“Haruskah kita membela hak individual seseorang, seperti hak mereka untuk bebas berbicara dan berpendapat, yang gemar mengancam kebebasan individu orang lain?”
Inilah pertanyaan yang hampir beberapa bulan ini terus menghantui pikiran saya. Secara konseptual, kebebasan individu merupakan inti dari gagasan yang diperjuangkan oleh libertarianisme dan harus dapat dinikmati oleh setiap orang, termasuk mereka yang memiliki gagasan untuk mencederai kebebasan orang lain.
Kebebasan individu merupakan hal yang sangat dijunjung tinggi oleh libertarianisme dan diyakini sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Bagi seorang libertarian, kebebasan individu dijaga dan diperjuangkan bukan dengan embel-embel tujuan lain, seperti bahwa kebebasan individu niscaya akan membawa kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, dan lain-lain. Kebebasan individu adalah tujuan akhir dari gagasan libertarianisme itu sendiri, dan ia harus diperjuangkan secara total dan penuh semangat tanpa pandang bulu.
Oleh karena itu, hampir sebagian besar mereka yang menyatakan dirinya sebagai libertarian, baik yang menjadi kawan saya secara personal maupun yang hanya saya kenali melalui literatur yang mereka tulis, selalu menentang keras semua upaya, khususnya yang dilakukan oleh negara, yang dianggap merupakan bentuk pelanggaran atas kebebasan individu. Pembubaran organisasi, pemblokiran website, hingga penangkapan seseorang dikarenakan mengemukakan pandangan tertentu kepada publik merupakan segelintir hal yang dianggap merupakan bentuk dari pelanggaran kebebasan individu tersebut.
Bagi seorang libertarian, bentuk dari bagaimana individu menggunakan kebebasan yang dimilikinya tidaklah penting. Libertarianisme tidak memiliki persoalan mengenai bagaimana individu menggunakan kebebasannya, seperti apakah ia menggunakan kebebasan berbicaranya untuk menyampaikan pesan damai dan toleransi atau menyatakan bahwa kelompok keagamaan yang berbeda adalah sesat, apakah ia menggunakan kebebasan berkumpul dan berserikat untuk menggalang dana bagi korban bencana alam, atau untuk mengadakan acara keagamaan yang mengindoktrinasi masyarakat. Semua adalah sama, dan selama individu atau kelompok tersebut tidak melakukan tindak kekerasan fisik kepada orang lain, maka mereka semua memiliki hak yang setara untuk menggunakan kebebasannya.
Sikap tersebut memang terlihat sangat konsisten. Apabila Anda memang menyatakan diri sebagai seseorang yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu, maka secara konsisten Anda juga harus bersedia untuk membela kebebasan setiap manusia, siapapun dia serta apapun pandangannya terhadap dunia.
Namun, bagaimana bila Anda memutuskan untuk menolak membela kebebasan individu seseorang yang gemar mengancam dan mencederai manusia lain? Apakah ke-“libertarianan” Anda menjadi berkurang? Apakah lantas Anda menjadi “libertarian munafik?”
*****
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu mengenai etika dasar dari libertarianisme. Ekonom dan sejarawan Amerika Serikat, Murray Rothbard, pada bagian awal bukunya, “For A New Liberty: A Libertarian Manifesto”, menulis bahwa kredo libertarianisme terletak pada 1 aksioma, yakni bahwa tidak ada satupun individu ataupun kelompok yang berhak untuk melakukan agresi terhadap orang lain ataupun properti yang mereka miliki, atau yang dikenal dengan nama prinsip non-agresi (non-aggression principle).
Jika tidak ada seorang pun individu atau kelompok yang berhak untuk melakukan agresi, maka dengan kata lain libertarianisme mengakui bahwa setiap individu berhak untuk terbebas dari agresi oleh siapapun, termasuk dari negara, selama ia tidak melakukan hal yang mencederai kebebasan individu lainnya.
