Hari AIDS Sedunia: Tantangan dan Harapan Pejuang AIDS

    103
    Sumber gambar: https://www.reuters.com/business/healthcare-pharmaceuticals/first-woman-reported-cured-hiv-after-bone-marrow-transplant-2022-02-15/

    Tanggal 1 Desember telah ditetapkan sebagai hari untuk memperingati diperingati penyakit AIDS Sedunia sejak tahun 1988. Identik dengan pita merahnya, Hari AIDS sedunia diperingati dengan tujuan untuk menunjukkan dukungan bagi orang yang hidup dengan HIV dan mereka yang kehilangan nyawanya karena penyakit terkait AIDS. Ini juga bertujuan sebagai bentuk dukungan bagi orang-orang masih terus berjuang melawan HIV.

    Jauh sebelum itu, James W. Bunn bersama temannya, Thomas Netter, yang merupakan pegawai World Health Organization (WHO) memunculkan suatu gagasan mengenai hari khusus untuk menyebarkan edukasi tentang AIDS/HIV ke seluruh dunia (tirto.id/01/12/2022). Kemudian, pada bulan Agustus 1987, Bunn dan Netter pun menyampaikan ide tersebut kepada Jonathan Mann, Direktur Program AIDS Global, untuk diwujudkan. Peristiwa inilah yang melahirkan gagasan mengenai hari AIDS sedunia yang kita peringati sampai saat ini, 1 Desember 2022.

    Pada awalnya, Bunn dan Netter menyoroti bagaimana penyakit HIV/AIDS saat itu yang menghebohkan masyarakat. Pada masa tersebut, narasi penyakit HIV/AIDS masih mengandung banyak misteri. HIV/AIDS yang mematikan, belum ditemukan obatnya, terkait dengan kelompok-kelompok tertentu (re: homoseksual), hingga rumornya yang merupakan penyakit ‘azab’. Kisah penyakit ini dirumorkan muncul dari seorang Gaetan Dugas, yang dikenal luas karena sempat didaulat menjadi pasien nol, atau orang pertama yang terjangkit AIDS. Dugas kemudian dijadikan tersangka utama dalam fenomena penyebaran AIDS di komunitas homoseksual AS. Dugas juga digambarkan sebagai orang yang punya karakter sosiopat yang secara sengaja menarik orang lain agar terinfeksi virus dalam tubuhnya (tirto.id/01/12/2022).

    Namun, nyatanya informasi bahwa Dugas dianggap sebagai ‘orang yang membawa AIDS ke dunia’ keliru. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa virus HIV telah  tiba di New York City dari Karibia sekitar tahun 1970, jauh sebelum Dugas terinfeksi dan meninggal. Selain itu, tidak ada satupun sampel darah dari Dugas yang mengindikasikan dia maupun perilakunya sebagai kunci penyebaran cepat HIV/AIDS (McKay, 2014). Selama bertahun-tahun itu pula, Gaetan Dugas menanggung stigma yang dibebankan padanya karena dianggap sebagai orang pertama penyebar HIV karena kelalaiannya bergonta-ganti pasangan. Ia dituduh, dikucilkan, dan dianggap sebagai penjahat.

    ****

    Pada dasarnya, hak atas kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya (referensi.elsam.or.id).

    Dalam manifestasinya, Committee on Economic, Social, and Cultural Rights (CESCR) menegaskan empat komponen utama kesehatan yang harus dipenuhi sebagai hak asasi manusia, yaitu ketersediaan, keterjangkauan yang mencakup dimensi nondiskriminasi, keterjangkauan fisik, ekonomi, informasi, penerimaan, dan kualitas.

    Namun, pemenuhan akan hak kesehatan dan empat  komponen utama penunjang hak tersebut minim dirasakan kehadirannya dalam penanganan kasus penyakit HIV/AIDS. Padahal, Indonesia, menurut estimasi jumlah individu didiagnosa HIV di Asia Tenggara, menempati urutan tertinggi, yaitu sekitar 540.000 jiwa pada tahun 2021 (databooks.katadata.co.id/22/09/2022). Seharusnya, ini menjadi urgensi penanganan penyakit HIV/AIDS yang lebih baik lagi dari segala aspek, baik dukungan dari masyarakat maupun pemerintah.

    Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan Human Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Stigma terhadap pengidap HIV/AIDS ini tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap pengidap. Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri, seperti yang sudah penulis singgung di bagian atas tulisan ini. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS sehingga penghakiman terhadap mereka layak dilakukan (Widjanarko, et al, 2015).

    Hal inilah yang menyebabkan orang dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang diderita. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV, dan penolakan dalam pelbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan merupakan bentuk stigma yang banyak terjadi.  Tingginya penolakan masyarakat dan lingkungan akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan sebagian ODHA harus hidup dengan menyembunyikan kondisi penyakit yang diderita mereka.

    Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok orang berisiko tertular HIV, serta cara pencegahannya, termasuk penggunaan kondom. Selain itu, stigma terhadap pengidap juga menyebabkan orang yang memiliki gejala atau diduga menderita HIV enggan melakukan tes untuk mengetahui status HIV karena apabila hasilnya positif, mereka takut akan ditolak oleh keluarga dan khususnya oleh pasangan.

    Agar tidak terjadi stigmatisasi dan diskriminasi di bidang kesehatan, terutama perlu dilakukan pemberian informasi yang benar dan tepat. Stigmatisasi dan diskriminasi dapat ditimbulkan karena kurangnya pengetahuan tentang penyakit, hingga perlu menyampaikan fakta yang sebenarnya. Peran media sosial, sebagai salah satu medium informasi yang masif digunakan saat ini, juga dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan awareness terhadap sikap, penanggulangan, dan perilaku penularan HIV/AIDS. Sebaiknya pula juga ditekankan bagaimana arus penyampaian hal positif yang dapat menimbulkan optimisme, seperti menekankan efektivitas pencegahan dan tindakan pengobatan.

    Referensi

     Artikel

    https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/22/indonesia-punya-pengidap-hiv-terbanyak-di-asia-tenggara Diakses pada 1 Desember 2022, pukul 22.44 WIB.

    https://tirto.id/gaetan-dugas-sempat-dianggap-pasien-aids-pertama-di-dunia-gze7 Diakses pada 1 Desember 2022, pukul 21.52 WIB.

    https://tirto.id/sejarah-hari-aids-sedunia-yang-diperingati-tanggal-1-desember-emAf Diakses pada 1 Desember 2022, pukul 21.18 WIB.

    https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/KESEHATAN-SEBAGAI-HAK-ASASI-MANUSIA.pdf Diakses pada 1 Desember 2022, pukul 22.19 WIB.

     

    Jurnal

    McKay R. A. (2014). Patient Zero”: the absence of a patient’s view of the early North American AIDS Epidemic”. Bulletin of the history of medicine88(1), 161–194. Diakses pada 1 Desember 2022, pukul 22.00 WIB melalui https://doi.org/10.1353/bhm.2014.0005.

    Widjanarko, B, et al,. (2015). “Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4. Diakses pada 1 Desember 2022, pukul 22.28 WIB melalui https://media.neliti.com/media/publications/39915-ID-stigma-masyarakat-terhadap-orang-dengan-hivaids.pdf.