“Perang terjadi karena manusia berpikir pendek dan mengikuti emosi, terutama rasa takut.” Ucapan Maisie Junardy dalam Novel Man’s Defender ada benarnya. Peperangan tak jarang terjadi bukan karena manusia menginginkan perang. Emosi yang meletup, paranoid akut, dan juga pikiran negatif yang menyebabkan nalar tertutup lah yang menciptakan peperangan tersebut.
Sejarah manusia memang tak bisa lepas dari perang. Catatan sejarah bangsa-bangsa tak pernah lupa merekam peristiwa peperangan dalam sejarah suatu bangsa. Thomas Hobbes, filsuf Britania Raya berkata, bahwa manusia adalah homo homini lupus. Setiap manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di Universitas Sebelas Maret, pada 19 April 2008, yang berjudul Perang Dalam Tata Kehidupan Antarbangsa, Totok Sarsisto mengatakan bahwa dari tahun 3600 SM manusia hanya merasakan masa damai selama 292 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, tercatat bahwa manusia telah berperang sebanyak 14.531 kali dengan korban jiwa mencapai 3.640.000.000.
Dengan kata lain, walaupun kita semua menginginkan perdamaian, keharmonisan, dan juga ketentraman, faktanya kita tidak bisa mengelak bahwa ego manusia untuk berkuasa merupakan salah satu penyebab perang terus terjadi. Walaupun kita sudah berusaha sekuat hati untuk mencari jalan damai dan juga berusaha untuk menjaga perdamaian, toh peperangan dan kekerasan tetap masih dan terus.
Begitu pula jika kita melihat situasi dunia dewasa ini. Perdamaian dunia yang diimpikan oleh setiap orang nampaknya masih jauh dari harapan. Saat ini pun situasi dunia nampaknya telah memanas. Perlambatan ekonomi dunia, demonstrasi massa di berbagai negara yang telah membuat pusing para kepala negara.
Belakangan hubungan antara negara kita dengan Republik Rakyat China sedang panas-pansnya. Perseteruan dimulai ketika nelayan yang didampingi oleh kapal fregat (jenis kapal perang) secara sengaja menembus wilayah teritori Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah kedaulatan kita.
Di belahan dunia lain, drone militer milik Amerika Serikat secara sengaja membunuh pejabat tinggi militer Iran, Jenderal Qassim Sulaimani. Pembunuhan berencana ini membuat Iran berang dan menyatakan perang pada Amerika. Ketegangan hubungan Iran dan Amerika membuat kawasan Timur-Tengah menjadi tegang, bahkan ada kabar yang menyebutkan bahwa keluarga Kerajaan Arab Saudi ramai-ramai pergi ke Eropa (Tempo 7/01/2020).
Tentu saja konflik Iran dangan Amerika atau China dengan Indonesia hanyalah secuil bara dalam tumpukan kayu. Namun, dari bara tersebut bukan tidak mungkin akan menyebabkan kebakaran besar. Situasi internasional yang dipenuhi gejolak seperti sekarang ini bagaikan memberi minyak kepada tumpukan kayu.
Daoed Joesoef dalam karyanya, Pertahanan Keamanan dan Strategi Nasional, menjelaskan bahwa ada tidaknya peperangan bukan tergantung pada diri kita, tapi terletak di luar diri kita. Dengan begitu, ketika perang berkobar, walau kita tidak mau, kita tetap dipaksa untuk siap sedia.
Suasana yang panas dewasa ini, dikhawatirkan akan menimbulkan perang global yang berdampak dahsyat. Toh kita tahu bahwa Perang Dunia I terjadi hanya karena terbunuhnya seorang pangeran, dan Perang Dunia II terjadi hanya karena ego gila Hitler yang ingin mengembalikan kejayaan negaranya. Jadi bukan mustahil gejolak internal antara dua negara akan menarik negara lain ikut serta dan akhirnya terjadilah perang yang lebih besar: Perang Dunia III.
*****
Ego dan juga emosi yang menutupi akal sehat kadang menyebabkan manusia jatuh ke dalam kekejaman yang tak dilakukan oleh makhluk lain di bumi. Kita bisa lihat akibat kepongahan Hitler yang ingin mewujudkan ambisi gilanya, jutaan rakyat sipil Jerman menderita dan rakyat di negara lain mati sia-sia.
Dalam Hikayat Baratha Yudha, peperangan antara Pandawa dan Kurawa yang berlangsung secara dahsyat, pada awalnya adalah pertikaian antar saudara yang memperebutkan tahta. Namun, pertikaian keluarga ini akhirnya malah menyeret negara-negara lainnya untuk ikut serta berperang di Medan Kurusetra.
Toh walau Pandawa telah menang, mereka tidak merasa bahagia. Apa yang bisa membuat mereka berbahagia setelah perang dahsyat Baratha Yudha merenggut nyawa saudara, anak, guru, dan kakek mereka. Melalui kisah Baratha Yudha tersebut kita harus berpikir, bahwa apapun hasilnya, perang akan membawa kerusakan dan kerugian masing-masing pihak.
Jika nanti terjadi perang dunia ketiga, kosekuensinya tentu sangat besar. Kita akan kehilangan banyak insan-insan unggul yang tewas di medan pertempuran. Bonus demografi yang harusnya kita nikmati pada tahun 2030 justru melayang sia-sia karena generasi muda kita berguguran di medan pertempuran. Pun efek senjata nuklir yang mengerikan, akan mengakibatkan radiasi yang luar biasa bagi kesehatan manusia setelah perang usai.
Peperangan hanya akan menimbulkan kerusakan dan kenestapaan. Apapun hasilnya, siapapun yang menang pasti akan mengalami kerugian besar. Pencapaian yang telah kita dapatkan di era digital ini, akan hancur oleh perang. Teknologi yang susah payah kita buat justru akan membawa banyak bangsa ke dalam jurang kehancuran dan kemiskinan.
Karena itulah, sebisa mungkin manusia harus bisa menekan egonya untuk tidak berperang. Memang kita tak mungkin bisa menghilangkan perang dalam sejarah manusia, namun setidaknya kita dapat mencegahnya.
Dewasa ini, setiap individu telah terkoneksi melalui media sosial di intenet. Suku, ras, bangsa, dan geografis negara bukan menjadi halangan bagi kita untuk saling berinteraksi. Jaringan global di dunia maya yang saat ini dapat diakses siapapun, merupakan senjata ampuh untuk menyuarakan komitmen anti perang. Persaudaraan internasional yang dibangun melalui media sosial harusnya bisa menjadi alat bagi kita untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian dan bukan untuk menyebar kebohongan dan kebencian.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com