Hak Sipil, Kebebasan Anak, dan Perlindungan Hukum

    615

    Sejak tahun 1986, Hari Anak Nasional rutin diperingati setiap tanggal 23 Juli, meskipun sebelumnya digelar pada tanggal yang berbeda-beda. Hari Anak Indonesia berawal dari Hari Kanak-Kanak yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto. Saat itu, Kongres Wanita Indonesia menggagas adanya Hari Kanak-Kanak Nasional. Dari gagasan itu muncul Pekan Kanak-Kanak pada tahun 1952 yang dirayakan pada minggu kedua bulan Juli, bertepatan dengan libur sekolah (cnnindonesia.com, 23/7/2020).

    Anak-anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas serta mampu menjadi wadah negara, tentu diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial serta perlindungan hak sipil dan kebebasan anak.

    Namun, hak sipil dan kebebasan bagi anak belum sepenuhnya terpenuhi secara sistematik dan berkelanjutan. Banyak faktor yang membuat hal tersebut terjadi, di antaranya ketidaktahuan masyarakat akan hak-hak yang harusnya diperoleh anak. Meskipun Konvensi Hak Anak telah diratifikasi, namun implementasi hak-hak anak masih jauh dari harapan. Akses terhadap informasi hak-hak anak, masih jauh dari jangkauan, terlebih adalah penyediaan sarana prasarana yang mendukung pengembangan hak sipil dan kebebasan.

    Perwujudan hak anak belum sepenuhnya dilaksanakan, bukan hanya di Indonesia, namun juga negara-negara lain. Pasal 7 Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (UNCRC) dengan jelas menyatakan bahwa setiap anak memiliki “hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orang tuanya”. Pasal ini banyak yang dilanggar dan diabaikan. Pengabaian bukan hanya pada negara-negara miskin, namun juga termasuk beberapa negara Eropa. Rumania pernah melakukan penganiayaan besar-besaran kepada anak. Tahun 1990 rezim komunis yang dipimpin oleh Nicolae Ceausescu, meluncurkan kebijakan pembatasan kelahiran, membuat kontrasepsi dan diperbolehkannya aborsi ilegal (bettercarenetwork.org, 2001).

    Sementara itu, langkah ekonomi yang menyedihkan pada akhir tahun 1970-an dan 1980-an menciptakan kelangkaan makanan, kekurangan energi, dan kemiskinan nasional merajalela yang berkontribusi terhadap lebih dari 170.000 anak-anak tak terurus. Keluarga yang berjuang menempatkan anak-anak di tempat penitipan, bahkan anak-anak penyandang cacat dipisahkan lebih jauh, ditempatkan di institusi pedesaan terpencil dengan sedikit pengawasan publik atau perawatan medis yang layak. Pada tahun 1989, ada lebih dari 700 institusi yang melakukan pergudangan anak-dari bayi hingga dewasa muda berusia 18 tahun di seluruh negeri. Pada tahun 1996, anak-anak banyak tinggal di panti asuhan Rumania seperti pada tahun 1990. Kondisi kehidupan mereka membaik, lebih sedikit anak yang dilecehkan secara terbuka (bettercarenetwork.org, 2001).

    Perwakilan UNICEF Indonesia mencatat dalam dekade ini negara-negara di Asia Timur dan Pasifik merupakan negara di mana pertumbuhan ekonominya tertinggi, tetapi kesenjangan sosial di kawasan juga semakin melebar sehingga menambah isu seperti kurang gizi, buruh anak, dan eksploitasi hak anak (unicef.org).

    Aspek perlindungan anak sendiri seharusnya lebih ditekankan pada hak anak, bukan kewajiban anak karena secara hukum anak belum dibebani kewajiban dan tidak dituntut pertanggungjawaban. Perlindungan hukum anak juga tidak hanya berdasar hukum tertulis, tetapi juga termasuk hukum tidak tertulis dengan harapan agar jaminan pada anak dalam menjalani setiap hak dan kewajibannya.

