Judul : The Handmaid’s Tale
Genre: Tragedi, Distopia
Pengarang dan Produser : Bruce Miller
Tahun : 2017
Tema mengenai dunia distopia selalu menjadi tontonan menggugah, walaupun (kadang) terasa sedikit berat untuk dicerna, bagi banyak penggemar karya film dan buku. “Divergent”, “Westworld”, “Black Mirror”, “Alternate Carbon”, dan berbagai film atau series distopia lainnya terbukti menjadi salah satu genre yang sangat dinantikan. Selain kontribusi mobil terbang dan perjalanan luar angkasa, setting tema distopia juga merambah seputar kehidupan di bumi yang lebih dekat dan realistis, hubungan antar manusia dan negara, misalnya.
Sebuah novel distopia yang menceritakan bagaimana negara Oceania di bawah kepemimpinan totalitarian Big Brother berjudul “1984” karya George Orwell sukses menjadi laris kembali di Amerika Serikat kala banyaknya rezim pemimpin modern di realita kini yang memaksa rakyatnya untuk menerima versi kebenaran sesuai apa yang diungkapkan pihak berkuasa (Ahmad, 2019). Rezim Big Brother dalam novel tersebut melakukan propaganda dan manipulasi demi melanggengkan kekuasaan, hal ini persis direfleksikan melalui series Handmaid’s Tale karya Bruce Miller yang tayang di Hulu dan HBO GO sejak tahun 2017. HBO GO, tanpa bermaksud seperti disponsori, menjadi pilihan tontonan saya ketika ujian akhir semester resmi berakhir pada bulan Desember sebelumnya.
Warna yang ngejreng lagi-lagi menarik perhatian saya. Cover-nya yang bernada gloomy dengan June Osborn, pemeran utama dalam Handmaid’s Tale, memakai topi kerudung putih dengan balutan jubah merah pekat yang kontras sekali dengan latar di belakangnya, seolah disengaja. Kemudian, saya menonton trailer-nya, sebagai ritual wajib sebelum menonton film atau series baru, dan langsung memutuskan untuk menjelajahi kisah Offred sebagai perwakilan sudut pandang cerita para handmaid dalam series ini.
Meet Offred!
“Ya, dapat dikatakan bahwa kami, para handmaid hanyalah rahim berkaki dua di tempat ini.”
Dialog pembuka dari Offred, salah seorang handmaid yang gigih dalam memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapatkannya (atau semua perempuan di tempat itu mendapatkannya), cukup menyiratkan kehidupan para handmaid dalam suatu negara bekas Amerika Serikat setelah Perang Saudara, Gilead. Dunia, di mana tingkat kesuburan (infertilitas) menurun drastis membuat pemerintah Gilead membangun sebuah negara utopia yang totaliter dengan bersalin wajah menjadi negara teokrasi Kristen. Secara spesifik, kelompok ekstrem kanan yang berandil penting dalam pembentukan negara Gilead menamakan diri sebagai Sons of Jacob (Anak-anak Yakub).
Seperti yang telah didengungkan berkali-kali pada awal episode, rendahnya tingkat infertilitas yang semakin parah menjadi fokus masalah yang ingin dituntaskan oleh individu-individu di dalamnya. Bahkan, kondisi kesuburan tersebut digambarkan begitu parah, ruang inkubator bayi di Amerika selama bertahun-tahun hanya merawat satu sampai dua bayi. Lebih ironisnya lagi, diceritakan bahwa di Meksiko, tidak ada bayi yang lahir selama enam tahun lamanya. Pernah menonton Children of Men? Latar konflik yang menitikberatkan pada kehidupan di mana tidak ada seorang pun manusia yang bisa menghasilkan keturunan, dihadirkan kembali pada series ini.