Pada tataran gagasan, saya sangat menyakini akan hal tersebut. Setiap individu pasti tidak ada yang ingin tubuh atau propertinya diserang oleh pihak lain dalam bentuk apapun. Tidak ada dari kita yang ingin tubuh kita disiksa, rumah kita dibakar, uang kita dicuri, kendaraan kita dirusak, dan kebebasan untuk bepergian kita dibatasi. Jika saya tidak menginginkan hal tersebut terjadi pada diri saya, maka pada saat yang bersamaan, setiap orang juga tidak boleh mengalami hal tersebut.
Sayangnya, kita tidak tinggal di dunia utopis libertarian, dimana semua individu mempercayai hal tersebut. Kita tinggal di dunia nyata, dimana tidak sedikit kelompok yang mempercayai hal yang sangat bertolak belakang dari prinsip yang dijunjung tinggi oleh libertarianisme. Dengan menggunakan klaim justifikasi dari berbagai literatur seperti kitab suci dan pemikiran politik, mereka menyatakan bahwa berbagai tindakan agresi seperti pembungkaman, perampasan, pembakaran, hingga pembunuhan merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan demi menciptakan surga di bumi.
Di Indonesia, tidak sulit kita menemukan individu atau kelompok yang memiliki pandangan demikian. Berbagai kelompok keagamaan fundamentalis misalnya, tak jarang melakukan tindakan penutupan paksa hingga vandalisme terhadap rumah ibadah agama yang dianggapnya sesat. Tidak hanya itu, melalui jalur legislasi mereka juga kerap mengkampanyekan berbagai kebijakan yang sangat melanggar kebebasan individu demi mencapai apa yang mereka anggap sebagai masyarakat yang sesuai dengan tuntunan agama dan hampir selalu upaya tersebut mudah mendapatkan dukungan.
Kelompok-kelompok tersebut menggunakan kebebasan individu yang mereka miliki untuk menyebarkan gagasan yang mengancam kebebasan anggota masyarakat lainnya. Kebebasan berbicara mereka gunakan bukan untuk memberi kritik substantif terhadap pandangan yang berbeda, namun justru dipakai sebagai alat untuk memprovokasi massa agar membenci kelompok yang berbeda. Kebebasan berkumpul dan berserikat bukan digunakan oleh mereka untuk belajar dan mengembangkan ide-ide kreatif yang dapat membantu sesama, namun justru digunakan untuk memobilisasi massa dan memaksa negara mengambil kebebasan yang dimiliki oleh warga lainnya.
Tak jarang negara mengambil berbagai langkah keras dalam menghadapi berbagai kelompok tersebut, mulai dari pembubaran organisasi hingga penangkapan anggota-anggota yang terlibat. Disinilah bagi saya seorang libertarian harus berani mengambil sikap, dan tidak mengejutkan bahwa hampir semua kawan saya yang menyatakan dirinya sebagai libertarian sangat menentang langkah yang diambil oleh negara tersebut.
Sebagaimana yang sudah saya paparkan sebelumnya, mereka menyatakan bahwa kebebasan individu adalah sesuatu yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia, dan tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Kebebasan yang dimaksud dalam hal ini diantaranya adalah kebebasan berbicara dan berkumpul yang wajib dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat dan oleh karena itu sudah selayaknya seorang libertarian menentang seluruh upaya negara yang mencederai kebebasan individu.
Disinilah saya memiliki perbedaan pandangan dengan kawan-kawan libertarian saya, terutama bila dihubungkan dengan prinsip dasar dari gagasan libertarianisme, yakni non-aggression principle atau prinsip non-agresi. Prinsip non-agresi secara jelas menyatakan bahwa tidak ada individu yang berhak untuk melakakukan tindakan agresi terhadap orang lain ataupun properti yang dimilikinya, dan prinsip tersebut tidak menyatakan bahwa seseorang wajib untuk membela individu atau kelompok lain yang kebebasannya dicederai.
