Tanggal 15 September ditetapkan sebagai Hari Demokrasi Internasional. Hari Demokrasi Internasional diperingati secara global dalam rangka untuk menciptakan kesadaran akan hak-hak demokrasi. Di Indonesia, demokrasi memiliki banyak tantangan dalam mewujudkannya, termasuk dalam hal penegakan hukum. Penegakan hukum adalah salah satu pilar penting dalam mewujudkan kualitas demokrasi yang harus menjadi perhatian.
Sejarah Hari Demokrasi Internasional dimulai pada tahun 2007 ketika Majelis Umum PBB meloloskan Inter-Parliamentary Union (IPU) untuk memperingati hari tersebut. Sejak saat itu, perayaan ini telah diakui oleh 46 negara di dunia. Hari Demokrasi Internasional pertama diperingati pada 15 September 2008. Tujuan utama di balik perayaan ini adalah untuk mendukung dan mendorong nilai-nilai dasar demokrasi. Lebih jauh, apa yang terkandung dalam peringatan ini adalah bagaimana demokrasi seharusnya dapat menjadi bagian dari setiap orang, di mana saja, di mana saja dengan partisipasi penuh, kerja sama, dan dukungan komunitas internasional, masyarakat sipil, badan pemerintahan nasional, dan individu (Katadata.co.id, 15/9/2022).
Jika demokrasi juga dimaknai sebagai kebebasan, catatan Human Freedom Index 2021 dapat menggambarkan bagaimana kondisi demokrasi saat ini. Laporan ini menjelaskan bahwa 83% penduduk dunia mengalami penurunan dalam hal kebebasan. Human Freedom Index adalah ukuran kebebasan paling komprehensif yang pernah dibuat untuk banyak negara di seluruh dunia. Indeks yang diterbitkan bersama oleh Cato Institute dan Fraser Institute di Kanada ini, memeringkat 165 negara berdasarkan 82 indikator berbeda dari kebebasan pribadi, sipil, dan ekonomi. Laporan ini menjelaskan bahwa dunia terus mengalami penurunan kebebasan sejak tahun 2008. Tren dari data ini barangkali bisa lebih besar lagi terhadap penurunan hak-hak dasar, beserta efek sosial dan politiknya pasca adanya gelombang COVID-19 yang menyeruak ke seluruh penjuru dunia.
Sejatinya, demokrasi bisa terwujud apabila tersedia dua prasyarat dasar. Pertama, kemauan dan kesediaan untuk menghormati hak-hak asasi manusia, khususnya pada pemimpin-pemimpin rakyat dan pemerintahan. Pemerintahan dalam sistem demokrasi harus terbatas kekuasaannya, sehingga tidak ada tindakan sewenang-wenang terhadap warga negara. Bahkan mereka berkewajiban untuk memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk tidak hanya mendapatkan kehidupan yang aman, tetapi juga layak bagi kemanusiaan (Kompasiana.com, 9/6/2022).
Kedua, suatu struktur pemerintah yang tidak monolitik. Pemerintah memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada sebuah Dewan yang otonom yang mewakili rakyat. Selain itu, harus terdapat aparat pengadilan yang juga harus otonom, yang putusan-putusannya tidak dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Dalam konteks inilah, gagasan “Trias Politica” muncul untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang terdapat kontrol efektif untuk menghindarkannya dari penyelewengan kekuasaan karena terkonsentrasi pada satu titik (Kompasiana, 9/6/2022).
Lantas, bagimanakah perwujudan demokrasi? Tidak dapat dipungkiri, bahwa penyelenggaraan demokrasi membutuhkan penegakan hukum yang baik. Penegakan hukum adalah aspek yang sangat krusial dalam mewujudkan demokrasi agar dapat hidup dalam sebuah negara, terutama dalam menjamin hak asasi manusia dan kebebasan individu.
Hal yang penting untuk diingat adalah penegakan hukum sebagai pilar penting bagi kualitas demokrasi merupakan aksioma normatif yang tidak terbantahkan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu koin uang yang sama, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Penegakan hukum merupakan roh demokrasi. Sebaliknya, demokrasi menjadi tubuh bagi penegakan hukum. Guillermo O’Donnel pakar ilmuwan politik dari Argentina yang spesialisasinya adalah perbandingan politik, menegaskan bahwa tidak sembarang penegakan hukum dapat membuat demokrasi berkualitas. Penegakan hukum yang dibutuhkan oleh demokrasi yang sehat adalah penegakan hukum yang imparsial, impersonal, dan tidak tendensius. Penegakan hukum yang demikian pada gilirannya akan menjamin terpeliharanya hak-hak politik warga, kebebasan sipil, dan akuntabilitas public, yang dapat mengafirmasi kesederajatan politik seluruh warga negara dan mencegah terjadinya instrumentalisasi penegakan hukum (iaih.ac.id, 7/5/2015).
Catatan yang kurang mengenakkan bahwa masih acapkali munculnya fenomena tebang pilih penegakan hukum dan masih kurangnya kepercayaan terhadap beberapa penegakan hukum yang harus diberikan perhatian. Contoh kasus yang menghantam Polri beberapa waktu terakhir misalnya, seperti persoalan pelanggaran etik, keterlibatan polisi dalam penyelewengan narkoba, serta yang paling fonemenal adalah terbongkarnya rekayasa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. menyeret dan sekaligus menjadikan tersangka mantan Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo.
Selain itu, isu penegakan hukum terkait korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) masih belum terlihat. Hal ini mengingat masih banyaknya kritik masyarakat yang menilai bahwa hukuman terpidana koruptor masih termasuk ringan, banyaknya koruptor yang mendapat remisi, dan sebagainya.
Melalui momentum Hari Demokrasi Internasional dan di tengah banyaknya tantangan dalam mewujudkan demokrasi yang bermakna dan berkualitas, maka aspek penegakan hukum harus menjadi perhatian yang serius. Hal ini bukan hal yang mustahil mengingat Indonesia adalah negara hukum, yang sudah seharusnya mampu memberikan panduan terhadap arah penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian, demokrasi yang disertai dengan komitmen dan integritas dalam penegakan hukum akan turut mendukung terwujudnya demokrasi yang berkualitas baik, relevan, kontekstual, dan substansial di Indonesia.
Referensi
https://iaih.ac.id/2015/05/penegakan-hukum-dan-demokrasi/ Diakses pada 15 September 2022, pukul 10.00 WIB.
https://katadata.co.id/agung/berita/6322efece1c6a/memahami-makna-demokrasi-dalam-peringatan-hari-demokrasi-internasional. Diakses pada 16 September 2022, pukul 14.00 WIB.
https://www.kompasiana.com/amfatwa/55122fc3a33311f556ba7f33/penegakan-hukum-demokratisasi-menuju-nkri-yang-bermartabat Diakses pada 17 September 2022, pukul 12.00 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.