Kondisi di atas mengantar pada banyak hal, lahirnya kelompok Sons of Jacob (Anak-anak Yakub) salah satunya. Menurut mereka, kiamat infertilitas terjadi karena penyimpangan kaum perempuan. Perempuan modern terlalu banyak berfokus di karier, menjadi homoseksualitas, melakukan seks bebas, menggunakan pil dan pengontrol kehamilan, serta banyak hal lainnya yang dianggap tidak sesuai kodrat perempuan. Satu-satunya cara menyelesaikan bencana kemandulan tersebut, diyakini oleh mereka, dengan menjadikan perempuan sebagai makhluk pasif: larangan bekerja, tidak boleh membaca, dan dijadikan handmaid — pengandung anak bagi pasangan-pasangan pejabat yang mandul melalui sebuah ritual (lebih tepatnya, pemerkosaan). Mereka mendasarkan ritual ini dari sebuah ayat di Perjanjian Lama:
1) Tetapi Rahel belum juga mendapat anak. Sebab itu dia menjadi cemburu kepada kakaknya, lalu berkata kepada Yakub, “Berikanlah anak kepada saya, kalau tidak, saya akan mati.” 2) Yakub marah kepada Rahel dan berkata, “Saya ini bukan Allah. Dialah yang membuat engkau tidak mendapat anak.” 3) Lalu kata Rahel, “Ini hamba saya Bilha; tidurlah dengan dia supaya ia melahirkan. Dengan demikian saya bisa menjadi ibu melalui dia.” 4) Lalu diberikannya Bilha kepada suaminya, dan Yakub bersetubuh dengan hamba itu (Kejadian 30:1–4).
Dengan demikian, penduduk Gilead yakin bahwa kemandulan tidak ada di pihak laki-laki, melainkan hanya perempuan yang mendapat label itu. Perempuan yang disalahkan secara total atas fenomena keseburan tersebut. Dengan keyakinan dari kelompok Sons of Jacob (Anak-anak Yakub) inilah, kemudian masyarakat Gilead diorganisir oleh para pemimpin yang haus kekuasaan bersama dengan rezim fanatisme agama yang baru, termiliterisasi, hierarkis dengan kelas sosial yang baru dibuat oleh laki-laki (saja), yang berujung pada penaklukkan perempuan secara brutal.
Secara hukum, wanita di Gilead dipaksa untuk bekerja dalam peran yang sangat terbatas, termasuk beberapa sebagai budak kelahiran, dan mereka tidak diizinkan memiliki properti, berkarier, menangani uang, atau membaca. Baik istri dari pejabat (commander, sebutannya), martha (semacam pengurus rumah tangga di masing-masing rumah commander, dan handmaid (pelayan yang hanya dipakai sebagai alat kelahiran) dipaksa melakoni peran domestik, suka atau tidak suka. Hukuman memotong jari kelingking ketika perempuan ditangkap sedang atau pernah membaca, hukuman digantung di wall untuk siapa saja yang berusaha kabur atau bertentangan dari hukum Gilead, dan masih banyak lagi hukuman lainnya yang terasa sangat timpang.
Kembali pada kisah Offred, di mana cerita mengenai handmaid sangat memilukan pada episode-episode selanjutnya. Offred, bukanlah nama asli. June Osborn, adalah nama asli dari tokoh utamanya. Identitas mereka sebagai manusia dan perempuan direngut oleh Gilead, bahkan dari hal sedetail mungkin. Offred berarti “barang milik Fred”, kepunyaan dari tuan rumah atau commander, tempat para handmaid mengabdi. Fred diambil dari nama tuan rumah yang ditempati oleh June, Fred Waterford bersama istrinya, Serena. Sama seperti Ofwarren yang berarti barang milik Warren atau Ofglen yang berarti barang milik Glen. Identitas adalah anasir penting yang mesti dimiliki, yang menjadikan manusia autentik dan berbeda satu sama lainnya. Ilustrasi nama-nama tersebut sukses membuat para handmaid tak ubahnya sebatas barang kepemilikan, yang boleh dipakai sesuka hati oleh para commander.
Gilead memastikan bahwa tubuh dan pikiran June sebagai Offred, ada dan hanya ada untuk melahirkan bayi bagi kelangsungan Gilead. “Your body is no longer your own”.
Tidak hanya para handmaid yang dirampas identitasnya, istri dari para commander juga tidak boleh dipanggil dengan nama asli. Serena Joy, istri dari Fred, tidak pernah dipanggil sebagai ‘Serena’, tetapi hanya ‘Mrs. Waterford’. Penokohan Serena sebagai karakter antagonis juga menjadi salah satu favorit saya. Sebelum menjadi istri dari seorang petinggi Gilead, Serena menulis beberapa buku dan kerap diundang sebagai pembicara karenanya. Namun, setelah Gilead dibentuk, Serena hanya menjahit, merajut, berkebun, dan kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan rasa frustasi yang dilampiaskan pada handmaid mereka, Offred.