Tidak melakukan agresi dan membela seseorang yang hak individunya dicederai merupakan dua hal yang sangat berbeda. Menolak membela kebebasan individu seseorang atau kelompok terterntu dan melakukan tindakan yang mencederai kebebasan individu merupakan sesuatu yang tidak sama.
Selain itu, pengakuan bahwa suatu tindakan yang dilakukan seseorang sebagai sesuatu yang salah bukan berarti lantas mewajibkan kita untuk memberi perlawanan terhadap subjek yang melakukan tindakan tersebut. Saya boleh mengakui, bahwa dari sudut pandang libertarian tindakan negara memenjarakan seseorang yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain kepada masyarakat, atau langkah negara membubarkan organisasi keagamaan fundamentalis tertentu sebagai sesuatu yang melanggar kebebasan individu, dalam hal ini kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul. Namun, bukan berarti setiap orang yang menyebut dirinya sebagai libertarian lantas memiliki kewajiban untuk membela para penyebar kebencian atau organisasi keagamaan fundamentalis tersebut.
Inilah posisi saya sekarang dalam menyikapi berbagai fenomena penangkapan pihak-pihak yang dituduh melakukan ucapan kebencian serta pembubaran organisasi keagamaan fundamentalis tertentu yang terjadi belakangan ini. Saya tidak akan bersedia untuk terlibat dalam tindakan tersebut, seperti menjadi pelapor. Saya juga menyetujui apabila seluruh peraturan yang mencederai kebebasan individu, yang memberikan legitimasi kepada negara untuk mengambil langkah tersebut, untuk dicabut. Di sisi lain, saya juga tidak akan membela pihak-pihak yang ditangkap dan organisasi yang dibubarkan tersebut, apabila memang terbukti bahwa pihak dan organisasi tersebut memang terbukti gemar menyebarkan gagasan kebencian yang bertujuan untuk mengambil kebebasan yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu.
Apa yang menjadi alasan saya dalam mengambil langkah tersebut? Jawabannya sangat sederhana, karena saya melihat bahwa segala upaya yang selama ini dilakukan oleh kelompok dan organisasi pro-kebebasan dalam memperjuangkan kebebasan individu memiliki hasil yang sangat minim. Di kalangan pemuda misalnya, pada tahun 2016 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis survei dengan hasil bahwa lebih dari 80% siswa menyetujui penerapan syariat Islam di Indonesia. (Sumber: http://lipi.go.id/berita/single/Radikalisme-Ideologi-Menguasai-Kampus/15082 )
Berbagai kelompok anti kebebasan, terutama yang berlandaskan agama tersebut menyadari, bahwa mereka bisa memanfaatkan angin segar kebebasan dan keterbukaan yang ditawarkan oleh reformasi untuk menyebarkan gagasan yang secara langsung mengancam iklim kebebasan yang mereka dapat nikmati. Baik melalui upaya legislasi ataupun aksi kekerasan langsung, mereka terus berupaya untuk menggerus kebebasan individu dan kelompok lain yang berbeda. Di sisi lain, orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai libertarian seolah tidak memiliki pilihan lain, selain untuk membela kebebasan berbagai kelompok keagamaan fundamentalis yang terus berupaya untuk menggerus kebebasan individu lainnya.
Seperti yang sudah saya bahas di paragraf sebelumnya, menurut pandangan saya hal demikian terjadi karena ada kesalahan pemahaman terhadap prinsip non-agresi yang merupakan kredo dari libertarianisme. Sekali lagi, prinsip non-agresi berarti bahwa siapapun tidak boleh melakukan agresi terhadap individu lain ataupun properti yang mereka miliki dalam bentuk apapun, seperti pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pencurian, perampasan, perusakan, dan sebagainya. Prinsip non-agresi bukan berarti mewajibkan setiap orang yang mengklaim dirinya sebagai libertarian untuk membela siapapun yang hak individunya dicederai oleh pihak lain.
