Hari Buku Nasional 2023: Meninjau Kebebasan Literasi

    45
    sumber: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150122201235-241-26700/terpincut-toko-buku-cantik-dari-penjuru-dunia

    Hari Buku Nasional (Harbuknas) menjadi salah satu peringatan bersejarah nan penting yang diselenggarakan sejak 17 Mei 2002 silam di Indonesia. Dalam sejarahnya, Harbuknas pertama kali dicetuskan oleh Menteri Pendidikan Kabinet Gotong Royong Indonesia, Abdul Malik Fadjar (tirto.id, 12/05/2023). Pada awalnya, tujuan yang dibawa oleh Abdul Malik dalam usulan hari sejarah tersebut adalah untuk meningkatkan minat baca masyarakat, terutama anak Indonesia, serta meningkatkan penjualan buku. Hal ini juga dikaitkan dengan fakta bahwa penjualan buku di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya saat itu.

    Di sisi lain, jumlah penjualan buku yang rendah ini juga berkorelasi positif dengan angka melek huruf di Indonesia. Kemudian jumlah angka melek huruf di Indonesia pada tahun 2002 hanya 87,9 persen untuk orang dewasa, yaitu usia 15 tahun ke atas. Berdasarkan data tersebut, UNESCO mengungkapkan bahwa jumlah angka melek huruf Indonesia di tahun itu masih jauh lebih rendah dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Angka tersebut juga dapat dikatakan sebagai simbol keprihatinan kondisi minat baca masyarakat Indonesia tahun 2002 dan sebelumnya (lib.lemhannas.go.id).

    Keresahan akibat kondisi ini pun membawa sejumlah masyarakat yang kemudian tergabung dalam kelompok pecinta buku bergerak untuk meningkatkan budaya membaca. Dari niat ini, mereka menggalang dana, serta kerja sama dengan beberapa pihak, yang puncaknya pada pendirian Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 17 Mei 2002.

    Berangkat dari peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei 2023 ini, penulis kemudian ingin melihat bagaimana sebenarnya realita mengenai buku, ilmu pengetahuan, dan kebebasan literasi sudah diterapkan di Indonesia. Buku, ilmu pengetahuan, dan literasi memiliki hubungan yang erat. Buku dan literasi merupakan fondasi untuk memperoleh dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu pengetahuan.

    Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan, membantu membentuk pemahaman dan pengetahuan tentang dunia di sekitar kita, baik itu melalui penjelasan teori, catatan sejarah, fakta dan data empiris, atau pengetahuan praktis. Merujuk dari teachsdgs.org, disebutkan bahwa buku juga menjadi alat yang penting dalam mendapatkan literasi dan pengembangan kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis.

    Sebaliknya, proses membentuk ilmu pengetahuan ini turut melibatkan kemampuan literasi yang kuat, baik dalam membaca dan memahami teks ilmiah, maupun dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memahami data. Keterampilan literasi juga memungkinkan individu untuk mengakses buku dan sumber daya ilmiah, dan menerapkan pengetahuan dari ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti individu dapat memahami bagaimana ilmu pengetahuan berdampak pada kehidupan mereka sendiri, dan membuat keputusan yang cerdas dalam menerapkan pengetahuan tersebut (teachsdgs.org).

    Amartya Sen (dalam UNESCO, 2003) juga melihat bagaimana buku dan literasi sebagai pelindung manusia dari rasa ketidakamanan. Misalnya, manfaat pendidikan yang dapat dirasakan sejak dini, menjadikan beberapa keluarga panik ketika tidak dapat memasukkan anaknya ke sekolah dasar. Hal ini karena kurangnya pendidikan dan literasi menghadirkan ketidakpastian akan dunia luar, kondisi di sekitar, dan ketidakpahaman. Oleh karena itu, setiap orang tua akan berusaha sekeras mungkin untuk memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak mereka agar bisa tumbuh tanpa hambatan.