****
Ah, series anti agama! Gak ada yang begituan di dunia nyata, ga realistis, sesat! “Handmaid’s Tale” merupakan fiksi yang diolah menjadi pengingat bahwa penggunaan narasi agama, ketakutan akan Tuhan dan ayat-ayatnya, sebagai garda depan (tameng) untuk melindungi pemerintah Tirani. Ini bukanlah soal label—baik Kristen, sosialisme, Islam, demokrasi, dua kaki jahat, empat kaki baik—yang menentukan, tetapi tindakan yang mengatasnamakan label tersebutlah yang membahayakan.
Kenapa “Handmaid’s Tale” dengan segala perihal Gileadnya seolah terasa begitu dekat dan familiar dengan kehidupan realita? Edward Bernays dalam Propaganda (2004) dengan contoh propaganda Nazi dapat menjelaskan hal ini. Tahu bahwa orang-orang merasa jijik dengan tikus dan serangga (kesan yang tertanam di otak karena hewan-hewan itu kerap diasosiasikan dengan penyakit dan ancaman biologis), Nazi memanfaatkannya dengan mengilustrasikan orang Yahudi sebagai tikus, makhluk yang menjijikkan secara inheren. Manusia, demikian, butuh stimulus untuk bertindak, bergerak, dan membenarkan maupun membenci sesuatu.
Secara contoh nyatanya, ayat-ayat Alkitab tersebut juga paling disukai Adolf Hitler karena dianggap memberikan pembenaran atas pemerintahan totaliternya, bahkan jauh sebelum itu, narasi-narasi bernada religius lazim disalahgunakan oleh orang-orang kulit putih yang melanggengkan perbudakan di Amerika Serikat (Lutzer, 2015). Menyelewengkan ayat-ayat kitab suci maupun dalil-dalil agama untuk dijadikan senjata politik pada kenyataannya bukan sesuatu yang jarang terjadi.
Nazi dan Amerika memang sering omong kosong soal HAM, mereka paling keliru! Indonesia, pernah menjadi pemerintah Gilead juga pada saat momen Pilkada DKI 2017 silam. Stimulus dalam aksi protes massa pada tanggal 22 Mei saat itu yang didominasi oleh stimulus agama, meskipun mungkin ada faktor-faktor lain, dan cenderung dimanfaatkan oleh calon pasangan lain sebagai suara elektoral menjadi momen dimana faktor agama juga penting dalam panggung politik Indonesia secara universal. Atau, tidak hanya soal politik yang sarat penggunaan isu agama di dalamnya, penerapan tes keperawanan pada institusi TNI/Polri dan pengaturan jenis pakaian di Sasana Olahraga Ganesha di Bandung dengan dalih aurat, membuktikan penindasan terhadap perempuan atas dasar agama dan moral masih dilanggengkan (bbc.com/2017).
Pada akhirnya, konteks dan kisah dari The Handmaid’s Tale mempunyai cara tersendiri melalui kisah tokoh-tokoh di dalamnya untuk membuat fiksi mereka tidak sekedar fiksi yang hanya ditonton lalu dilupakan, melainkan juga dapat dianggap sebagai peringatan dan tidak bisa disepelekan. Maraknya kebijakan kontroversial yang misoginis, pengakuan akan hak-hak manusia yang diabaikan, serta ketidakwajaran dan kesenjangan dalam kehidupan bernegara. The Handmaid’s Tale perlu dipertanyakan ulang, apakah kisah di dalamnya hanya tetap akan menjadi fiksi distopia atau justru realita di masa mendatang?
Referensi
Ahmad, D. (2019, 21 Juni). 70 Tahun Novel “1984”: Membaca Ulang Kritik Ideologi Orwellian. Diakses pada 5 Januari 2023, pukul 18.15 WIB melalui https://lsfcogito.org/70-tahun-novel-1984-membaca-ulang-kritik-ideologi-orwellian/.
Bernays, E. (2004). Propaganda. Ig Publishing.
Lutzer, E. (2015). Hitler’s Cross: How the Cross Was Used to Promote the Nazi Agenda. Moody Publishers.
http://www.alkitab.or.id/bible-reader/. Diakses pada 5 Januari 2023, pukul 22.03 WIB.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42084042. Diakses pada 5 Januari 2023, pukul 23.10 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.