus demokrasi. Libertarian tidak peduli apakah suatu negara menganut sistem kerajaan, plutokrasi, aristokrasi, atau apapun. Yang jelas, selama kebebasan dan hak individu, hak berpolitik, dan supremasi hukum dapat berjalan secara baik, tentu  tidak masalah.

    Jika misalnya ada yang masih menganut sistem monarki bisa memelihara kebebasan, menjaga hak sipil dan menjamin keamanan warganya, maka ini lebih baik ketimbang suatu negara menganut sistem demokrasi seperti di Korea Utara.

     

    Referensi

    Durant, Will. 1993. The Story of Civilization. New York: MJS Books.

    Ramadhan K. H. (Editor). 1989. Soeharto: Pikiran,  Ucapan dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Kharisma Bunda.

     

    Internet

    http://www.anthonyflood.com/rothbarddemocracy.htm Diakses pada 5 Desember 2021, pukul 13.43 WIB.

    https://tirto.id/lelucon-lima-tahunan-itu-bernama-pemilu-demokratis-di-korea-utara-djU7 Diakses pada 5 Desember 2021, pukul 13.39 WIB.