    Jika ditelaah, ada banyak hal yang belum optimal dilakukan oleh pemerintah dan orang tua dalam masalah pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di Indonesia. Dari sisi demand, orang tua belum mengerti atau bahkan belum peduli akan hak-hak anak. Banyak kasus perolehan atas hak ini terbentur dengan status perkawinan orang tua yang tidak terdaftar. Misalnya, orang tua nikah siri.

    Dari sisi supply, belum optimalnya kualitas pelayanan dan kurang inovasi dalam mengatasi masalah yang ditemui dalam masyarakat. Beberapa  kota di Indonesia sudah banyak yang melakukan inovasi, namun lebih banyak yang hanya mengandalkan mekanisme konvensional dalam pelayanan publik ini. Mereka hanya menunggu jika ada permintaan, sementara masyarakat yang tidak tahu atau sengaja tidak melakukan pengurusan juga tidak melakukan tindakan. Akibatnya, supply dan demand tidak pernah bertemu.

    Misalnya di Indonesia, data terbaru yang diungkapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengenai pengaduan korban cyber crime pornografi lewat media sosial. KPAI menerima paling banyak 348 kasus, di mana pelakunya mengaku melakukan tindakan pelecehan dan perkosaan tersebut setelah menyaksikan video porno. Para korbannya tersebut berusia antara 4,5 sampai 12 tahun, bahkan ada yang berusia 3,5 tahun (databooks.katadata.co.id, 31/8/2020).

    Di era globalisasi seperti ini, proses perlindungan anak tersebut sebagai proses edukasional terhadap ketidakpahaman dan kemampuan anak dalam melakukan tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak diberikan dengan cara sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan karakter, dan juga bantuan hukum melalui advokasi.

    Dalam realitanya, belum memadainya perangkat hukum untuk melindungi hak-hak anak bisa dikarenakan penegakan hukum berdasarkan undang-undang yang ada belum optimal dilaksanakan. Apabila dikaji lebih dalam dari sisi sejarah pembuatan aturan hukumnya, partisipasi masyarakat yang rendah dan tingginya sentralitas pembentukan hukum turut ikut andil dalam alasan mengapa produk hukum yang ada belum begitu menjangkau.

    Seperti yang ditulis oleh William M. Evan, dalam pembuatan hukum ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya, hukum harus keluar dari sumber yang prestise dan otoritatif, hukum harus menunjukkan rasionalitasnya, dalam arti dapat dimengerti dan sesuai dengan nilai-nilai yang ada (Tanya, 2010).

    Kita tahu hukum merupakan sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Hukum responsif tidak hanya dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga mengandalkan keutamaan tujuan sosial yang ingin dicapai.

    Dari beberapa teori hukum di atas, dapat diketahui bahwa bekerjanya hukum akan efektif di masyarakat apabila dalam proses pembuatan sampai pelaksanaannya juga melibatkan partisipasi dan keterbukaan masyarakat. Dalam penegakan hukum tentang perlindungan anak ini, menjadi kewajiban bagi orang tua dan masyarakat untuk sama-sama memahami hak anak dan melaksanakan kewajiban terhadap anak sebagaimana ketentuan berlaku.

     

    Referensi

    Buku:

    Kusuma, Mulyana W. 1986. Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta: Rajawali.

    Tanya, Bernard L. (dkk). 2010. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing.

     

    Internet:

    https://bettercarenetwork.org/sites/default/files/Romania%27s%20Abandoned%20Children%20-%20Ten%20Years%20After%20the%20Revolution.pdf Diakses pada 22 Juli 2021, pukul 13.00 WIB.

    https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200723111639-284-528068/sejarah-lahirnya-hari-anak-nasional-pada-23-juli Diakses pada 22 Juli 2021, pukul 13.00 WIB.

    https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/19/kpai-terima-526-pengaduan-kasus-pornografi-dan-kejahatan-anak-di-dunia-maya Diakses pada 25 Juli 2021, pukul 17.00 WIB.

    https://www.unicef.org/indonesia/id/anak-anak-di-indonesia Diakses pada 22 Juli 2021, pukul 15.00 WIB.