    Selain itu, pendidikan dan kegiatan membaca buku juga dikenal dengan segudang manfaat yang akan terus mengikutinya. Seperti dapat membantu meningkatkan kreativitas, mengurangi stres, meningkatkan kemampuan kognitif dan bahasa, serta membantu mengembangkan keterampilan interpersonal. Buku juga dapat memberikan inspirasi, hiburan, dan kesempatan untuk merefleksikan berbagai aspek kehidupan.

    Salah satu buku Amartya Sen, Development as Freedom (2000), menyerukan kepada dunia untuk memahami kembali proses pembangunan dan menempatkan kebebasan sebagai pusat perhatian dari segalanya. Bagi Sen, pendidikan terletak di jantung proses baru ini, di mana tidak ada yang lebih mendasar dalam pendidikan selain  aspek melek huruf,  yang kemudian melahirkan diskusi dan kajian mengenai “Literasi sebagai Kebebasan”.

    D. Archer (dalam UNESCO, 2003) juga menyebut bahwa prioritas angka melek huruf baru dilirik pemerintah masa kini ketika mereka menggunakannya sebagai sarana untuk membangun bangsa mereka menggunakannya untuk membantu mempromosikan identitas nasional kesatuan dan untuk memperdalam otoritas negara. I. Paten (dalam UNESCO, 2003) juga melihat bagaimana kemampuan membaca dan menulis yang kini menjadi kebutuhan mendasar dalam masyarakat yang semakin modern turut mempengaruhi pendidikan perempuan.

    Lebih jauh, dalam dekade terakhir, pendidikan anak perempuan dan perempuan telah menjadi garis depan perencanaan pembangunan. Investasi dalam pendidikan perempuan dianggap oleh para perencana pembangunan (internasional dan nasional) sebagai keharusan pembangunan daripada masalah kesejahteraan. Di India misalnya, fakta yang mengkhawatirkan adalah bahwa proporsi perempuan buta huruf tidak berubah sejak tahun 1970 (UNESCO, 2003). Hal ini kemudian menjadikan pemerintah berupaya untuk meningkatkan status dan kondisi perempuan melalui kesejahteraan di bidang literasi (UNESCO, 2003).

    Konsep yang kemudian muncul dari urgensi literasi ini adalah kebebasan literasi. Pada dasarnya, kebebasan literasi atau kebebasan membaca adalah hak setiap individu untuk memilih, mengakses, dan membaca bahan-bahan tertentu tanpa intervensi atau tekanan dari pihak lain, seperti pemerintah, institusi, atau individu lainnya. Dalam konteks ini, kebebasan literasi melibatkan akses yang tidak terbatas terhadap berbagai sumber informasi, termasuk media cetak, elektronik, dan digital. Ini mencakup juga hak untuk membaca dan mengeksplorasi berbagai pandangan, gagasan, dan pendapat yang berbeda tanpa takut mendapat hukuman atau perlakuan diskriminatif.

    Dalam masyarakat yang demokratis, kebebasan literasi dianggap sangat penting karena memungkinkan individu untuk membuat keputusan yang cerdas, berpartisipasi dalam diskusi dan debat publik, serta mengkritik kebijakan atau praktik yang tidak adil atau tidak pantas. Dengan demikian, kebebasan literasi dapat dianggap sebagai hak asasi manusia yang mendasar dan sangat penting untuk mendukung demokrasi yang kuat dan berkelanjutan.

    Daftar Pustaka

    Sen, A. (2000). Development As Freedom. New York: Anchor Books. Diakses melalui http://fs2.american.edu/dfagel/www/Philosophers/Sen/DevelopmentAsFreedomIntroNch1NEW.pdf.

    http://lib.lemhannas.go.id/news/view/selamat-hari-buku-nasional-2022.

    https://tirto.id/kapan-hari-buku-nasional-2023-sejarah-cara-merayakan-harbuknas-gGKe.

    http://www.teachsdgs.org/blog/literacy-skills-the-root-of-all-knowledge.

    UNESCO. (2003). Literacy as freedom: a UNESCO Round-table. Diakses melalui https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000131823.