Filsuf ternama Karl Popper, dalam bukunya “The Open Society and It’s Enemies” memperingatkan kita akan bahaya mentoleransi kelompok intoleran di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, karena hal tersebut niscaya akan menghancurkan nilai-nilai toleransi itu sendiri. Bagi saya, dengan kita menolak membela hak individu pihak-pihak yang gemar mengancam kebebasan orang lain, hal tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap kelompok intoleran yang paling sesuai dan sejalan dengan prinsip dasar libertarianisme, yakni prinsip non-agresi.
Selain itu, melihat fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, ternyata adanya peraturan yang mencederai kebebasan individu bukan hanya dapat memakan korban dari individu-individu damai yang tidak pernah menyakiti siapapun, namun juga dapat mengancam pihak-pihak yang mendukung keras adanya peraturan tersebut. Salah satu organisasi massa Islam garis keras misalnya, pada tahun 2008 menuntut Dewan Perwakilan Rakyat untuk mensahkan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang tentunya sangat melanggar kebebasan individu, diantaranya adalah kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, hak atas tubuh dan hak atas privasi dari kacamata libertarianisme. Tidak hanya itu, organisasi massa ini juga memiliki track record gemar melaporkan pihak-pihak yang dianggap telah melakukan pelanggaran susila dengan membuat foto dan video yang bermuatan unsur pornografi, salah satunya adalah serang vokalis band ternama.
Namun ternyata, Undang-Undang tersebut dapat berbalik arah. Pada tahun 2017 lalu, pendiri dan pemimpin dari organisasi massa keagamaan garis keras tersebut justru terkena jeratan Undang-Undang Pornografi dikarenakan beredarnya screenshot chatting pemimpin organisasi tersebut dengan seorang perempuan yang dianggap bermuatan unsur pornografi. Pemimpin dari organisasi massa tersebut saat ini masih dalam pelarian ke salah satu negara Timur Tengah sehingga kasusnya tidak bisa diproses oleh hukum. Menyikapi kasus tersebut, sebagian teman-teman libertarian saya menyatakan bahwa mereka akan membela pemimpin organisasi massa tersebut karena mereka menganggap kasus tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan individu.
Dalam tataran gagasan saya sepakat bahwa hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan individu, namun bukan berarti lantas hal tersebut mewajibkan saya untuk membela pemimpin organisasi massa tersebut. Tidak bisa dilupakan bahwa orang tersebut dan organisasi yang dipimpinnya merupakan salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengadvokasi Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang telah merenggut kebebasan individu sekian banyak orang dalam ruang privatnya dan terhadap tubuh yang dimilikinya.
Ketidakberhasilan kelompok pro-kebebasan dalam menyebarkan gagasan libertarianisme yang menjunjung tinggi kebebasan individu merupakan sesuatu yang harus dipikirkan secara seksama. Upaya untuk membangun diskusi rasional yang menggunakan logika dan akal sehat dengan kelompok keagamaan fundamentalis sudah terbukti merupakan sesuatu yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf dan aktivis politik Amerika Serikat pada abad ke-18, Thomas Paine, bahwa mencoba membangun diskusi dengan pihak yang tidak bersedia menggunakan nalar sama saja dengan mencoba mengobati seseorang yang sudah tak bernyawa. Hal tersebut tidak ada gunanya.
Oleh karena itu, bagi saya satu-satunya cara yang tersisa agar berbagai kelompok anti kebebasan, khususnya yang berlandaskan pandangan keagamaan yang fundamentalis untuk menyadari akan bahaya dari penerapan berbagai peraturan yang mencederai kebebasan individu, seperti Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi dan berbagai produk hukum lainnya, adalah dengan mereka sendiri merasakan akibat dari produk hukum yang mereka advokasi.
Semoga saja, dengan kelompok-kelompok anti kebebasan tersebut merasakan menjadi korban dari kebijakan dan peraturan yang mereka advokasi, lantas mereka setidaknya akan menyadari bahwa adanya peraturan dan kebijakan tersebut bukan hanya saja dapat mencederai kebebasan kelompok lain yang mereka anggap musuh, namun juga dapat mencederai kebebasan kelompok mereka sendiri.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.